Menurut catatan J.D. Wolterbeek dalam Babad Zending di Tanah Jawi yang ditulis tahun 1939 bahwa Kiai Tunggul Wulung adalah seorang pertapa di Gunung Kelud yang menerima pewahyuan 10 Perintah Tuhan dalam secarik kertas di tikarnya hingga menghentikan pertapaannya kemudian diperintahkan oleh sebuah suara untuk mencari pengetahuan agama Kristen di Sidoarjo dan Mojowarno yang telah lebih dulu bertumbuh agama Kristen dari kalangan orang Jawa. Tanggal 6 Juli 1857, Tunggul Wulung dan istrinya Endang Sampurnawati menerima baptisan oleh Pdt. Jellesma.
Tahun 1857 Kiai Ibrahim Tunggul Wulung melakukan kunjungan penginjilan ke berbagai tempat, antara lain ke kawasan Banyumas dan Bagelen untuk melihat hasil pekerjaan Ny. Van Oostrom Phillip dan Ny. Christina Petronella Phillips-Stevens. Kiai Ibrahim Tunggul Wulung menjadi motivator dan pemberi semangat kepada Ny. Van Oostrom Phillip di Banyumas dan Ny. Christina Petronella Phillips-Stevens di Ambal agar tidak ragu untuk melakukan pekabaran Injil kepada orang-orang Jawa.
Guillot dalam buku, Kiai Sadrach: Riwayat Kristenisasi di Jawa (1981) mencatat bahwa pengikut Kiai Ibrahim Tunggul Wulung sendiri berjumlah 1.058 orang dan jumlah tersebut melebihi hasil pekabaran Injil yang dilakukan oleh badan-badan zendeling di kawasan yang sama dan dalam waktu yang sama.
Model pekabaran Injil Tunggul Wulung memang berbeda dengan organisasi Zending Belanda karena menggunakan metode Jawa baik berupa rapalan 10 Perintah, Doa Bapa Kami, Sahadat 12, metode debat ngelmu. Beberapa pejabat Injil Belanda memandang sinis Kekristenan Tunggul Wulung yang dianggap bid'ah. Metode Tunggul Wulung kelak diadopsi oleh Kiai Sadrach Soeropranoto, seorang pekabar Injil tanah Jawa yang berdomisili di Kutoarjo (https://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2023/07/jejak-dan-peninggalan-kiai-sadrach.html)
Beberapa sumber mengatakan bahwa Tunggul Wulung pernah menjadi panglima di saat pecah Perang Diponegoro. Sekalipun kerap berinteraksi dengan zending Belanda namun Kiai Tunggul Wulung ingin mengembangkan kekristenan Jawa yang tidak bergantung pada Zending. Tunggul Wulung tetap tak menyetujui sistem perwalian zending yang menempatkan para penginjil pribumi di bawah asuhan penginjil barat.
Terlepas kekurangan kelebihan pribumisasi pesan pewartaan Injil oleh orang-orang Jawa yang pada batas tertentu bisa terjadi gesekan seperti pada kasus Kiai Sadrach dengan Lion Cachet pada Abad 19, Injil telah sampai ke tanah Jawa dengan beragam cara dan mendapat tempat di hati penduduk Jawa.
Jika Yesus Sang Mesias tidak dibangkitkan dari kewafatan, tidak ada Kekristenan (1 Korintus 15:14). Jika tidak ada Kekristenan tidak ada pewartaan ke seluruh dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar