Lazim dalam percakapan
umum terlontar nada merendahkan jika seorang siswa SMU hendak melanjutkan pada
studi sejarah di perguruan tinggi dengan mengatakan, “mau kerja apa jika ambil ilmu sejarah?” Bahkan tidak jarang
beberapa pendidik melontarkan kata dan kalimat yang melemahkan hasrat dan
keinginan seorang siswa mendalami dan mempelajari ilmu sejarah. Mengapa ilmu
sejarah kurang diapresiasi baik oleh segolongan pendidik maupun peserta didik?
Alasan klasik yang kerap dikatakan biasanya, “ah, ilmu sejarah membosankan karena harus menghafal kisah dan tahun
peristiwa bersejarah”.
Saya tidak akan
memfokuskan diri untuk menjawab pertanyaan, “mau
kerja apa jika ambil ilmu sejarah?” namun memfokuskan memberikan penjelasan
“apa yang terjadi jika sebuah negara
tidak memiliki sejarawan yang menjaga ingatan masa lalu?” Untuk menjawab
pertanyaan di atas, saya tidak akan memulai dengan memberikan
penjelasan-penjelasan normatif namun dengan membawa para pembaca untuk
melakukan permenungan kritis. Apa yang terjadi jika Prapanca tidak menuliskan
Kitab Negarakretagama dan apa yang
terjadi jika Empu Tantular tidak menuliskan Kitab Kakawin Sutasoma? Kitab Negarakretagama
berisikan 98 pupuh dan berkat kitab ini kita bisa mengetahui banyak perihal
kebesaran Majapahit mulai dari sistem politik, sistem sosial serta sistem agama
di era kebesaran raja Hayamwuruk. Bahkan menurut Prof. Slamet Mulayana, “Berkat uraiannya, kita dapat sekadar
mengetahui apa sebenarnya yang terjadi di Kerajaan Majapahit pada zaman
pemerintahan Raja Rajasanagara sampai tahun 1365. Untuk menggambarkan betapa
luasnya Majapahit, ia menjumlah secara sistematis negara-negara bawahan dalam
kelompok-kelompok; disajikan dalam pupuh 13 dan 14” (Tafsir Sejarah Negara Kretagama,
2006:334). Kitab Sutasoma merupakan kisah epik bernafas agama Budha dalam dalam
pupuh 139:5 tercantum kalimat, “Rwāneka
dhātu winuwus Buddha Wiswa (Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang
berbeda), Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen (Mereka memang berbeda,
tetapi bagaimanakah bisa dikenali?), Mangkang Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal
(Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal), Bhinnêka tunggal ika
tan hana dharma mangrwa (Berbeda-beda manunggal menjadi satu, tidak ada
kebenaran yang mendua)”