"Adeging sakaguru sinengkalan kaya hobah swaraning wong" (berdirinya saka guru bertanggal 1763), demikianlah sebuah sengakalan tersemat di sebuah kayu jati yang diletakkan di pelataran makam Arung Binang I (Jakasangkrip) di Kebejen, Kutawinangun.
The Past is the Key to the Present - Masa Lalu Kunci Memahami Masa Kini
"Adeging sakaguru sinengkalan kaya hobah swaraning wong" (berdirinya saka guru bertanggal 1763), demikianlah sebuah sengakalan tersemat di sebuah kayu jati yang diletakkan di pelataran makam Arung Binang I (Jakasangkrip) di Kebejen, Kutawinangun.
Tempe bongkrek, ya sebuah makanan yang terbuat dari campuran kedelai, ampas tahu dan ampas kelapa. Makanan ini kerap mencelakai pemakannya jika tidak diolah dengan benar. Wabah keracunan tempe bongkrek pertama kali dicatat oleh otoritas Belanda pada 1895. Kemudian pada 1902, ilmuwan Belanda bernama Adolf G. Vorderman melakukan penelitian terkait tempe bongkrek.
Ketika Hindia Belanda dilanda depresi ekonomi, tercatat antara tahun 1931-1935 kerap terjadi keracunan masal karena penduduk kerap membuat tempe bongkrek sendiri daripada membeli dari pembuat tempe berpengalaman.
Istilah difabel dan disabilitas semakin familiar di telinga kita untuk menandai sekelompok individu yang memiliki keterbatasan secara fisik ataupun mental. Banyak komunitas terbentuk untuk mewadahi aktivitas dan menyalurkan sejumlah bakat individu-individu yang memiliki keterbatasan tersebut.
Beberapa pegiat saat ini
mereferensikan sebuah terminologi yang dianggap lebih tepat yaitu “penyandang
disabilitas” tinimbang “difabel”. Istilah “difabel” sebenarnya merupakan
singkatan dari bahasa Inggris “different ability”, yang artinya “kemampuan yang
berbeda”. Sementara terminologi “penyandang disabilitas” berasal dari Indonesia
dan sesuai dengan Undang-undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang
Disabilitas.
Ternyata di Kebumen era kolonial telah ada kelompok-kelompok penyandang disabilitas dan mendapatkan sejumlah perhatian baik dari pemerintah maupun organisasi non pemerintah. Tidak banyak data yang kita peroleh mengenai keberadaan mereka di Kebumen era kolonial selain sebuah berita keberadaan mereka dikaitkan dengan sebuah pekan raya pengumpulan dana.
Sebuah laporan berita dengan judul De Fancy-Fair (Pekan Raya) yang dimuat oleh Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch-Indië (06 April 1938) dibuka dengan kalimat, Zaterdagavond had in de kaboepaten de fancy-fair plaats ten behoeve van het Blindenwerk in Nederlandsch IndiĆ« (Pada hari Sabtu malam, sebuah pekan raya mewah diselenggarakan di kabupaten untuk karya para pekerja tunanetra di Hindia Belanda).
Tahun 2009 lalu publik pernah dihebohkan dengan kasus Bank
Century terkait dengan kontroversi kebijakan terhadap Bank Century yang kala
itu hendak dilikuidasi. Penutupan Bank Century dianggap bakal menimbulkan
dampak sistemik sehingga harus disuntik dana oleh Lembaga Penjamin Simpanan. Yang
dipersoalkan adalah jumlah suntikan modal dari Lembaga Penjamin Simpanan ke
Bank Century hingga Rp 6,7 triliun sementara awalnya pemerintah hanya meminta
persetujuan Rp 1,3 triliun untuk Bank Century (https://nasional.tempo.co/read/208353/kronologi-aliran-rp-67-triliun-ke-bank-century/full&view=ok).