Geef mij maar nasi goreng met een gebakken ei
Wat sambal en wat kroepoek en een goed glas bier erbij
Beri saja aku nasi goreng dengan
telur dadar
Dengan sambal dan kerupuk dan segelas bir
Lirik di atas adalah petikan
lirik lagu berjudul, Geef Mij Maar Nasi
Goreng (Beri Saya Nasi Goreng) yang diciptakan dan dilantunkan keturunan
Belanda kelahiran Surabaya bernama Louisa Johanna Theodora "Wieteke"
van Dort (1943) atau Tante Lien pada tahun 1977. Di setiap penampilannya di
televisi Belanda selalu mengenakan pakaian kebaya Indonesia.
Meskipun lagu tersebut lebih
mencerminkan kerinduan dan ketidakrelaan Wieteke Van Dort saat harus
meninggalkan Indonesia ketika Sukarno menggencarkan nasionalisasi sejumlah
perusahaan Belanda, namun nasi goreng memiliki sejarah panjang dalam daftar
menu Rijstafel yaitu menu Indisch
yang disajikan di rumah atau rumah makan era kolonial. Bahkan dalam buku De Indisch Tafel (1938) nasi goreng
bersama jenis sambal masuk dalam daftar menu rijstafel (Rijstafel dan Menu Kuliner Pertemuan Dua Budaya - http://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2021/08/rijstafel-dan-menu-kuliner-pertemuan.html).
Tapi bukan hanya nasi goreng lho?
Masih banyak menu Nusantara yang dimasukkan dalam daftar buku-buku menu yang
diterbitkan orang-orang Belanda yang tinggal di Hindia. Salah satunya adalah
sate. Perhatikan dalam daftar menu De
Indisch Tafel (1938) mengenai jenis sate yaitu, sate koening, sate koewah,
sate toesoek (mulai dari ayah sampai daging sapi muda), sate pentool, sate
kambing.
Omong-omong mengenai sate
kambing, di depan Stasiun Prembun yang sudah tidak beroperasi kembali, terdapat
sebuah warung sate bernama Amad Kusni yang menurut keterangan pihak keluarga
telah dimulai oleh pendirinya yaitu Alm. Amad Kusni sejak akhir pemerintahan
Belanda menjelang Jepang masuk ke wilayah Kebumen (Prembun).
Mbah Amad Kusni sendiri adalah anak ketiga dari enam bersaudara. Lahir di Prembun sekitar th 1920an (asumsi menikah usia 20a-n saat Jepang masuk Prembun dengan pilihan menikah atau sekolah di Yogkarata. Beliau lebih memilih menikah dan berjualan untuk menghidupi keluarga barunya.
Orang tua Mbah Amad Kusni sendiri yaitu Mbah Semidikromo sudah mengawali berjualan sop
di Pasar Prembun. Awalnya Mbah Semidikromo berjualan di depan stasiun memakai
grobogan yg dipanggul hingga akhirnya bisa membeli rumah dan menempati sebelah
utara irigasi depan stasiun sampai sekarang. Kemudian dilanjutkan oleh Mbah Amad
Kusni dengan menu sate kambing.
Yang membeli dagangan Mbah Amad
Kusni pada waktu itu masyarakat sekitar Prembun mulai dari petani, pejabat
daerah, kuli panggul. Menurut keterangan Mbah Turi (adik ragil Mbah Amad Kusni)
permah menyaksikan pada jaman Belanda tentara Belanda makan sate kambing Mbah
Amad Kusni di warungnya dan turut membayar seperti pembeli lainnya.
Saat ini yang meneruskan
mengelola warung sate Amad Kusni adalah cucu dari Mbah Amad Kusni yang bernama
Ibu Sari Kusniati. Ibu Sari Kusniati adalah putri Ibu Sayem (atau Suyani) putri
dari Mbah Amad Kusni. Meskipun menempati di lokasi yang sama namun bangunan
yang sekarang merupakan hasil renovasi sekitar tahun 1980-an.
Prembun, bukan hanya lekat dengan
keberadaan Suikerfabriek Remboen yang pernah berjaya hingga tahun 1935-an (Loji dan Suikerfabriek Remboen di Prembun:
Mengumpulkan Kepingan Berita - https://www.inikebumen.net/2019/09/loji-dan-suikerfabriek-remboen-di.html)
namun menyimpan kisah-kisah tindakan
ekonomi masyarakat sekitar melalui penyajian sejumlah menu kuliner seperti
sate, yang juga menarik perhatian orang-orang Belanda untuk menjadikannya
sebagai salah satu daftar menu Indisch Tafel
Tidak ada komentar:
Posting Komentar