Saya terkejut saat membaca laporan Kebumen Ekspres beberapa minggu lalu sbb: “Akibat sudah mulai mengalami kerusakkan, candi Wonomarto yang berada di Kelurahan Wonokriyo Kecamanaan Gombong akhirnya dipugar, Rabu (13 November 2013)” (Mulai Rusak, Candi Wonomarto Dipugar, Kebumen Ekspres 15 November 2013). Keterkejutan saya dikarenakan saya pernah menulis artikel dengan judul, “Nilai Keberadaan Lingga dan Yoni di Desa Sumberadi”[1] dimana saya pernah mengulas mengenai satu-satunya artefak kebudayaan sisa peninggalan Agama Hindu Ciwa dalam bentuk Lingga dan Yoni di desa dimana terletak Pesantren Somalangu. Sepengetahuan penulis bahwa keberadaan artefak tersebut hanya berada di desa Sumberadi tidak di tempat lain. Pemberitaan Kebumen Ekspres memunculkan minat penulis untuk mencari tahu kebenaran adanya candi lain selain yang ada di wilayah Sumberadi, Kebumen.
Pada tanggal 26 November 2013, penulis mengadakan penelusuran untuk membuktikan keberadaan candi lainnya di kawasan Kebumen dan sekitarnya. Sampailah penulis di rumah Bapak Adji Tjaroko sebagai pewaris dan pemilik lokasi yang disebut sebagai Candi oleh koran Kebumen Ekspres dalam laporannya. Namun setelah berbincang-bincang cukup lama, sebenarnya apa yang disebut dengan “Candi” sebenarnya lebih tepat disebut dengan “Sanggar Meditasi” sebagaimana pengakuan Bapak Adji Tjaroko. Adapun istilah “Candi” tidaklah tepat karena istilah Candi memiliki karakter khas sebagaimana terkandung dalam definisinya sbb: “Menurut akar katanya (etimologi),istilah Candi diduga berasal dari kata Candika yang berarti nama salah satu perwujudan Dewi Durga sebagai dewi kematian.[2] Keberadaan Candi bersifat multi fungsi. Bisa berfungsi sebagai tempat beribadah, pusat pengajaran agama, tempat menyimpan abu jenazah para raja, tempat pemujaan atau tempat bersemayam dewa, petirtaan (pemandian) dan gapura. Walaupun fungsinya bermacam-macam, secara umum fungsi candi tidak dapat dilepaskan dari kegiatan keagamaan, khususnya agama Hindu dan Buddha, pada masa yang lalu. Oleh karena itu, sejarah pembangunan candi sangat erat kaitannya dengan sejarah kerajaan-kerajaan dan perkembangan agama Hindu dan Buddha di Indonesia, sejak abad ke-5 sampai dengan abad ke-14[3].