Terhitung sejak 1 Juni 1894, wilayah pekabaran Injil di Jawa Tengah yang semula di bawah tanggung jawab Nederlandsch Gereformeerde Zendings Vereeniging (NGZV) sejak 1861-1894, beralih di bawah kendali Zending Van de Gereformeerde Kerken in Nederland (ZGKN) yang merupakan penyatuan De Chistelijke Gereformeerde Kerk dan De Nederduitsche Gereformeerde Kerken sejak 1892.
Setelah misi NGZV (digantikan oleh misi ZGKN pada tahun 1900 maka wilayah pekabaran Injil di wilayah Jawa Tengah dibagi menjadi beberapa kewenangan sebagaimana dijelaskan dalam Atlas van de Terreinen der Protestanschezending in Nederlandsch Oost en West Indie (1939) dan De Zending van de Gereformeerde Kerken (1912) sbb: Pertama, Gereja Gereformeerde dari Utrecht dengan pendeta misi bernama Ds. Adriaanse. Ladang misi gereja Utrecht adalah karesidenan Bagelen (Kedu) meliputi Purworejo, Kutoarjo, Jenar, Temon, Cangkrep. Kedua, Gereja Gereformeerde dari Heeg dan Friesland dengan pendeta misi Ds. Baker. Ladang misinya adalah karesidenan Bagelen (Kedu) meliputi Kebumen dan Karanganyar.
Ketiga, Gereja Gereformeerde dari Amsterdam dan Noord Holland meliputi Vorstenlanden Yogyakarta dengan pendeta misi C. Zwaan. Keempat, Gereja Gereformeerde dari Rotterdam bekerja sama dengan Gereja-Gereja Belanda Zuid Holland (bagian selatan) dengan pendeta misi G.J Ruyssenaers. Ladang misinya meliputi Karesidenan Banyumas dan Tegal serta Pekalongan. Kelak Tegal dan Pekalongan menjadi wilayah misi Zending Salatiga.
Kelima, Gereja Gereformeerde dari Delft dengan pendeta misi L. Netelenbos. Ladang misi berada di karesidenan Bagelen meliputi Wonosobo. Keenam, sementara Gereja Gereformeerde Zeeland memilih karesidenan Bagelen (Kedu) yang meiputi Magelang sebagai wilayah misi. Adapun pendeta misi yang bekerja di sana adalah A. Merkelifn.
Ds. Baker, adalah pendeta utusan misi Gereja beraliran Gereformeerde (Reformasi Protestan) di desa Heeg Propinsi Friesland (terkadang disebut Friesche Zending /Misi Frisian) yang diutus dan tiba di Kebumen 11 September 1900. Menurut Babad Zending Ing Tanah Jawi karya J.D. Wolterbeek pada tahun 1939, bahwa pada bulan Agustus 1901 Baker untuk pertama kalinya melayankan “Heilige Avondmaal” (Perjamuan Kudus) dengan dihadiri 13 orang Jawa (namun bukan warga Kebumen), 1 orang Tionghoa dan 3 orang Belanda (1995:187).
Wolterbeek nampaknya keliru mencatat karena dalam sejumlah laporan zending dalam bahasa Belanda, jumlah orang Jawa yang mengikuti Perjamuan Kudus pertama kalinya sebanyak 14 orang sebagaimana ditulis oleh Baker sendiri dalam sebuah buku peringatan 25 tahun keberadaan Friesche Kerk di Kebumen (kelak menjadi Gereja Kristen Jawa Kebumen - GKJ) yang berjudul, Schetsen en Herinneringen (1925:36). Baker bukan satu-satunya pendeta misi di Kebumen. Kelak akan digantikan oleh Ds. Van Dijk, Korvinus, Bergema dll.
Dalam tugas pewartaan Injil di Kebumen, Ds Baker memiliki seorang helper (asisten/pembantu) bernama Yunus Dikoen, seorang Kristiani dari Karangglongong yang mengikut ajaran Kristen melalui murid Kiai Sadrach. Dikoen disekolahkan dan dididik dalam ilmu kedokteran bersama dr Scheurer (Petronella, kelak R.S. Beteshda) dan setelah selesai menjadi jururawat di hulphospitaal Krakal merangkap menjadi Guru Injil. Ayah Dikoen, lurah Glonggong tertarik dengan ajaran Kristen dan menyediakan rumahnya sebagai tempat perkumpulan ibadah. Bahkan anaknya yang bernama Soeseno (adik Dikoen) diserahkan kepada Baker untuk dididik agama Kristen. Selain dididik di rumah Baker, Soeseno juga disekolahkan di sekolah teologi Keuchenius, Yogyakarta.
Informasi berbeda datang kepada penulis baru-baru ini yang menyatakan bahwa Dikoen bukan kakak Soeseno. Melalui sebuah buku berjudul, Silsilah Eyang Kromoleksono: Lurah Desa Glonggong Kecamatan Klirong Kabupaten Kebumen Jawa Tengah (1810-1890) yang disusun oleh Endardjo tahun 1978 namun disusun ulang dengan keterangan tambahan oleh Sumaryo Sumardjo tahun 2021.
Dalam daftar silsilah tersebut disebutkan bahwa Eyang Kromoleksono memiliki lima keturunan yaitu Wiryowijoyo, Mangunarjo (putri), Diposentono, Harjotaruno, Atmowijoyo. Adapun putra keempat Kromoleksono yaitu Harjotaruna menurunkan sembilan keturunan yaitu Mutmainah, Mariam, Suwardi, Mentasari, Sumarsono, Harjosuseno, Sukesmi, Sudarsono, Yemima Kadarini. Ds. Suseno adalah putra keenam dari Harjotaruno dan cucu dari Kromoleksono dan tidak ada sama sekali nama Dikoen dalam daftar silsilah tersebut.
Apakah J.D. Wolterbeek penulis Zending Ing Tanah Jawi melalukan kekeliruan mengindentifikasi Dikoen dan Soeseno sebagai kakak beradik? Penulis belum berani memastikan. Sejarah selalu bersifat sementara sejauh data-data yang tersedia. Biarlah data-data ini bersanding hingga menemukan data selanjutnya yang lebih akurat, khususnya catatan Zending di era kolonial.
Tahun 1902 Soeseno menerima baptisan dengan nama baptis Zakheus. Demikian pula sang ayahnya yang lurah Glonggong dibaptis tahun 1903. Demikian pula Diposentono sang paman yang menjabat carikpun dibaptis. Soeseno sendiri tidak jadi meneruskan tugas sang ayah menjadi lurah dan berfokus menjadi Guru Injil.
Pada tangal 7 Agustus 1928, Zakheus Soeseno ditahbiskan menjadi pendeta Jawa pertama di Friesche Kerk yang kelak bernama GKJ Kebumen. Sebenarnya pemanggilan Zakheus Soeseno ditopang oleh tiga jemaat yaitu Kebumen, Glonggong, Pamrian (Tunjungseto) karena sekalipun domisili Ds. Z. Soeseno di Karangglonggong namun keuangan jemaat belum mampu membiayai satu orang pendeta sehingga harus ditopang tiga jemaat (Babad Zending Ing Tanah Jawi, 1995:247)
Ds. Zakheus Soeseno sosok yang cakap dalam menyampaikan Firman Tuhan dan memimpin. Terbukti saat pertemuan Sinode I gereja-gereja beraliran gerefomeerde (reformasi) hasil pekabaran injil zending ini kelak melaksanakan pertemuannya di Kebumen pada tanggal 17-18 Februari 1931. Ds Soeseno menjabat sebagai ketua sidang Sinode I. Jemaat-jemaat kristiani yang berkumpul di Kebumen ini menamakan dirinya Pesamoewan Kristen Gereformeerd ing Tanah Djawi Tengah sisih Kidoel, yang masing-masing mengelompok dalam 5 klasis (Kebumen, Purbalingga, Purworejo, Yogyakarta, Surakarta). Kelak berganti nama menjadi Gereja Kristen Jawa.
Rumah peninggalan Ds. Zakheus Soeseno masih dapat ditemui di Desa Wotbuwono. Saat ini rumah tersebut ditinggali oleh cucu Soeseno bernama Atik Indriyati. Ibu Atik adalah cucu dari anak ke-empat Soeseno yang bernama Sulastri. Menurut keterangan keluarga, fasad depan sudah mengalami renovasi namun struktur rumah termasuk fasad samping kiri kanan peninggalan sejak zaman Belanda. Fasad tembok samping kanan kiri rumah Ds. Zakheus Soeseno terdapat ukiran timbul seperti tangga berhadapan.
Ds. Soeseno yang lahir pada tahun 1888 wafat pada tanggal 15 Februari 1966 dan dikebumikan di pemakaman umum desa Wotbuwono. Saat penulis mengunjungi lokasi makam, cukup memprihatinkan kondisinya. Terletak paling utara di pagar pembatas. Tidak terlihat istimewa dengan penanda berupa pagar atau atap rumah yang menaungi makam. Nama Ds. Zakheus Soeseno dan istrinya Ester hampir tidak terbaca di sebuah nisan buatan periode pasca kemerdekaan.
Akan lebih baik jika kedudukan makam mengalami sejumlah perbaikan dan penanda khas (seperti makam penginjil Kiai Sadrach di Kutoarjo) sehingga selain mudah dicari juga agak nyaman jika hendak menaikan bacaan Kitab Suci sebagai bentuk sapaan kepada tokoh yang pernah berjasa menjadi pandita Jawa pertama di Kebumen dan yang menjadi fundasi pembentukan umat selanjutnya
Pdt Soeseno dulu adalah yg merancang (design) rumah ke 2 nenek kami di Gang Menur. Berdasarkan silsilah keturunan Eyang Kromoleksono, nama Dikoen itu tidak ada. Ayah Pdt Soeseno adalah Harjotaruno yg mempunyai 9 anak, dan Soeseno adalah anak no. 6. Memang dulu ada mbah Dikoen tinggal dibelakang sekolah SD 1 Kebumen, Gang Cempaka, yg punya anak nama Daniel Yonathan. Salah satu anak pak Daniel Yonathan adalah mbak Kenung (Nurendah) yg tinggal di Gg Cempaka. Kalau mau check bida langsung dgn mbak Kenung yg merupakan cucu langsung dari mbah Dikoen.
BalasHapusPak, apakah saya bisa mendapatkan foto copy silsilah mbah Kramalaksana?
HapusBisa dlm soft copy PDF
Hapus