Kesenian tidak bisa
dilepaskan dari Kebudayaan. Kebudayaan didefinisikan oleh Edward B. Taylor
sebagai, “Kompleks keseluruhan yang
meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, moral, kebiasaan serta
lain-lain kecakapan dan kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota
masyarakat”[1].
C. Kluckhon dalam bukunya, Universal
Categories of Culture menyebutkan adanya tujuh unsur kebudayaan secara
universal sbb: sistem pengetahuian, sistem organisasi,, sistem sosial, sistem
peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian, sistem religi, bahasa
serta kesenian[2].
Jika disederhanakan, kebudayaan memiliki tiga wujud sebagaimana dijelaskan
Koentjaraningrat yaitu: Pertama,
wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai,
norma-norma, peraturan dan sebaginya. Kedua,
wujud kebudayaan sebagai kompleks aktifitas serta berpola dari manusia dalam
masyarakat. Ketiga, wujud kebudayaan
sebagai benda-benda hasil karya manusia[3].
Seni dan kesenian adalah salah satu “unsur kebudayaan” (istilah C. Kluckhon)
atau “wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia” (istilah
Koentjaraningrat).
Cepetan adalah seni
yang lahir dan tumbuh sebagai bagian dari kebudayaan masyarakat Kebumen.
Kebumen memiliki karakteristik kebudayaan yang cukup unik dikarenakan menjadi
“wilayah jepitan dua kebudayaan yaitu Banyumas dan Bagelen” (istilah Mustolih
Brs, pengajar di STAINU). Budaya Bagelen dekat dengan Purworejo yang mencirikan
sifat kesantunan dengan bahasa yang “mbhandek” dikarenakan dekat dengan wilayah
Keraton Yogyakarta yang penuh dengan simbol-simbol dan adab keraton. Sementara
Budaya Banyumasan kental dengan sifat merakyat yang kental dengan budaya
pertanian, komunikasi yang spontan bahkan cenderung tidak berbasa-basi.
Kebumen sebagai sub
kultur dua kebudayaan mapan sebelumnya yaitu Banyumas dan Bagelen, menghasilkan
keunikkan dalam logat berbahasa antara timur sungai Luk Ulo dan barat sungai
Luk Ulo. Selengkapnya Mustolih mendeskripsikan:
“Dari logat bahasanya, Kebumen
terbagi dua. Sebelah timur aliran sungai Luk Ulo berbahasa dengan didominasi
vokal ''o'', dan mbandek (poko'e). Sementara di sebelah barat aliran sungai Luk
Ulo didominasi vokal ''a'' dan ''k'' medok, (pokoke). Sedangkan, di antara
aliran sungai Luk Ulo dan aliran Sungai Kedungbener bahasanya campur bawur, ada
yang memakai poko'e, ada yang memakai pokoke. Sedangkan sebelah utara Gunung
Krakal masyarakat lebih fasih berbicara dengan logat Wonosoboan dengan memanjangkan
fonem akhir. Kebiasaan dan adat istiadat di Kebumen juga beragam, penduduk yang
tinggal di sebelah barat sungai Luk Ulo lebih suka nanggap calung, dan eblek,
sedangkan penduduk yang tinggal di sebelah timur sungai Luk Ulo lebih suka
nanggap wayang kulit atau ndolalak untuk acara resepsi. Orang Kebumen yang
tinggal di sebelah timur aliran sungai Luk Ulo disebut wong wetan kali, di
antaranya Kecamatan Kutowinangun, Ambal, dan Mirit. Mereka lebih terkesan
mriyayi sedang di Kecamatan Padureso, Poncowarno dan Alian lebih kental dengan
logat Wonosoboan. Sebaliknya, orang Kebumen yang tinggal di sebelah barat
aliran Sungai Luk Ulo disebut wong kulon kali, di antaranya Kecamatan Pejagoan,
Klirong, Sruweng, Petanahan, Kuwarasan, Gombong, yang lebih terkesan merakyat,
meskipun tidak seluruhnya”[4]
Keunikkan kebudayaan
Kebumen sebagai sub kultur Banyumas dan Bagelen akan menghasilkan keunikkan dan
karakteristik tertentu pada seni dan kesenian khususnya Cepetan yang berkembang
di wilayah utara namun sekaligus telah masuk wilayah “Kulon Kali” yang
mengekspresikan kebudayaan Banyumas yang bersifat kerakyatan. Kentalnya budaya
kerakyatan sebagai ciri budaya Banyumas diulas oleh Yus Wong Banyumas dalam
artikelnya, “Spirit Pengiyongan Dalam
Pergulatan Dua Kutub Budaya” sbb: