Sebuah peristiwa penipuan menimpa
seorang pemilik hotel di Kebumen pada tahun 1929. Nama hotel tempat kejadian
perkara itu adalah Hotel Slamet. Beberapa surat kabar berbahasa Belanda memuat
beritanya dengan judul, De Kiai en De
Hotelhouder (De Locomotief, 10 Februari 1929), De Kiai en De Hotelhouder (Het Nieuws Van Den Dag voor
Nederlandsch-Indië, 15 Januari 1929), De
Wereld Wil Bedrogen Zijn: Een Sluwe Kiai (De Morgen, 11 Februari 1929), Handeldrijvende Heilige: Boorwater in Plaats
van Brillanten (Nieuwe Venlosche Courant, 16 Februari 1929).
Jadi begini ceritanya menurut laporan berita sebagaimana disebutkan di atas. Pada suatu hari seorang yang mengaku sebagai Kiai Agoes Achmad dari Palembang menginap di Hotel Slamet, Kebumen. Dia mengaku sebagai pedagang dan memberi tahu pemilik hotel bahwa dia datang ke sini untuk melakukan bisnis sementara istri dan anak-anaknya di tinggal di Tasikmalaja. Menurut pengakuannya dia baru akan bahwa keluarganya ke Kebumen jika semuanya berjalan lancar.
Untuk beberapa hari orang yang
mengaku sebagai kiai tersebut tidak memperlihatkan gejala mencurigakan karena
dia menjalankan kewajiban religius hariannya sebagaimana gelar yang
dimilikinya, demikian tulis beberapa surat kabar tersebut. Namun pada suatu
hari, orang tersebut menemui pemilik hotel dan mengutarakan niatnya untuk
menjenguk keluarganya di Tasikmalaya selama beberapa hari.
Orang yang mengaku kiai tersebut
mengutarakan maksudnya yaitu meminjam uang sebesar 450 florin (gulden) untuk
biaya menjemput keluarganya karena uang miliknya sudah diserahkan pada
keluarganya dan yang tersisa hanya modal usahanya saja.
Untuk meyakinkan sang pemilik
hotel, orang tersebut memperlihatkan sebuah kain katun putih yang membungkus
sebuah paket. Kemudian dirinya melakukan sobekan kecil dan memperlihatkan
kepada pemilik hotel tersebut uang sebesar 10 florin di dalamnya. Menurut
pengakuan orang yang mengaku sebagai kiai, bahwa dalam paket tersebut tersimpan
uang sebanyak 5000 florin. Dia akan menyimpan paket bungkusan berisi uang ini
dalam lemari kamar di mana dirinya menginap. Orang tersebut kemudian mengajak
pemilik hotel untuk melihat di mana dirinya akan menyimpan paket tersebut di
dalam kamar serta memperlihat koper yang menurutnya berisi beberapa ribu gulden
di dalamnya. Pemilik hotel tersebut takjub mendengar penjelasan orang yang
mengaku kiai tersebut.
Pergilah orang tersebut dengan
membawa uang sebesar 450 florin setelah pemilik hotel meminjaminya dengan
“jaminan” paket uang dan koper di dalam kamar. Beberapa hari sebagaimana
dijanjikan orang yang mengaku kiai tersebut tidak kunjung datang. Pemilik hotel
Slamet akhirnya melaporkan pada polisi.
Polisi datang dan membuka kamar
serta memeriksa paket dan koper yang ditinggalkan di lemari kamar pengginapan.
Ketika paket tersebut dibongkar, ternyata isinya hanyalah sobekkan kertas koran
yang di atasnya diletakkan 10 florin dan saat koper dibuka isinya hanyalah
sepasang sandal, baju lusuh, cermin serta air boorwater (pembersih mata) dalam
sebuah botol yang cemerlang.
Namun sayang pemilik hotel harus
merelakan uangnya 450 florin miliknya raib dan diganti uang 10 florin karena
polisi tidak berhasil (zonder resultaat)
melacak keberadaan orang yang mengaku sebagai kiai tersebut. Kasihan juga
pemilik hotel ini ya?
Terlepas dari laporan berita
penipuan di atas, keberadaan Hotel Slamet memberikan gambaran pada kita bahwa
di tahun tersebut bisnis perhotelan sudah cukup berkembang di Kebumen. Belum
didapatkan keterangan di mana letak Hotel Slamet ini di masa kini.
Sebenarnya sejak tahun berapakah
keberadaan hotel hadir di Kebumen di era kolonial? Sebelum kita lanjutkan,
perlu diketahui bahwa istilah “hotel” belum tentu sebuah bangunan mewah dan
bertingkat sebagaimana layaknya hotel berbintang masa kini. Memang ada
hotel-hotel mewah semacam itu seperti Des
Indes (Batavia) dan Savoy Hooman
(Bandung) namun itu di kota-kota besar yang berstatus gemeente (kotamadya). Keberadaan sejumlah hotel di Kebumen
berbentuk rumah biasa dengan ukuran yang agak besar namun sederhana disesuaikan
dengan kondisi di kota kecil (kleine stad) berstatus kabupaten (regentschap)
Teguh Hindarto dalam buku
berjudul, Bukan Kota Tanpa Masa Lalu:
Dinamika Sosial Ekonomi Kebumen Era Arung Binang VII (2021:57-63)
menjelaskan sbb:
“Sejumlah iklan telah beredar
pada tahun 1890-1891 yang menyebutkan sebuah hotel di buka dekat pemadian air
panas Krakal sebagaimana dilaporkan De
Locomotief (1 Desember 1890) dengan menuliskan nama ‘Krakal’ dan ‘Hotel
Geopend’ (Telah Dibuka Sebuah Hotel) dan diberi keterangan, ‘Salah satu tempat
pemandian air panas tersehat di Jawa
untuk orang sakit dan sedang dalam pemulihan’. Dalam buku Handboek Voor Tourisme In Nederlandsch Indie (1929) disebutkan
beberapa daftar berbagai hotel dan tempat wisata di seluruh Hindia Belanda yang
terhubung dengan organisasi Java Motor
Club termasuk di wilayah Kebumen dan Karanganyar (sebelum tahun 1937,
Kebumen dan Gombong merupakan wilayah tersendiri. Gombong merupakan salah satu
distrik dari Kabupaten Karanganyar). Sementara dalam buku Orang-Orang Tionghoa
di Jawa (1936) disebutkan beberapa nama hotel yang pernah ada di Kebumen al.,
Hotel Slamet, Hotel Bian An Kie, Hotel Wan Lay Kie. Tidak sampai di sini, ada
sejumlah nama hotel lain dilaporkan di Kebumen yaitu Hotel Le Bien Venu (De Locomotief, 11 Agustus 1900), Hotel
Persijn (De Indische Courant, 28
Desember 1925), Hotel Slamet (Nieuwe
Rotterdamsche Courant, 8 Februari 1929)”
Mengenai keberadaan pemandian air
panas Krakal dan perannya di era kolonial dapat membaca kajian Teguh Hindaro
dan Chusni Ansor dalam artikel, Geosite
Pemandian Air Panas Krakal Sebagai Titik Pertemuan Legenda, Sejarah dan Geologi
(Prosiding Geodiversity: Seminar Nasional Ilmu Kebumian 2019, Riset Ilmu
Kebumian untuk Pengembangan Geopark Nasion - https://www.academia.edu/49339518/GEOSITE_PEMANDIAN_AIR_PANAS_KRAKAL_SEBAGAI_TITIK_PERTEMUAN_LEGENDA_SEJARAH_DAN_GEOLOGI).
Kembali kepada pelacakan sejumlah
hotel di Kebumen, dalam artikel yang ditulis Teguh Hindarto dengan judul, Melacak Jejak Kisah Hotel Juliana di Kebumen
- https://www.qureta.com/post/melacak-jejak-kisah-hotel-juliana-di-kebumen)
dijelaskan sebuah keberadaan hotel bernama Juliana sbb:
“Dalam sebuah laporan surat kabar
De Locomotief (14 Desember 1931)
disebutkan, Sinds eenige jaren is
Keboemen in het bezit vaneen zeer goed hotel, nl. Hotel Juliana (Selama
beberapa tahun, Keboemen telah memiliki hotel yang sangat bagus, Hotel
Juliana). Jika disebutkan “beberapa tahun” maka keberadaan hotel ini sudah ada
sebelum tahun 1931. Dalam laporan surat kabar tersebut kita mendapakan sejumlah
keterangan menarik mengenai deskripsi Hotel Juliana sbb: ‘Bangunan yang
sekarang digunakan terlalu kecil, dan seringkali calon tamu harus ditolak.
Namun, saat ini, sebuah paviliun yang sangat baik telah dibangun di sebelah
gedung utama, di belakangnya masih ada beberapa kamar untuk tamu biasa.
Keluarga Van Ginsbergen telah menunjukkan bahwa mereka sangat cocok untuk
mengelola hotel dan sekarang memiliki reputasi yang sangat baik selama
bertahun-tahun. Di masa lalu, sebagian besar orang melintas menuju Gombong,
namun saat ini banyak dari mereka menginap di Kebumen’. Dari laporan berita di
atas kita dapat melihat perkembangan Hotel Juliana yang semula gedungnya kecil
(te klein) menjadi “paviliun yang
sangat baik” (het hoofdgebouw) bahkan
naik kelas menjadi “hotel yang sangat bagus” (goed hotel) dan “bereputasi baik”
(goede reputatie)”
Sayangnya tidak satupun dari
keberadaan hotel-hotel yang disebutkan di atas terlacak lokasinya di masa kini.
Kecuali Hotel Juliana yang berlokasi di kawasan Bank Jateng di sebelah selatan
Alun-alun tidak jauh dari aliran sungai Luk Ulo, sebagaimana deskripsi beberapa
surat kabar semasa kolonial. Itupun sudah tidak ada wujud bangunan aslinya sama
sekali. Hanya foto dan rekaman ingatan beberapa orang yang pernah menyaksikan
gedung eks Hotel Juliana yang mengalami alih fungsi penggunaan pasca
kemerdekaan.
Satu-satunya hotel di Kebumen
yang masih tersisa hari ini dan memperlihatkan jejak kekunoan adalah Hotel
Pusaka (Jl. Pemuda No 123, Panjer, Kebumen). Saat ini penginapan tua tersebut
dihuni oleh Bapak Karno. Menurut pangakuan pak Karno, penginapan yang diwarisi
dari orang tuanya dahulunya adalah Hotel Theresia di tahun 1950-an. Jika kita
melihat ruang depan rumah yang ditinggali Pak Karno dan keluarganya akan nampak
lengkungan khas bangunan lama era kolonial. Sementara penginapannya terletak di
samping agak ke belakang. Di antara selasar ada kamar-kamar yang sangat luas
sehingga cukup leluasa beraktifitas, meskipun bagi beberapa orang dirasakan
kurang nyaman.
Di masa kini, sejumlah hotel
telah menghiasai sudut-sudut jalanan kota Kebumen. Ada hotel-hotel yang sudah
berdiri sejak tahun 1970-an seperti Hotel Nasional yang kemudian mengalami
sejumlah renovasi (saya mendapatkan fotonya dari Sdr. Ryan Sto seorang kolektor
benda-benda bersejarah) dan ada hotel-hotel berbintang yang baru berdiri di
tahun 2014 yaitu Hotel Meotel (sekarang Grand Kolopaking) dan Hotel Mexolie
yang dibangun tahun 2016 dan masih ada sejumlah hotel lainnya tersebar di
beberapa titik di pusat kota.
Demikianlah kisah pelacakan
sejumlah hotel yang pernah ada di Kebumen di era kolonial. Menjadi tempat
beristirahat para pelancong wisata atau mereka yang sedang melakukan bisnis
serta menjadi sumber penghidupan bagi pengelolanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar