Dalam beberapa tulisan sebelumnya penulis pernah mengisahkan
beberapa kisah tragis dan dramatis di Kebumen tahun 1929 al., terbunuhnya
seorang agen Electriciteit Maatschappij Banjoemas (EMB) oleh seorang pembantunya melalui media
serbuk untuk alias mata dan pemilik bioskop lokal (Kebumen dan Kopi Beracun 1929 - http://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2021/11/kebumen-dan-kopi-beracun-1929.html)
dan kisah Henri van Thienen, yang bekerja di kantor pos Kebumen namun
menembak dirinya sebelum menembak keponakannya - Poppie van Thienen - di Blitar
(Brievenbus di Kantor Pos Kebumen: Saksi Bisu Perubahan Zaman dan Monumen
Kenangan Sebuah Masa - http://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2019/11/brievenbus-di-kantor-pos-kebumen-saksi_13.html).
Jika kasus pertama tidak jelas motif yang melatarbelakanginya sementara kasus
kedua berlatar belakang asmara.
Kisah dramatis berdarah dengan latar belakang asmara kembali terjadi di Purwokerto tahun 1925. Sebuah berita dengan judul Het Drama te Poerwokerto yang diterbitkan Bataviaasch Nieuwsblad (22 Mei 1925) melaporkan perihal kasus bunuh diri bersama akibat hubungan pernikahan yang tidak mendapatkan restu orang tua pihak perempuan.
Peristiwa dramatis dimulai dari
hilangnya seorang anak perempuan berusia 18 tahun yang disebut Nona R (koran tidak
menyebutkan namanya hanya inisialnya) dari Semarang yang pergi bersama
pasangannya Tuan L dari Semarang ke Purwokerto sejak sabtu hingga minggu. Orang
tuanya perempuan yang merasa kehilangan melaporkan kepada polisi untuk
dilakukan pencarian.
Pukul setengah tujuh malam komandan
polisi di Poerwokerto memerintahkan anggotanya untuk memeriksa apakah Nona R
ada di rumah Tuan L. Jika ditemukan maka akan diantar ke Semarang keesokan
paginya. Ketika komandan polisi datang ke rumah Pak L, semuanya tertutup. Semua
pintu dan jendela tertutup dan tidak ada satu lampu pun yang menyala. Seorang
pembantu wanita (baboe) menjelaskan bahwa tuan rumah belum pulang ke rumahnya.
Setengah jam kemudian, komandan
polisi kembali ke rumah Tuan L dia melihat
semua jendela menyala. Di sana sang komandan polisi menemukan bahwa Tuan L.
telah menembak dirinya sendiri dan melukai gadis itu dengan luka serius namun
keadaan gadis tersebut masih hidup.
Terdapat bekas luka tembak di
jantung Tuan L beserta tiga surat di atas meja di ruangan tempat drama itu
berlangsung, yang salah satunya ditujukan kepada orang tua Nona R yang isinya antara lain menyatakan bahwa semua
yang terjadi telah disepakati di antara mereka berdua. Kondisi gadis yang
terluka parah dibawa ke klinik, namun apa daya dia menyusul kekasihnya dan
meninggal sekitar pukul 00.00 di malam saat kejadian penembakan terjadi.
Jenazah Tuan L. telah dikebumikan
sementara Nona L jenazahnya dibawa dengan mobil dari Purwokerto ke Semarang.
Surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad mengakhir beritanya dengan menyebutkan latar
belakang pekerjaan Tuan L sebagai, “De heer L. was directeur der ijsfabriek te
Poerwokerto” (Tuan L. adalah direktur pabrik es krim di Poerwokerto).
Menarik mengikuti laporan Bataviaasch Nieuwsblad. Kejadian perkara
tanggal 18 Mei 1925 tersebut langsung dilaporkan pada tanggal 18 Mei 1925
dengan berita satu paragraf dengan menyebutkan inisial L yang adalah direktur
pabrik es Purwokerto dengan nama Lange sementara Nona R yang dimaksudkan adalah
anak perempuan Tuan Ravensberg. Pada laporan tanggal 19 Mei 1925 nama
Ravensberg pun disebutkan. Entah mengapa pada pemberitaan yang agak panjang
pada tanggal 22 Mei 1925 sebagaimana dikutip di awal tulisan ini, nama-nama
orang yang terlibat perkara hanya ditulis inisial saja.
Ada satu surat kabar yang cukup
lengkap memberitakan peristiwa memilukan tersebut yaitu dengan judul, Een Tragisch Gebeuren: Twee Geliefden Zoeken
Hereeniging in den Dood (Sebuah Peristiwa Memilukan: Dua Kekasih Mencari
Penyatuan Melalui Kematian) yang dimuat surat kabar Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch-Indië (19 Mei 1925).
Melalui pemberitaan surat kabar
ini kita mendapatkan gambaran peristiwa dengan lebih terang dan gamblang.
Ringkasnya bahwa Lange mencintai putri Ravensberg. Namun sang ayah tidak
menyetujui niatan tersebut dikarenakan status Lange yang pernah diceraikan oleh
istrinya yang ternyata adalah adik ipar Ravensberg yang juga tante/bibi dari
anak perempuan Ravensberg. Apalagi anak Ravensberg baru berusia 18 tahun dan
baru lulus sekolah. Selain itu usia keduanya terpaut jauh di mana Lange sudah berusia 45 tahun.
Pada hari Sabtu, Lange menuju
Semarang karena tahu akan ada kegiatan Fancy Fair (pameran mewah) di mana putri
Ravensberg akan menjaga salah satu stan. Lange menyewa sebuah kamar di rumah
Smaber di dekat Bojong di mana keluarga Ravensberg tinggal. Diperkiraan kedua
pasangan yang hendak merencanakan kawin lari (schaking) ini bertemu di taman
kota untuk membahas rencana mereka berdua.
Pada sabtu malam nampaknya putri
Ravensberg mulai kabur dari rumahnya karena keesokan harinya jendela kamarnya
ditemukan terbuka dan minggu dini hari mulai meninggalkan Semarang. Beberapa
tetangga sempat memergoki mereka pada hari minggu sebelum peristiwa nahas
tersebut.
Setelah ditunggu sepanjang hari
putri Ravensberg tidak kunjung pulang, keluarga mulai gelisah dan menduga telah
terjadi penculikan dan melapor kepada pihak kepolisian Semarang yang
dilanjutkan oleh kepolisian Semarang meminta bantuan kepolisian Purwokerto.
Akhirnya kepolisian Purwokerto
berusaha mencari rumah kediaman Lange. Namun karena tidak menemukan dan sang
pembantu berkata, “meneer nog niet thuis was” (tuan tidak ada di rumah).
Sebenarnya mereka berua ada di rumah hanya sang pembantu disuruh berbohong.
Jika Bataviaasch Nieuwsblad
melaporkan kedatangan polisi tiga puluh menit setelah kedatangan pertama, maka
laporan Algemeen Handelsblad voor
Nederlandsch-Indië menyebutkan satu
jam kemudian polisi datang kembali.
Sisa kisahnya surat kabar Algemeen Handelsblad voor
Nederlandsch-Indië memberikan
laporan yang sama di mana ketika polisi datang, mereka melihat pemandangan
tragis di mana baik Lange dan putri Ravensberg bersimbah darah dengan luka di
jantung. Kesaksian pembantu mendengar dua tembakan saat polisi meninggalkan
rumah mereka.
Drama percintaan berdarah ini 2
tahun berselang setelah diterbitkannya roman karya Marah Rusli oleh Balai Poestaka
dengan judul, Sitti Nurbaya: Kasih Tak
Sampai. Tentu tidak ada kesamaan kisah sama sekali karena roman Siti
Nurbaya mengisahkan terpisahnya cinta Samsulbahri dengan Siti Nurbaya yang
berujung kematian di tangan Datuk Maringgih, sementara drama berdarah di Purwokerto
mengakibatkan kedua pasangan Belanda yang tidak direstui orang tua berujung
kematian keduanya.
Kesamaan di antara kisah fiktif dan fakta tersebut bahwa keduanya tidak mencapai cinta mereka masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar