Foto
Gempa di Wonosobo Tahun 1924 (Algemeen Handelsblad, 16 Desember 1924)
Bencana
gempa bumi di Turki yang terjadi pada 6 Februari 2023 pagi hari pukul 04.17
waktu setempat dengan magnitudo 7,8 yang semula tercatat memakan korban 12.000
jiwa saat artikel ini tuliskan telah mencapai 41.132 jiwa. Sebuah peristiwa
yang menyedihkan dan menarik perhatian kemanusiaan sedunia.
Indonesia
– sebagaimana kerap kali disampaikan para pakar kegempaan – memiliki w2/3
wilayah yang rawan kegempaan, tentu menjadikan peristiwa ini sebagai sebuah
alarm kewaspadaan. Sebagaimana dikatakan Daryono (Kepala Pusat Gempa dan
Tsunami Badan Metereologi, Klimatologi dan Geofisika) dalam artikelnya, “Hasil
kajian Pusat Studi Gempa Nasional menunjukkan bahwa ada 295 segmen sesar aktif
di Indonesia” (Pelajaran Dari Gempa Turki,
Kompas, 16 Februari 2023).
Dari
penjelasan Daryono, ada bagian yang menarik perhatian ketika menghubungkan
antara mitigasi bencana dengan pemahaman historis mengenai peristiwa kegempaan
di masing-masing wilayah kegempaan. “Jangan melupakan sejarah, dalam hal ini
adalah sejarah gempa. Dalam seismologi kita mengenal adanya konsep periode
ulang (returns period). Setiap gempa kuat yang pernah terjadi di suatu tempat
akan terjadi lagi sebagai perulangan”, demikian tulis Daryono. Selanjutnya
dijelaskan pula bahwa aktivitas sesar aktif yang mengakibatkan gempa yang
merusak sudah teridentifikasi sejak tahun 1600 di berbagai wilayah Nusantara.
Omong-omong
mengenai gempa dan kesadaran historis mengenai peristiwa gempa di masing-masing
wilayah, Kabupaten Kebumenpun telah mengalami sejumlah peristiwa kegempaan
sejak era kolonial (sejauh yang terdokumentasikan dalam sumber-sumber kolonial
berupa jurnal dan berita surat kabar). Dari sekian peristiwa gempa kita akan
melihat laporan berita tahun 1852 dan 1898. Mengapa tahun tersebut yang
dipilih? Karena efek kegempaannya besar dan merusak sementara tahun-tahun yang
lain hanya berupa goncangan dan getaran kecil belaka.
Sebuah
berita pendek yang dimuat surat kabar Arnhemsche
Courant (22 Desember 1852) menuliskan sbb:
“Dari
Poerworejo sejak tanggal 18 Oktober dilaporkan bahwa di Keboemen, pada tanggal
13 Oktober sekitar pukul 12 siang, terjadi empat gempa berturut-turut (vier elkander opvolgende schokken van
aardbeving) bergerak ke arah timur, menyebabkan kerusakan pada bangunan pemerintah
atau bangunan lainnya; kemudian pada tanggal 15 bulan yang sama, sekitar jam 8
malam, dirasakan sembilan kali getaran gempa yang sangat kuat dirasakan dari
arah yang sama, sedemikian rupa sehingga dinding ruang penyimpanan kas
(geldkamer) dan kantor (bureaux) di Keboemen mengalami retak. Namun, rumah
asisten residen yang baru dibangun di Keboemen tidak mengalami kerusakan”
Sayangnya
tidak diberikan keterangan kekuatan gempa yang terjadi. Barangkali teknologi
untuk mengukur kekuatan gempa masih terbatas. Rancangan seismograf saja baru
dibuat Luigi Palmieri tahun 1855 (Ada yang mengatakan Filippo Cecchi yang
menemukan pertama kali tahun 1875) dan Skala Mercalli baru ditemukan tahun 1902
serta Skala Richter baru ditemukan tahun 1935. Namun dari deskripsi berita di
mana terjadi sejumlah retakan dan kerusakan bangunan pemerintahan dan bangunan
lainnya, maka gempa ini dipastikan menimbulkan sejumlah kerusakan serius.
Ada
penggalan informasi menarik dari berita peristiwa gempa ini bahwa gedung
asisten residen (sekarang menjadi kantor Bupati Kebumen) ternyata dibangun
tahun 1852 sekalipun pemerintahan Kebumen sudah berlangsung sejak 1830.
Berita
selanjutnya ditulis di surat kabar Sumatra
Courant (8 Desember 1898) sbb:
“Pesan
yang diterima dari Residen Bagelen melaporkan bahwa akibat gempa pada malam
tanggal 2 tahun ini beberapa retakan muncul di gedung sekolah Eropa di
Keboemen, di rumah dan tiang batu kandang kuda milik bupati, di tiang-tiang
rumah dan gedung kantor wedono. Rumah asisten residen di Karanganjar juga retak
di dua tempat,sementara tiang batu rumah transit (passantenhuis) di ibu kota kawedanan Gombong, yang sekarang
digunakan untuk menggerakan artileri (batterijen)
dari Babakan ke garnisun mereka, mengalami kehancuran. Selain itu, di distrik
Karanganjar, Gombong, Poering dan Karangbolong, sebanyak 44 rumah penduduk
besar dan kecil, kandang dan lumbung roboh atau hancur menyebabkan kerusakan
sekitar 500 jiwa penduduk. Seorang warga pribumi lanjut usia di dessa
Gandoesarie, distrik Poering, diambil dari kolong rumahnya dengan luka-luka dan
kehilangan kemampuannya untuk berbicara (spraakvermogen
verloren)”
Dari
petikan berita tersebut kita bisa membayangkan sejumlah kerusakan yang
menghantam sejumlah gedung sekolah, gedung pemerintahan bahkan tempat kuda
bupati serta sejumlah tiang penyangga rumah. Bukan hanya gedung pemerintahan
bahkan rumah-rumah penduduk yang mengalami kerusakan parah dengan memakan
korban sekitar 500 jiwa.
Tahun
1937 tercatat sebuah peristiwa gempa yang menyebar di beberapa wilayah di Jawa
Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur. Dalam sebuah berita berjudul, De Aardbeving op Java (Gempa di Pulau
Jawa) yang dimuat surat kabar Provinciale
Geldersche en Nijmeegsche Courant (29 September 1937) menyebutkan “Observatorium
meteorologi di Batavia mencatat gempa yang cukup dahsyat pada pukul 16.37, yang
melumpuhkan dua pena seismograf. Jaraknya sekitar 600 Km. dari Batavia, arahnya
sulit ditentukan, tetapi mungkin Timur-Tenggara”. Beberapa kabupaten dilaporkan
mengalami sejumlah kerusakan mulai dari Kediri, Yogyakarta, Semarang, Banyumas.
Namun sejauh data yang diteliti, nama Kebumen tidak disebutkan mengalami
kerusakan. Mungkin luput dari pemberitaan koran saat itu saja.
Dari
pengungkapan berbagai peristiwa gempa yang pernah melanda Kebumen khususnya
tahun 1852 dan 1898 (dan mungkin 1937?), bisa menjadi sebuah petunjuk
kewaspadaan sebagai bagian dari penerapan kesadaran historis sebagai bagian
dari mitigasi bencana. Sebagaimana peristiwa banjir bandang pernah terjadi di wilayah
Kebumen tahun 1861 (Teguh Hindarto, Kebumen
Dalam Peristiwa Banjir 1861 - https://www.qureta.com/post/kebumen-dalam-peristiwa-banjir-1861-1)
maka peristiwa gempa 1852 dan 1898 menjadi peringatan untuk melakukan berbagai
kebijakan preventif bukan reaktif
Siklus gempa besar terdeteksi berapa tahun sekali min?
BalasHapusSaya mengutip pernyataan Daryono kembali pada tahun 2021 yang disitir dalam laman merdeka.com sbb:
Hapus"Perulangan gempa besar atau return period secara konseptual ada dan pasti terjadi, karena peristiwa gempa besar adalah siklus. Tetapi masih sulit untuk memastikan kapan terjadinya perulangan gempa besar itu. Memang ada metoda statistik untuk menghitung periode ulang gempa, tetapi belum ada yang tepat menghasilkan informasi yang valid terkait kapan gempa besar akan terjadi pada tahun berapa, bulan apa atau bahkan tanggal berapa"
https://www.merdeka.com/khas/bmkg-gempa-besar-merupakan-siklus-pasti-terulang-wawancara-khusus.html