Beberapa waktu lalu teridentifikasi sejumlah penampakkan lingga dan yoni yang terpisah di beberapa desa di kawasan selatan Kebumen al., di dusun Kabuaran Desa Ayah Putih Kecamatan Buluspesantren, di desa Rowo, Kecamatan Mirit persisnya di belakang mesjid Nurul Huda, serta di desa Singoyudan, Kecamatan Mirit. Persisnya di samping masjid “Baitul Izzah (Teguh Hindarto, Jejak Sistem Kepercayaan Hindu Kuno di Pesisir Kebumen - https://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2022/02/jejak-sistem-kepercayaan-hindu-kuno-di.html?m=1)
Kali ini sejumlah penampakkan
lingga dan yoni yang terpisah muncul di kawasan utara Kebumen yang masih masuk wilayah
kecamatan Kutowinangun. Keberadaan sebuah yoni terdapat di kawasan pemakaman
Dukuh Kaliwatu, desa Triwarno. Terletak di atas perbukitan yang cukup memeras
keringat jika ditempuh jalan kaki. Penampakan dan sebaran lingga dan yoni di
wilayah Kebumen ini menambah daftar apa yang belum dituliskan dalam analisis
sebelumnya yang saya tuliskan dalam sebuah jurnal ilmiah dengan judul, Sistem Sosial dan Keagamaan Masyarakat
Megalitik dan Hindu Kuno di Lima Wilyah Kecamatan di Kabupaten Kebumen,
Jurnal Analisa Sosiologi, April 2020, 9 (1): 224-266 - https://www.academia.edu/42966779/SISTEM_SOSIAL_DAN_KEAGAMAAN_MEGALITIK_DAN_HINDU_KUNO_DI_LIMA_WILAYAH_KECAMATAN_DI_KABUPATEN_KEBUMEN).
Kutowinangun - di era kolonial – merupakan
sebuah distrikt (kawedanan) di bawah regentschap (kabupaten) Kebumen di bawah
residentie (karesidenan) Bagelen/Kedu.
Penyebutan Distrikt Kutowinangun baru dimulai tahun 1901. Sebelum tahun 1901
disebut Kedung Tawon sekalipun tahun 1831 nama Kutowinangun disebutkan sebagai
lokasi Arung Binang IV memerintah sebagai bupati Kebumen (Teguh Hindarto, Fragmenta Kutowinangun: Melacak Artefak
Menafsir Masa Lalu, materi study trip sesi ke-7, 12 Juni 2022, Historical
Study Trips)
Peta 1878 dengan menggunakan nama Kedung Tawon
Berbeda dengan sejumlah
penampakkan yoni yang tersebar di beberapa wilayah utara dan selatan Kebumen di
mana selalu terdepan cerat untuk keluarnya air, maka keberadaan yoni yang di
dukuh Kaliwatu dengan ukuran panjang dan lebar kurang lebih 2,5 jengkal tangan
tidak memiliki cerat. Nampak dialasi batu bersemen yang bukan peninggalan masa
lalu dan terletak di sudut areal pemakaman. Dua hal ini yang membedakan Yoni di
dukuh Kaliwatu (tidak ada cerat dan terletak di kawasan pemakaman).
Nampaknya sebelum kawasan ini
dijadikan pemakaman, yoni tersebut sudah mendahului berada di sana dan kawasan
ini menjadi tempat peribadatan lapisan penduduk masa Hindu Mazhab Siwa.
Terbukti tidak ada makam kuno yang dapat disetarakan dengan usia artefak Hindu
kuno tersebut
Di bawah kawasan pemakaman di
mana terdapat penampakkan yoni, di bagian bawah dekat aliran sungai irigasi Jlegi
terdapat penampakan sebuah lingga yang di tertanam di samping rumah warga tanpa
sebuah yoni. Sebagaimana penampakkan yoni di atas perbukitan yang dahulunya
diperkirakan bukan areal pemakaman, demikian pula keberadaan lingga ini
sepertinya lebih dahulu ada sebelum kemudian dihuni penduduk dan dijadikan
perkampungan.
Bentuk oktagonal di bawah lingga
yang merupakan simbol pemujaan terhadap Siwa mengingatkan keberadaan lingga di
desa Tugu, kecamatan Rowokele. Bedanya keberadaan lingga di desa Tugu menonjol
ke permukaan tanah dan cukup tinggi
Berbekal informasi dari mas Fajar
Ellyas (komunitas Pusaka Prembun/KUPU) melacak sebaran artefak di dukuh
Kaliwatu, desa Triwarno. Beruntung bertemu bapak Widarto Ketua BKKD yang secara
tidak sengaja bertemu di jalan dan malah menyediakan diri untuk mengantar ke
lokasi yoni di perbukitan dan lingga di kawasan rumah penduduk. Jika tidak
dipertemukan di jalan sepertinya bakal lama menemukan lokasi yang dimaksudkan. Meminjam istilah Prof Yohanes Surya, Mestakung (semesta mendukun).
Keberadaan lingga dan yoni (yang terpisah) sebagaimana hasil kesimpulan dalam artikel yang saya tulis dalam jurnal ilmiah berjudul, Jejak Sistem Kepercayaan Hindu Kuno di Pesisir Kebumen(2020) bahwa artefak ini memberikan informasi mengenai lapisan kuno masyarakat Kebumen yang menganut agama Hindu bermazhab Siwa dan jejak kehidupan masyarakat paguyuban (gemeinschaft) - meminjam istilah Ferdinand Tonnies - yang lebih dekat hubungannya dalam lingkungan yang lebih sederhana di pedesaan dengan solidaritas organik - meminjam istilah Emile Durkheim - di mana hubungan kerja lebih bersifat sosial tinimbang teknis dan modern.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar