Apa yang kita ingat dari Madiun? Bagi yang gemar melakukan perjalanan wisata atau bepergian dan mampir ke Madiun, tentu pecel dan peyek yang renyah menjadi ikon kuliner yang melekati Madiun.
Madiun,
memiiki sejarah panjang yang dapat ditarik hingga era Mataram dan menjadi wilayah
"brang wetan" atau "mancanegara wetan" hingga kemudian
menjadi kota karesidenan pada tahun 1830. Sejarawan Ong Hok Ham mengulas secara
komprehensif dalam bukunya, Madiun Dalam
Kemelut Sejarah (KPG 2018).
Ketika
berstatus kota karesidenan, Madiun memiliki lima afdeelling (regentschap/kabupaten) yaitu afdeeling Madiun, Ngawi,
Magetan, Ponorogo, Patjitan. Beberapa Residen yang pernah bekerja di Madiun
al., J.A.E. Van Deventer (2 Januari 1914), J.H. Rering (29 Januari 1921), Dr.
L. Adam (27 Aug 1934). Beberapa bupati yang pernah bekerja di Madiun al., Raden
Mas Adipati Ronggo Ario Koesnodhiningrat (6 Desember 1900), Raden Ras Tumenggung
Ronggo Ario Koesmen (2 Januari 1929)
Sebagai
kota eks Karesidenan, Madiun juga kaya akan sejumlah bangunan heritage. Sebut saja satu yaitu Rumah Kapitein der Chinezen atau Kapitan Cina
(selatan alun-alun) yang sekarang dipakai beberapa tempat usaha dan salah
satunya sebuah kafe.
Apa
itu Kapitein der Chinezen atau
Kapiten Cina? Pemerintah Kolonial memberikan pangkat resmi untuk kalangan etnis
Cina yang menjadi penghubung komunitas etnisnya dengan pemerintah Hindia
Belanda. Kapiten bertanggung jawab atas administrasi sipil masyarakat Tionghoa,
mengawasi pencatatan perkawinan, perceraian, kematian, kelahiran, pendidikan,
perpajakan, dan administrasi peradilan dasar.
Kepangkatan
untuk Opsir Tionghoa terdiri dari Majoor,
Kapitein, dan Leutenant. Menurut Mona Lohanda dalam buku The Kapitan Cina of Batavia 1837-1942: A
History of Chinese Establishment in Colonial Society (1996) pangkat
tersebut kerap disebut Chinezen
Officieren (opsir Cina).
Bangunan
ini dahulu dihuni oleh Kapiten Njoo Swie Lian, seorang pemimpin etnis Tionghoa
di Kota Madiun. Tokoh berpengaruh tersebut menempatinya mulai 1912 sampai akhir
hayatnya pada 1930. Dalam Regeering
Almanak 1914 tercatat nama Kapitein
der Chineezen al., Njoo Swie Lian (22 Juni 1912) dan Luitenant der Chineezen yaitu Liem King Jang (22 Juni 1912).
Surat kabar De Locomotief (29 Februari 1930) memberitakan perihal kewafatan Njoo Swie Lian pada tanggal 17 Februari 1930 setelah mengalami sakit dalam waktu lama (langdurige ongesteldheid). Dilansir dari laman https://www.mychinaroots.com nampak kemerahan proses pemakaman orang terkemuka pada zamannya tersebut.
Dijelaskan
bahwa pada Rabu pagi di tahun 1930, sekelompok 20 pria menempatkan peti mati
yang dihias dengan megah di atas kereta megah berwarna perak dan abu-abu,
ditarik oleh empat ekor kuda yang dibungkus dengan kain yang dirancang dengan indah.
Dengan latar belakang pakaian berkabung berwarna putih, pohon palem hijau, dan
rangkaian karangan bunga, sebuah parade militer berbaris di depan peti mati.
Bangunan-bangunan
bernuansa heritage di era kolonial, di setiap kota sejatinya memberikan rekam
jejak kehidupan sosial politik dan sosial budaya pada masanya. Menjadi bagian
dari kekayaan sejarah kota. Sudah selayaknya kita merawat dan melestarikan
serta memberdayakannya bukan sebaliknya meniadakan dan menghapusnya seolah
sejarah baru dimulai hari ini.
Nah,
sembari meminum kopi lemon khas sajian kafe ini, Anda bisa berswafoto atau
mengabadikan keindahan jejak arsitektur Hindia Belanda tahun 1900-an.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar