Ketika Perang Jawa berakhir (1830) Banyumas yang merupakan wilayah Mancanegara Kilen Kasunanan dan Kasultanan diambil oleh pemerintahan Hindia Belanda (sebagaimana Bagelen) dan menjadi sebuah wilayah karesidenan. Sesuai surat keputusan 18 Desember 1830 yang ditandatangani Gubernur Jendral Johanes De Graaf Van Den Bosch, direncanakan Karesidenan Banyumas akan dibagi 4 Afdeeling yaitu Banyumas, Ajibarang, Purbalingga, Dayeuluhur.
Dari Ajibarang Menjadi Purwakerta (Purwokerto)
Bupati Mertadiredja II ditetapkan sebagai Bupati Ajibarang berdasarkan Resolutie No 1 Tanggal 22 Agustus 1831. Namun karena angin topan - menurut cerita tutur - tidak kunjung berhenti selama 40 hari 40 malam menjadikan Ajibarang batal sebagai kabupaten. Tanggal 6 Oktober 1832 Kabupaten Ajibarang dihapus dan dipindah ke Purwokerto (Prof.DR. Sugeng Priyadi, M.Hum., Sejarah Kota Purwakarta (Purwokerto) (1832-2018), 2019:117)
Tahun 1930-an terjadi krisis ekonomi dunia (malaise). Banyak perusahaan gulung tikar termasuk sejumlah Suikerfabriek (pabrik gula) di Purwokerto. Bukan hanya berakibat gulung tikarnya sejumlah perusahaan melainkan penghapusan sejumlah kabupaten demi efisiensi (Teguh Hindarto, Nasib Kabupaten Karanganyar di Penghujung 1935 - http://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2020/12/nasib-kabupaten-karanganyar-di.html?m=1)
Sebelumnya, tahun 1933 tiga kabupaten dihapuskan yaitu Kabupaten Kraksaan, Kabupaten Pamekasan serta Kabupaten Kutoarjo (Teguh Hindarto, Resesi Ekonomi Dunia Yang Menghantarkan Penghapusan Kabupaten Di Jawa -http://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2021/02/resesi-ekonomi-dunia-yang-menghantarkan.html?m=1)
Kabupaten Purwokerto digabungkan ke Kabupaten Banyumas sebagaimana Kabupaten Karanganyar digabungkan ke Kabupaten Kebumen. Namun Bupati Banyumas Sudjiman Mertadiredja Gandasubrata menghendaki ibukota Kabupaten Banyumas berlokasi di Purwokerto dan Pendapa Si Panji yang berada di Banyumas dan dibangun sejak Yudanegara II (1707-1742) dipindahkan ke Purwokert. Ibukota Banyumas dipindahkan ke Purwokerto tanggal 26 Februari 1936. Pendapa Si Panji diboyong tanggal 7 Januari 1937. Bupati Sudjiman berpindah ke Purwokerto tanggal 5 Maret 1937.
Hotel dan Pariwisata Era Kolonial
Lokasi Purwokerto yang terletak di bawah kaki Gunung Slamet telah menarik minat pihak swasta di era Hindia Belanda untuk membuka sejumlah tempat peristirahatan di dekat kawasan pegunungan dan beberapa hotel di pusat kota.
Buku berjudul, Van Stockum's Traveller's Handbook for the Dutch East Indies (1930) memberikan kekayaan informasi pesatnya kegiatan pariwisata dan tumbuhnya ekonomi swasta dan pemerintah di bidang kewisataan di tahun 1930-an di seluruh Hindia Belanda mulai Jawa hingga Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Bali.
Ketika membahas tentang Purwokerto pada halaman 221 dari keseluruhan tebal buku sebanyak 615 halaman disebutkan bahwa Purwokerto adalah kota kecil dan berada di wilayah yang subur. Populasi penduduk sebanyak 25.177 orang dengan 682 orang Eropa tinggal di Purwokerto. Mengenai keberadaan hotel disebutkan sebuah nama pemilik yaitu Van de Beek pemilik "Hotel Poerwokerto" yang memiliki 20 kamar. Tarif per kamar berkisar antara f.7.50 dan f. 8.50 untuk satu orang namun jika dua orang bertarif f. 15 dan f.20. Hotel ini tergabung dalam Java Motor Club.
Selain itu ada juga "Tramhotel of the Serajoedal Light Raillway Co" yang memiliki 20 kamar dengan harga f.8 sampai f.9 untuk satu orang dan f.16.50 untuk berdua. Nama "Hotel Batoeraden" disebutkan juga dengan lokasi di ketinggian 800 MDPL yang terdiri dari 12 kamar dengan tarif antara f.8 sampai f.9 dan f. 14 sampai f. 16 untuk berpasangan.
Jejak keberadaan hotel era kolonial yang masih dapat dijumpai sampai hari ini adalah "Hotel Besar" di Jl. Jendral Sudirman No 732. Meskipun keberadaan "Hotel Besar" belum terlacak dalam sejumlah surat kabar berbahasa Belanda maupun buku panduan pariwisata era kolonial (Atau bisa jadi dahulu namanya bukan "Hotel Besar") namun keberadaan hotel ini menurut testimoni pemiliknya sudah berlangsung sejak tahun 1930 di masa kepemilikan Nyonya The Sia. Nyonya The Shia (1870 – 1952), bersama suaminya, Tuan The Shia, berprofesi sebagai pedagang jamu di Purwokerto.
Pasangan ini mengumpulkan uang sedikit demi sedikit, ditambah dari hasil menjual rumah tinggal dan tempat usaha mereka pada 1925, akhirnya membeli lahan seluas 5000 meter persegi di seberang jalan yang kemudian menjadi Hotel Besar sampai hari ini (https://sarasvati.co.id/news/travel/04/hotel-besar-tumbuhnya-purwokerto/). Hotel Besar hari ini dikelola oleh cicit The Sia yaitu The Sing Tjen dan telah menambah kamar yang sejak tahun 1930-an berjumlah 19 kamar saat ini telah menjadi 35 kamar.
Pada tahun 2006 sempat berganti nama menjadi "Hotel Mulia" namun hanya bertahan selama sembilan tahun saja dan pada tahun 2015 kembali ke nama "Hotel Besar". Di tengah laju perubahan, Hotel Besar di masa kini terus berbenah dan menambah sejumlah kamar baru di bagian samping dan belakang bangunan utama.
Bagi para pelancong yang menyambangi Purwokerto, keberadaan hotel bernilai heritage ini layak untuk disambangi sembari menikmati suasana hotel bercorak tempoe doloe melalui penampakkan sejumlah meubel lama yang terpajang di dalam ruangan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar