Matahari
sore nampak mulai bergeser ke Barat, menjatuhi hamparan padi yang mulai
menguning menunggu panen. Di kejauhan sebelah utara barisan perbukitan melengkapi
keindahan pemandangan sore di lihat dari sebuah stasiun tua yang sejak
pemasangan double track (2019) lebih
difungsikan sebagai gudang dan fungsi stasiun dipindah ke sebelah timur,
demikian keterangan dari Bapak Danang selaku Kepala Stasiun Wonosari, Kebumen.
Inilah
Stasiun Wonosari yang berada tidak
jauh dari Jalan Raya Kebumen-Purworejo, hanya berjarak 40 meter ke arah Timur Laut. Kondisi stasiun nampak terawat sekalipun tidak difungsikan selain menjadi
gudang. Kondisinya berbeda dengan eks Stasiun Soka yang sudah tidak difungsikan
sama sekali dan mulai terlihat lusuh sekalipun pernah menyimpan kisah (Teguh
Hindarto, Soka Dari Masa ke Masa - https://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2022/01/soka-dari-masa-ke-masa.html).
Bangunan
bercorak Indisch dan menyimpan jejak
sentuhan arsitektral era kolonial ini nampak dari lengkungan di pintu masuk dan
ventilasi berbentuk bulatan dengan tirai besi.
Keberadaan
bangunan yang menyimpan jejak kekunoan ini menarik untuk ditelisik, sejak kapan
dibangun dan difungsikan. Sebelum kita memasuki pembahasan tersebut kita
melakukan flash back sejenak mengenai
sejarah diberlakukannya moda transportasi kereta api di era kolonial.
Dari Gerobak Sapi ke Kereta Api
Ketika
sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel)
masih diberlakukan di seantero Jawa, berbagai komoditas hasil bumi yang harus
dibawa ke pelabuhan (untuk Jawa Tengah di pelabuhan Cilacap dan Semarang)
biasanya di bawa dari pedalaman dengan melewati jalur darat dan sungai.
Beberapa sungai terkenal seperti Brantas, Bengawan Solo, Serayu, Citarum,
Citandui, Cimanuk menjadi jalur penghubung menuju pelabuhan. Jalan darat yang
dilakui belum mengalami pengaspalan sebelum tahun 1900-an. Sarana transportasi
yang dipergunakan adalah gerobak sapi (pedati) dan kuda.
Dengan
moda transportasi yang sedemikian dan infrastruktur yang belum memadai,
berpengaruh terhadap performa komoditas yang akan dikirimkan ke pelabuhan. Penyusutan
kualitas komoditas umumnya dipengaruhi saat proses bongkar muat, pengaruh
cuaca, pencurian dan tumpahan.
Biaya
transportasi sangat tinggi pada saat itu. Transportasi di jalan pedesaan di
daerah datar menelan biaya setidaknya 1,5 sen per pikol-paal (18 sen per
ton-kilometer), seringkali naik menjadi 2,5 sen (27 sen per ton-kilometer). Di
daerah pegunungan 3,5 hingga 4 sen per pikol-paal (37 hingga 43 sen per
ton-kilometer) adalah harga normal, tetapi dalam kondisi yang tidak
menguntungkan harga ini sering naik menjadi 5 hingga 6 sen per pikol-paal (54
hingga 64 sen per ton-kilometer), demikian tulis buku De Tramwegen Op Java; Gedenkboek Samengesteld Ter Gelegenheid Van het
Vijf en Twintig Jarig Bestaan der Samarang-Joana Stoomtram Maatschapij (1907:10)
Tarif
pengangkutan di Sungai Solo rendah (2,5 sampai 3,5 sen per ton-kilometer) pada
saat kapal besar dapat digunakan, tetapi hampir sepanjang tahun navigasi
terbatas pada rakit kayu dan perahu kecil
Untuk
produk utama hasil bumi yaitu beras, pengangkutan dengan jarak yang cukup jauh
menjadi terlalu mahal. Akibatnya, dengan kelangkaan bahan pangan lokal,
perbedaan harga beras yang cukup besar terjadi di Jawa. Di Semarang pada tahun
1860 harga beras ƒ 18 sampai ƒ 20 per pikol dan pada saat yang sama di Karesidenan
Priangan hanya ƒ 1,50 (Ibid.)
Berbagai persoalan dan kendala teknis terkait moda transportasi dan infrastruktur yang melahirkan gagasan pembukaan jalur kereta api sebagaimana telah dilakukan di Belanda.
Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (N.I.S.M) dan Staatspoorweg (S.S)
Kereta api pertama yang berfungsi di Jawa dimulai dari kalangan swasta yaitu Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (N.I.S.M). Pada tahun 1862, Mr. Poolman diberikan konsesi membangun lintasan Semarang—Vorstenlanden (Yogyakarta-Surakarta) diikuti dua tahun kemudian dengan konsesi jalur Batavia - Buitenzorg.
Perusahaan ini menugaskan insiyur J.P. de Bordes untuk membuka jalur kereta api di Jawa Tengah dengan lebar jalur (spoorwijdte) 1.435 mm. Kemudian tanggal 17 Juni 1864 Gubernur Jenderal Sloet van de Beele menancapkan sekop ke tanah sebagai awal pekerjaan dimulai. Pekerjaan dilanjutkan dengan giat, sehingga tanggal 10 Agustus 1867 jalur Semarang-Tanggung sepanjang 24,7 km dapat dioperasikan. Kemudian untuk jalur lintasan Solo Yogyakarta diselesaikan Tanggal 10 Juli 1872 (S.A. Reitsma, Korte Geschiedenis der Nederlandsche Indische Spoor en Trawwegen, 1928:21).
Setelah N.I.S.M berhasil membuka jalur kereta api disusul Statspoorwegen (S.S) alias perusahaan kereta api negara melalui Undang-Undang anggal 6 April 1875 (Statblad Indie no. 141) diberikan izin untuk membangun jalan kereta api negara di Hindia Belanda dengan jalur lintasan Surabaya — Pasuruan — Malang. Proyek ini dipimpin oleh Inspektur Jendral D. Maarschalk (D.G. Stibbe, E.M. Uhlenbeck, Encylopaedie Van Nederlandsch Indie, 1921:69)
Selain
Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij
masih ada beberapa pihak swasta yang menanamkan modal di bidang moda
transportasi kereta api yaitu: Semarang—Joana
Stoomtram, Nederlandsch-Indische Tram; Oost-Java Stoomtram; Tramwegen van de
Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij, Semarang—Cheribon Stoomtram,
Sèrajoêdal Stoomtram, Kediri Stoomtram, Malang Stoomtram, Pasoeroean Stoomtram,
Probolinggo Stoomtram, Modjokërto Stoomtram, Babat — Djombang Stoomtram, Madoera
Stoomtram, Tramwegen van de Deli Spoorweg Maatschappij, Batavia Electrische
Tram. (Ibid, 78-79)
Kita
kembali ke Stasiun Wonosori. Keberadaan jalur kereta dari Yogyakarta sampai
Cilacap tidak bisa dilepaskan dengan pembukaan jalur Staatspoorwegen pada tahun 1887 (Teguh Hindarto, Stasiun Kebumen: Masa Lalu dan Masa Kini
- http://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2019/11/stasiun-kebumen-masa-lalu-dan-masa-kini_13.html).
Perlu diketahui bahwa ada pembedaan antara stasiun dan halte. Keberadaan halte
lebih kepada lokasi perhentian kereta untuk beberapa saat jika berpapasan
dengan kereta lain. Namun di era pasca kemerdekaan tidak ada lagi pembedaan
antara halte dan stasiun.
Tahun Stasiun Wonosari Dibangun
Keberadaan
Stasiun Wonosari ini dahulu berstatus halte dan bukan stasiun. Jika Stasiun
Kebumen sudah ada sejak 1887 maka halte Wonosari ini dibangun setelah tahun
1890 sebagaimana sebuah pemberitahuan di surat kabar de Locomotief (28 November 1890) sbb:
“Diumumkan
akan didirikan tempat pemberhentian untuk publik di halte Tambak (antara halte
Idjoe dan Soempioeh) dan di Wonosari (antara halte Koetowinangoon dan stasiun
Keboemen). Transportasi ke dan dari halte ini akan dibatasi untuk pelancong/penumpang
(reizigers) dan barang bawaan untuk saat ini”
Jika
pemberitahuan ini diumumkan 28 November 1890 maka halte ini bisa jadi dibangun
awal tahun 1891 karena dalam sebuah laporan berita oleh de Locomotief (29 Juni 1895) keberadaan halte Wonosari sudah
difungsikan.
“Anda
melewati Sroeweng — yang terletak di tengah sawah di mana Anda akan melihat
banyak bambu — Anda tiba pada pukul 14:00 di Keboemen, setelah melewati
jembatan kereta api besar. Ini adalah tempat yang besar dengan bangunan yang
luas. Tidak ada pemandangan yang mengesankan selama rute yang ditempuh. Anda
melihat jalan teduh yang lebih baik. Sampai Wonosari tidak ada perubahan medan,
hanya jalan rel yang mendekati perbukitan rendah. Tepat sebelum halte Prambon (maksudnya
Prembun)pertama-tama Anda akan melihat pohon tebu kemudian kereta berjalan di antara
sawah yang luas melewati jembatan kereta api yang besar”
Kiranya
bangunan penting era kolonial ini dapat tetap lestari dan dirawat bukan
dihancurkan demi efisiensi dan pembangunan. Keberadaanya menjadi penanda waktu
ketika moda transportasi kereta menjadi idola menggantikan gerobak dan kuda.
Kenangan
yang tersisa dari tempat ini bagi penulis adalah saat menaiki kereta Mutiara
Selatan dari Bandung. Jika tidak salah sebelum tahun 2012. Sayangnya kereta tidak
berhenti di Kebumen. Padahal waktu sudah menunjukkan jam 01.00 malam. Puji
syukur ada kereta dari arah berlawanan dan kereta yang penulis dan istri
tumpangi berhenti. Berhasil turun dan sempat disorientasi ada di mana. Pertama dan
terakhir kalinya turun di Stasiun Wonosari. Beruntung ada abang beca yang masih
bisa mengantar sampai rumah. Apa cerita Anda dengan stasiun kuno ini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar