Kamis, 30 Mei 2019

PERCAKAPAN PAGI DENGAN SEORANG MANTAN PENGHUNI INTERNIRAN BENTENG COCHIUS


Rumah dengan bentuk memanjang dan muka depan yang unik dan berbeda dengan rumah yang ada di sekitarnya, memudahkan kami menemui Bapak Edward Leopold Tanamal, yang biasa disapa dengan “Om Edi”. Masyarakat Desa Jatinegara Dusun Pogung menyebutnya “rumah yang aneh” atau “rumah yang unik”. 

Sebenarnya rumah tersebut tidak memiliki keanehan yang menyolok selain memanjang seperti sebuah gereja dan wajah depan yang berbentuk melengkung terbuat dari kayu. Belakangan dalam sebuah percakapan dengan istri beliau yang orang Belanda, wajah depan rumah terinspirasi dari sebuah gambar rumah tradisional Nusantara dalam buku lama di era kolonial.


Saat kami menemui Om Edi, beliau nampak sedang asyik membersihkan pekarangannya yang luas dari daun-daun kering yang mulai berguguran. Lantunan musik Keroncong lama, membawa suasana Batavia saat kami menjejakkan kami di teras rumah. Senyum dan keramahan istri Om Edi yang seorang Belanda menghangatkan suasana.


Siapakah Bapak Edward Leopold Tanamal atau Om Edi? Beliau adalah seorang pensiunan tentara di Belanda namun pernah mengalami di masa kecilnya menjadi seorang interniran di Benteng Cochius yang sejak tahun 2000 berubah nama menjadi Benteng Van der Wijk.

Interniran adalah sebuah istilah untuk penahanan atau pengurungan dari orang-orang, umumnya dalam kelompok-kelompok besar, tanpa pengadilan. Istilah “internir”  berasal dari bahasa Belanda “interneren” yang artinya, “(iemand) verplichten op een bepaalde plaats te gaan wonen” (seseorang yang diwajibkan tinggal di tempat tertentu - https://www.woorden.org/woord/interneren&from=interneer). Pada saat Perang Dunia II, istilah ini menunjuk pada sebuah penjara atau kamp konsentrasi.

Mengapa Om Edi mengalami diinternir? Ayah Om Edi – Johanis Martin Tanamal - ternyata adalah seorang tentara KNIL yang dieksekusi oleh Jepang saat diinternir di Pulau Selaru. Pulau Selaru adalah pulau terluar Indonesia yang terletak di Laut Timor dan berbatasan dengan negara Australia. Pulau Selaru ini merupakan bagian dari wilayah pemerintah Kabupaten Maluku Tenggara Barat, provinsi Maluku. Om Edi dilahirkan sebagai seorang keturunan campuran Belanda, Maluku, Jawa. Ibu om Edi adalah seorang perempuan Jawa yang berasal dari Gombong. Om Edi dilahirkan di Malang lantas beberapa tahun kemudian pindah ke Magelang lantas bermukim di Gombong tidak jauh dengan Benteng Cochius.


KNIL adalah singkatan het Koninklijke Nederlandsch-Indische Leger, (Tentara Kerajaan Hindia Belanda). Meskipun KNIL melayani pemerintahan Hindia Belanda dan banyak di antara anggota-anggotanya yang adalah penduduk bumiputra di Hindia Belanda dan orang-orang Indo-Belanda, baim dari Ambon, Timor, Minahasa. Paska Perang Diponegoro pada Tanggal 4 Desember 1830 Gubernur Jenderal van den Bosch mengeluarkan keputusan yang dinamakan Algemeene Orders voor het Nederlandsch-Oost-Indische leger di mana ditetapkan pembentukan suatu organisasi ketentaraan yang baru untuk Hindia Belanda, yaitu Oost-Indische Leger (Tentara India Timur) dan pada tahun 1836, atas saran dari Raja Willem I, tentara ini mendapat predikat Koninklijk (kerajaan). Namun sebutan KNIL mulai dipergunakan secara resmi pada tahun 1933, ketika Hendrik Colijn –yang juga pernah bertugas sebagai perwira di Oost-Indische Leger- menjadi Perdana Menteri. Pada 27 Juli 1950, het Koninklijke Nederlandsch-Indische Leger (KNIL) dibubarkan dan sebagian anggotanya masuk menjadi Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS).

Bagaimana kehidupan di tempat interniran? Dari percakapan yang tidak begitu lancar karena kendala usia dan bahasa – dengan secangkir kopi yang didatangkan dari Belanda dan kue lapis manis - kami dapat mendengar serpihan-serpihan kisah kehidupan Om Edi di interniran. Setidaknya dari percakapan ringan dan sederhana ini kami mendapatkan sejumlah keterangan perihal kehidupan sosial kaum interniran di Benteng van Der Wijk. Mereka dipekerjakan membuat anyaman tali tambang. Di sekitar Benteng Cochius pada waktu itu ada lokasi pabrik tenun, yang sekarang sudah tidak ditemui jejaknya.

Tentara Jepang ternyata memberikan kesempatan para ibu yang diinternir untuk keluar pada hari tertentu dan berbelanja kebutuhan mereka di pasar terdekat. Tentunya dengan izin tentara Jepang. Bahkan ibu Om Edi kerap menjual emasnya untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan orang-orang di interniran. Saat meninggalnya kelak, akan dikenang oleh orang-orang di sekitarnya terhadap semua jasa dan kebaikannya selama berada di interniran.

Sekalipun tidak banyak informasi penting dapat kami peroleh namun serpihan serpihan kisah orang-orang yang pernah hidup di sekitar Benteng Cochius di Era Jepang dapat mendeskripsikan konteks kehidupan sosial sejaman sehingga dapat mengisi berbagai celah kosong dan memperkaya narasi kesejarahan sebuah tempat dan wilayah.

 

Sejarah bukan sekedar peristiwa politik yang terdokumentasi, bukan pula sekedar kisah mengenai kehidupan tokoh penting yang mempengaruhi terbentuknya sebuah negara, kota, institusi. Sejarah bukan sekedar pencatatan pertempuran para heroik yang menentukan masa depan sebuah bangsa. Sejarah bisa dibentuk dari sebuah foto yang berkisah banyak tentang sebuah zaman. Toko, rumah, museum, artikel bahkan iklan koran dapat bertutur mengenai sebuah peristiwa pada kurun waktu tertentu.

Demikian pula percakapan ringan sekedar mengangkat kembali sebuah memori orang-orang yang hidup di periode waktu tertentu, bisa menjadi sebuah sejarah atau setidaknya membantu memahami sebuah konteks kehidupan sosial di mana sebuah peristiwa sejarah terjadi.

Kopi pahit yang disajikan tuan rumah semakin surut dan kue lapis legit semakin sedikit. Pagi menjelang siang membuat kami harus mengakhiri percakapan kami. “Tot de volgende keer” (sampai jumpa di lain waktu), sebuah ucapan perpisahan yang saya sampaikan nampak berkesan pada tuan rumah dan pasangan uzur yang dengan mata terbelalak dan terbahak menjawab kembali, “Tot de volgende keer”.

1 komentar:

  1. Mohon tanyakan ke beliau apakah kenal Sugiyono TNI AL dari surabaya yg duli pernah bertemu di belanda dan pernah mengunjungi keluarga kami di Surabaya. Jika betul mohon bisa kontak sy. Terima kasih

    BalasHapus