Rumah dengan bentuk memanjang
dan muka depan yang unik dan berbeda dengan rumah yang ada di sekitarnya,
memudahkan kami menemui Bapak Edward Leopold Tanamal, yang biasa disapa dengan
“Om Edi”. Masyarakat Desa Jatinegara Dusun Pogung menyebutnya “rumah yang aneh”
atau “rumah yang unik”.
Sebenarnya rumah tersebut tidak memiliki keanehan yang
menyolok selain memanjang seperti sebuah gereja dan wajah depan yang berbentuk
melengkung terbuat dari kayu. Belakangan dalam sebuah percakapan dengan istri
beliau yang orang Belanda, wajah depan rumah terinspirasi dari sebuah gambar
rumah tradisional Nusantara dalam buku lama di era kolonial.
Saat kami menemui Om Edi,
beliau nampak sedang asyik membersihkan pekarangannya yang luas dari daun-daun
kering yang mulai berguguran. Lantunan musik Keroncong lama, membawa suasana
Batavia saat kami menjejakkan kami di teras rumah. Senyum dan keramahan istri
Om Edi yang seorang Belanda menghangatkan suasana.
Siapakah Bapak Edward Leopold
Tanamal atau Om Edi? Beliau adalah seorang pensiunan tentara di Belanda namun
pernah mengalami di masa kecilnya menjadi seorang interniran di Benteng Cochius
yang sejak tahun 2000 berubah nama menjadi Benteng Van der Wijk.
Interniran adalah sebuah
istilah untuk penahanan atau pengurungan dari orang-orang, umumnya dalam
kelompok-kelompok besar, tanpa pengadilan. Istilah “internir” berasal dari bahasa Belanda “interneren” yang
artinya, “(iemand) verplichten op een
bepaalde plaats te gaan wonen” (seseorang yang diwajibkan tinggal di tempat
tertentu - https://www.woorden.org/woord/interneren&from=interneer). Pada
saat Perang Dunia II, istilah ini menunjuk pada sebuah penjara atau kamp
konsentrasi.
Mengapa Om Edi mengalami
diinternir? Ayah Om Edi – Johanis Martin Tanamal - ternyata adalah seorang
tentara KNIL yang dieksekusi oleh Jepang saat diinternir di Pulau Selaru. Pulau
Selaru adalah
pulau terluar Indonesia yang terletak di Laut Timor dan berbatasan dengan
negara Australia. Pulau Selaru ini merupakan bagian dari wilayah pemerintah
Kabupaten Maluku Tenggara Barat, provinsi Maluku. Om Edi dilahirkan sebagai
seorang keturunan campuran Belanda, Maluku, Jawa. Ibu om Edi adalah seorang
perempuan Jawa yang berasal dari Gombong. Om Edi dilahirkan di Malang lantas
beberapa tahun kemudian pindah ke Magelang lantas bermukim di Gombong tidak
jauh dengan Benteng Cochius.
KNIL adalah singkatan het Koninklijke Nederlandsch-Indische Leger,
(Tentara Kerajaan Hindia Belanda). Meskipun KNIL melayani pemerintahan Hindia
Belanda dan banyak di antara anggota-anggotanya yang adalah penduduk bumiputra
di Hindia Belanda dan orang-orang Indo-Belanda, baim dari Ambon, Timor,
Minahasa. Paska Perang Diponegoro pada Tanggal 4 Desember 1830 Gubernur
Jenderal van den Bosch mengeluarkan keputusan yang dinamakan Algemeene Orders voor het
Nederlandsch-Oost-Indische leger di mana ditetapkan pembentukan suatu
organisasi ketentaraan yang baru untuk Hindia Belanda, yaitu Oost-Indische Leger (Tentara India
Timur) dan pada tahun 1836, atas saran dari Raja Willem I, tentara ini mendapat
predikat Koninklijk (kerajaan). Namun
sebutan KNIL mulai dipergunakan secara resmi pada tahun 1933, ketika Hendrik
Colijn –yang juga pernah bertugas sebagai perwira di Oost-Indische Leger- menjadi Perdana Menteri. Pada 27 Juli 1950, het Koninklijke Nederlandsch-Indische Leger (KNIL)
dibubarkan dan sebagian anggotanya masuk menjadi Angkatan Perang Republik
Indonesia Serikat (APRIS).
Bagaimana kehidupan di tempat
interniran? Dari percakapan yang tidak begitu lancar karena kendala usia dan
bahasa – dengan secangkir kopi yang didatangkan dari Belanda dan kue lapis
manis - kami dapat mendengar serpihan-serpihan kisah kehidupan Om Edi di
interniran. Setidaknya dari percakapan ringan dan sederhana ini kami
mendapatkan sejumlah keterangan perihal kehidupan sosial kaum interniran di
Benteng van Der Wijk. Mereka dipekerjakan membuat anyaman tali tambang. Di
sekitar Benteng Cochius pada waktu itu ada lokasi pabrik tenun, yang sekarang
sudah tidak ditemui jejaknya.
Tentara Jepang ternyata
memberikan kesempatan para ibu yang diinternir untuk keluar pada hari tertentu
dan berbelanja kebutuhan mereka di pasar terdekat. Tentunya dengan izin tentara
Jepang. Bahkan ibu Om Edi kerap menjual emasnya untuk memenuhi kebutuhan
keluarga dan orang-orang di interniran. Saat meninggalnya kelak, akan dikenang
oleh orang-orang di sekitarnya terhadap semua jasa dan kebaikannya selama
berada di interniran.
Sekalipun tidak banyak
informasi penting dapat kami peroleh namun serpihan serpihan kisah orang-orang
yang pernah hidup di sekitar Benteng Cochius di Era Jepang dapat mendeskripsikan
konteks kehidupan sosial sejaman sehingga dapat mengisi berbagai celah kosong
dan memperkaya narasi kesejarahan sebuah tempat dan wilayah.
Sejarah bukan sekedar peristiwa
politik yang terdokumentasi, bukan pula sekedar kisah mengenai kehidupan tokoh
penting yang mempengaruhi terbentuknya sebuah negara, kota, institusi. Sejarah
bukan sekedar pencatatan pertempuran para heroik yang menentukan masa depan
sebuah bangsa. Sejarah bisa dibentuk dari sebuah foto yang berkisah banyak
tentang sebuah zaman. Toko, rumah, museum, artikel bahkan iklan koran dapat
bertutur mengenai sebuah peristiwa pada kurun waktu tertentu.
Demikian pula percakapan ringan
sekedar mengangkat kembali sebuah memori orang-orang yang hidup di periode
waktu tertentu, bisa menjadi sebuah sejarah atau setidaknya membantu memahami
sebuah konteks kehidupan sosial di mana sebuah peristiwa sejarah terjadi.
Kopi pahit yang disajikan tuan
rumah semakin surut dan kue lapis legit semakin sedikit. Pagi menjelang siang
membuat kami harus mengakhiri percakapan kami. “Tot de volgende keer” (sampai jumpa di lain waktu), sebuah ucapan perpisahan
yang saya sampaikan nampak berkesan pada tuan rumah dan pasangan uzur yang
dengan mata terbelalak dan terbahak menjawab kembali, “Tot de volgende keer”.
Mohon tanyakan ke beliau apakah kenal Sugiyono TNI AL dari surabaya yg duli pernah bertemu di belanda dan pernah mengunjungi keluarga kami di Surabaya. Jika betul mohon bisa kontak sy. Terima kasih
BalasHapus