Sumber gambar:
commons.wikimedia.org/wiki/File:Pupillen_te_Gombong,_1898.jpg
Mendengar nama Yahudi, tentu
setiap orang akan memiliki sejumlah perspepsi tertentu dalam benak mereka
masing-masing. Persepsi tersebut dapat diperoleh melalui referensi tertulis –
entah yang bersifat positif ataupun negatif -
penjelasan lisan, percakapan umum, viralitas sosial media dll. Bahkan
ketika mendengar nama Yahudi, mungkin pula yng terbayang adalah sebuah nama
negara dan orang yang berada di wilayah yang jauh dari negeri Indonesia.
Artikel ini tidak hendak menjelaskan apa dan bagaimana mengenai Yahudi dan Yudaisme melainkan hendak menyampaikan sebuah informasi historis bahwa di Gombong era kolonial, terlacak jejak orang-orang Yahudi meskipun tidak banyak dan tidak membentuk komunitas yang signifikan serta tidak membentuk struktur sosial dan ekonomi masyarakat Gombong era kolonial.
Artikel ini tidak hendak menjelaskan apa dan bagaimana mengenai Yahudi dan Yudaisme melainkan hendak menyampaikan sebuah informasi historis bahwa di Gombong era kolonial, terlacak jejak orang-orang Yahudi meskipun tidak banyak dan tidak membentuk komunitas yang signifikan serta tidak membentuk struktur sosial dan ekonomi masyarakat Gombong era kolonial.
Dalam artikel sebelumnya dengan
judul, “Daya Tarik Gombong Bagi Etnis
Tionghoa di Era Kolonial” (http://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com)
dijelaskan perihal asal usul etnis Tionghoa di Gombong dan peran mereka dalam
pembentukkan ekonomi Gombong. Tidak demikian dengan etnis Yahudi yang beberapa
waktu lamanya berada di Gombong. Mereka tidak hadir sebagai sebuah kelompok dan
komunitas dagang melainkan menjadi bagian dari militer Belanda.
Dalam sebuah artikel koran Nieuw
Israelietisch Weeklad bertanggal 27 Juli 1900 dengan judul, “Joodsche toestanden in Indië (Kondisi
Yahudi di Hindia)”, dijelaskan sbb:
“Een
Israelietisch militair deelde mij het volgende mede: «Ik veroorloof mij u
hiermede in kennis te stellen met volgende gebeurtenissen. Bij het korps
pupillen (eene militaire opvoedingsschool) te Gombong wordt iederen Zondag
godsdienstonderwijs gegeven en godsdienst gehouden, zoowel voor Protestanten
als voor Katholieken. Aan dit onderwijs en dezen godsdienst wordt door drie
Joodsche kinderen deelgenomen, niettegenstaande iedereen weet, dat ze Joden
zijn, d. w. z. kinderen zijn van Joodsche ouders. De naam van den eenen jongen
is Polak, zijn vader is, als ik mij niet vergis, stationchef bij de
staats-spoorwegen in Indië, zijn zoon wordt in 't Katholieke geloof opgevoed.
De
beide andere jongens, broeders, hun naam is Samathini, worden in de leer der
Protestanten opgeleid. Hun vader, sints jaren overleden, diende als
onder-officier bij het Nederlandsch-Indisch leger. Na zijn dienstexpiratie werd
hij door eenige Joodsche ingezetenen te Soerabaja, in de gelegenheid gesteld om
een zaak te beginnen, hij was brood- en banketbakker, hij trouwde toen eene
Christin. Hij was van Amsterdam afkomstig en van Portugeeschen oorsprong
De
weduwe is huishoudster te Soerabaja of omstreken, terwijl de kinderen tot
militair worden opgeleid. Zij houdt nog steeds briefwisseling met de familie te
Amsterdam. Zoover mijn berichtgever”
(Seorang tentara Israel memberi
tahu saya hal berikut: ‘Dengan ini, saya mengizinkan Anda untuk diberitahu
tentang peristiwa-peristiwa berikut. Di korps pupilen (sekolah pendidikan
militer) di Gombong setiap hari Minggu pendidikan agama diselenggarakan, baik
untuk orang Protestan maupun untuk Katolik. Tiga anak Yahudi berpartisipasi
dalam pendidikan agama ini - terlepas dari kenyataan bahwa setiap orang tahu bahwa
mereka adalah orang Yahudi - d. w. z. adalah anak-anak dari orang tua Yahudi.
Nama anak laki-laki itu adalah Polak. Ayahnya -jika saya tidak salah- adalah
manajer stasiun di jalur kereta api negara di Hindia, putranya dibesarkan dalam
kepercayaan Katolik.
Dua anak laki-laki lainnya –bersaudara-
namanya Samathini, sedang dilatih dalam ajaran Protestan. Ayah mereka, yang
meninggal beberapa tahun lalu, bertugas sebagai sub-perwira tentara Hindia
Belanda. Setelah masa tugasnya berakhir, ia diberi kesempatan oleh beberapa
warga Yahudi di Surabaya untuk memulai bisnis, ia adalah seorang tukang roti
dan koki kue, kemudian ia menikahi seorang Kristen. Dia datang dari Amsterdam
dan dari asal Portugis
Jandanya adalah pembantu rumah
tangga di Surabaya atau daerah sekitarnya, sementara anak-anak dilatih sebagai
militer. Dia masih memiliki korespondensi dengan keluarga di Amsterdam’, Zoover
adalah reporter saya).
Petikan koran di atas
menjelaskan perihal tiga orang prajurit muda yang bersekolah di De Militaire Pupillenschool berketurunan
Yahudi. Yang satu bernama Pola dan yang satu adalah Samathini dan satu
saudaranya yang belum disebutkan. Yang memiliki ayah seorang pejabat kereta api
dan yang satu perwira militer.
De
Militaire Pupillenschool (Sekolah Siswa Militer) atau dikenal dengan
Korps Pupillen, adalah sebuah institusi pendidikan dari Angkatan Darat Hindia
Belanda (Koninklijk Nederlands Indisch
Leger-KNIL) yang didirikan pada 1848 di Gombong di Jawa Tengah. Tujuan sekolah
adalah untuk melatih anak-anak orang Eropa, yang dibesarkan sebagai penduduk asli,
untuk menjadi prajurit. Sekolah ditutup pada 1 Juli 1912 karena pemotongan
anggaran. Mengikuti anjuran Mayor Jenderal Hubert de Stuers sejak tahun 1835,
sebuah De Militaire Pupillenschool didirikan
pada tahun 1848 di Kedong-Kebo oleh Mayor Jenderal Von Lützow. Setelah bangunan
runtuh saat badai pada tahun 1854, sekolah pindah ke Fort Cochius, yang kemudian menjadi Fort Van der Wijck, yang terletak di dekat Gombong.
Menariknya, di bagian artikel
ditutup dengan keterangan pendek sbb:
“Gombong
is een klein plaatsje op Java Op hetoogenblik wonen hier5 Jehoediem, namelijk 4
militairen en een koopman, afkomstig uit Taranopel (Galicië) Deze laatste een
frummer Jehoedie gaf de Seder dit jaarvoor zich zelf en zijn vrouw, toch
niettegenstaande hem bekend was, dat de vier andere Jehoediem geen Joodsch
thuis liadden voor Pesach, liet hij hen voor gesloten deuren staan, en
niettegenstaande hun verzoek en verlangen, om aan de Seder te kunnen aanzitten,
konden zij het feest in de kazerne doorbrengen. De arme man, hij wordt geschat
op ± 100.000 gulden, had voor hen geen zetel over”
Keterangan di atas kurang
lebihnya menjelaskan bahwa di kota kecil Gombong terdapat lima orang Yahudi,
yaitu empat tentara dan seorang pedagang dari Taranople (Galicia) dan mereka
melaksanakan ibadah Paskah di rumah.
Belum ada buku sejarah yang
membahas eksistensi orang Yahudi Indonesia di era kolonial. Mulai tahun 200-an
sejumlah peneliti mulai melakukan kajian serius dan dituangkan dalam sejumlah
jurnal ilmiah dan buku.
Salah satunya, Romi Zarman
dalam bukunya Yudaisme di Jawa Abad 19 dan 20 menjelaskan sbb: “Dari suatu peraturan pencatatan sipil untuk
orang Yahudi di Hindia Belanda, Het reglement op den burgerlijken stand, voor
alle Christenen en Joden, bertanggal 18 Juni 1828, teridentifikasi bahwa orang
Yahudi di Jawa terutama tersebar di Batavia, Semarang dan Surabaya…Yahudi Eropa
di Jawa tidak tersebar di Batavia, Semarang dan Surabaya, melainkan juga di
Bandung, Cilacap, Bogor, Sukabumi, Cimahi, Gombong, Surakarta, Yogyakarta,
Walikukun, Malang, Ngawi, Ambarawa, Magelang, Madiun, Purworejo, Purwokerto,
Probolonggo dan Pasuruan” (tt, hal 1-2).
Menariknya, di dalam tabel yang
disusun oleh Sdr. Romi Zarman tertulis komposisi orang Yahudi di beberapa
wilayah dari tahun yang berbeda sbb: Batavia (20 keluarga Yahudi Eropa, tahun
1861), Batavia (40 jiwa, tahun 1862), Surabaya (3 keluarga Yahudi Persia, tahun
1871), Gombong (5 jiwa, tahun 1901), Semarang (20 jiwa, tahun 1903).
Di era kolonialisme, eksistensi
Yahudi di Hindia Belanda terbagi menjadi dua kelompok sebagai konsekwensi
penerbitan Reglement op den Burgerlijken
stand voor alle Christenen en Joden oleh Du Bus pada tanggal 18 Juni 1828,
yaitu Vreemde Joden (Yahudi Asing)
dan Nederlandsch Joden (Yahudi
Belanda). Mereka yang terkategori Vreemde
Joden termasuk Yahudi Turki, Yahudi Portugis, Yahudi Polandia, Yahudi
Austria, Yahudi Rusia, Yahudi Rumania, Yahudi Hunggaria, Yahudi Armenia, Yahudi
Arab, Yahudi Persia, Yahudi Baghdag. Istilah tersebut bergeser pada tahun 1885
menjadi Europeesche Joden (Yahudi
Eropa) dan Aziatische Joden (Yahudi
Asia) (Romi Zarman, Di Bawah Kuasa Antisemitisme: Orang Yahudi di Hindia Belanda 1861-1942,
2018:61,63).
DR. Leonard Epafras melacak
keberadaan Yahudi di Nusantara jauh sebelum kedatangan pemerintahan Hindia
Belanda yang menggantikan kebangkrutan VOC. Keberadaan orang Yahudi Sefardi
sudah terlacak di Malaka era Portugis melalui catatan misionaris Fransiskus
Xaverius (1506-1552). Dia berjumpa dengan Yahudi Sefardi beserta sinagogenya.
Mereka datang dari semenanjung Iberia alias Al Andalus.
Demikian pula beberapa
orang-orang Yahudi berinvestasi dalam saham VOC sekalipun tidak memiliki peran
signifikan (Yahudi Nusantara: Realitas
Sejarah dan Dinamika Identitas, Jurnal Religio, Vol 03 Nomor 02,
2013: 43,46). Di era Hindia Belanda, seorang bernama Ya’aqov Safir Ha Levi
(1822-1885) mengunjungi Batavia sekitar tahun 1861 dalam perjalanan menuju
Australia. Di Batavia dia melakukan sejumlah pencatatan selama tujuh minggu dan
memberikan laporan mengenai keberadaan orang Yahudi di Batavia yang menyedihkan
(Jeffrey Hadler, Translation of
Antisemitism: Jews, The Chinese and Violence in Colonial and Post Colonial Indonesia,
Indonesia
and the Malay World, Vol 32, 2004:295).
Sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya bahwa keberadaan orang Yahudi di Gombong lebih berkaitan dengan
tugas-tugas kemiliteran, tinimbang komunitas dagang yang memasok sejumlah
kebutuhan pangan – sebagaimana pedagang etnis Tionghoa-, sehingga mereka tidak
menetap lama dan hanya untuk beberapa waktu lamanya saja berada di sana. Tidak
pernah ada laporan dan berita lainnya yang berkaitan dengan keberadaan etnis
Yahudi di Gombong pada era-era selanjutnya.
Kiranya tulisan ini dapat
memberikan trigger (pemantik) bagi
riset sejarah selanjutnya, baik perihal eksistensi etnis Yahudi di era kolonial
maupun paska kolonial, jika suatu hari diperoleh datanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar