Kamis, 02 Mei 2019

ASTRAGUNA, SEBONGKAH KISAH DARI DESA PENIRON


Dalam sebuah riset dan penelusuran untuk melakukan pendataan sejumlah potensi Geodiversity (keanekaragaman geologis), Culturaldiversity (keanekaragaman budaya), Biodiversity (keanekaragaman hayati) di wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan Geopark Karangsambung Karangbolong, Kebumen yang dilakukan oleh LIPI Karangsambung (dipimpin Ir. Chusni Ansori, M.T dkk), dimana penulis terlibat dalam riset. Terdapat sebuah kisah tentang seorang bernama Eyang Astraguna, yang belum begitu banyak diketahui masyarakat Kebumen.  

Terletak di sebuah desa bernama Peniron, Kecamatan Pejagoan. Di sebuah bentangan sawah yang luas di bawah kaki bukit dan sejumlah penampakkan batu-batu breksi berukuran besar, terdapatlah sebuah rumah kecil  terbuat dari kayu di antara areal pesawahan. Di dalamnya ada pusara batu, demikian pula di belakang rumah kayu tersebut terdapat sepasang pusara batu.

Tidak ada narasi apapun yang dapat dietahui tentang keberadaan rumah kayu tersebut, sampai penulis dihampiri oleh seorang yang sudah tua dan mengaku bernama Marjapawira. Berkebetulan beliau sedang mengawasi sawah dekat dengan rumah kayu tersebut dan menghampiri penulis.

  

Dalam percakapan selama beberapa menit, penulis mendapatkan keterangan bahwa Bapak Marjapawira merupakan keturunan keenam Astraguna. Dari keterangan beliau didapati informasi bahwa rumah kayu berisikan pusara di tepi sawah bukanlah sebuah kuburan, sekalipun ada semacam pusara batu di dalamnya. Rumah kayu tersebut menurut pengakuan dan pengetahuan yang beliau terima dari leluhurnya adalah penanda bahwa di tempat itu Astraguna pernah membuat senjata tajam.

Adapun pusara batu yang terletak di belakang rumah kayu, bukan pula keberadaan sebuah makam dimana ada jasad seseorang dikuburkan di dalamnya. Sebaliknya, tempat tersebut lokasi permandian jenazah saat Eyang Astraguna meninggal. Sepetak sawah dekat rumah kayu – dimana penulis duduk dan berbincang bersama Bapak Martapawira - dahulunya merupakkan rumah tinggal beliau beserta anak-anaknya.


Tumpukkan batu-batu breksi dalam ukuran besar dahulunya adalah tempat bermeditasi beliau saat hendak membuat senjata dan di tepi jalan kecil di areal pesawahan ada batu breksi yang dikeramatkan dikarenakan dahulunya tempat menaruh senjata yang baru dibuat. Menurut penjelasan Bapak Martapawira, batu yang dikeramatkan itu tidak boleh dinaiki apalagi membuang air seni di lokasi tersebut. Tidak dijelaskan apa dan bagaimana peristiwa yang pernah terjadi saat ada seseorang yang melanggar ketentuan tersebut.


Siapakah Eyang Astraguna sebenarnya? Tidak banyak yang kita ketahui tentang beliau. Tidak ada catatan tertulis apapun selain warisan ingatan yang diturunkan kepada generasi ke generasi, dengan segala kekurangan dan kelebihan dalam akurasi transmisi kisah kehidupannya. Bapak Martapawira sebagai keturunan keenam Eyang Astraguna tentu menerima transmisi informasi perihal Eyang Astraguna.

Namun demikian, Bapak Martapawira tidak bisa memastikan apakah Eyang Astraguna adalah seorang empu yang mengkhususkan pada aktivitas membuat keris atau hanya pandai besi yang membuat senjata tajam pada umumnya termasuk keris. Yang dia terima dari penuturan orang-orang tua sebelumnya bahwa di desa Peniron - termasuk bukit di atas kami berbincang – dahulunya banyak binatang buas termasuk harimau. Bahkan pada tahun 1961 pun masih dijumpai harimau di sekitar wilayah hutan di desa Peniron.

Eyang Astraguna adalah seorang yang memiliki kemampuan membuat berbagai senjata tajam khususnya untuk mengatasi sejumlah hewan buas yang masuk ke perkampungan warga. Keberadaan pandai besi telah ada sejak berpuluh abad lampau. Menurut arkeolog Titi Surti Nastiti dalam bukunya, Pasar di Jawa Masa Mataram Kuna: Masa Mataram Kuna Abad VIII-XI Masehi, cukup banyak prasasti yang menyebut keberadaan mereka sebagaimana dikatakan, "Dari kajian sejumlah prasasti, pandai logam dapat dikelompokkan menjadi lima kelompok, yaitu pandai mas (pandai mas), pandai perak (pandai salaka), pandai tembaga (pandai tamwaga/tamra), pandai perunggu (pandai kamsa/gansa) dan pandai besi (pandai wsi)" (2003:86). Mereka yang dikelompokkan membuat senjata tajam dapat dikategorikan sebagai "pandai wsi".

Beberapa desa di Jawa Tengah seperti Tanggung dan Kedok dikenal sebagai asal pandai besi telah dikenal sejak Abad ke-8. Mereka mengolah bijih besi yang terdapat di dekat tempat tinggalnya, terutama wilayah perbukitan. Dari sini terbentuk jejala industri besi rumah tangga. Di pasar, mereka menjual karyanya berupa pisau, parut, loyang, cetakan kue, dan alat-alat pertanian.

Kedudukan pandai besi dapat dikatakan berada pada posisi yang unik. Ada yang menganggap keahlian mereka tak lebih dari tukang sehingga status dan kelas sosialnya rendah. “Dalam beberapa naskah kesusastraan seperti Slokantara (abad ke-14) dan Agama Adigama, kelompok pandai dimasukkan ke dalam kelompok candala, yaitu kelompok masyarakat yang kedudukannya paling rendah,” tulis Titi dalam bukunya. Namun dari sumber-sumber lain semisal dideskripsikan sebalaiknya bahwa kedudukan pandai besi memiliki strata yang tinggi. "Misalnya dalam prasasti, kelompok pandai selalu masuk ke dalam kelompok manilala drawya haji dan dalam salah satu prasasti masa Sindok mereka mendapatkan hak untuk mengelola sima kajurugusalyan di Mananjun. Di samping itu adanya anggapan yang masih dipercayai sampai sekarang bahwa mereka mempunyai kekuatan magis, sehingga mendapat gelar 'mpu'. Tentunya hak-hak dan gelar itu merupakan suatu hal yang tidak mungkin mereka peroleh jika mereka adalah kelompok rendahan di luar kasta" (2003:87)

Cukup menarik mendengar penuturan Bapak Martapawira perihal bagaimana proses senjata dibuat dan disempurnakan. Konon, cara menguji senjata apakah itu besi yang berani menghadapi lawannya – khususnya hewan buas berupa macan - , maka senjata yang telah dimantrai itu ditusukkan pada jeruk glundung yang besar dan telah digambar badang harimau serta dimantrai. Jika besi itu tidak berani menghadapi lawannya, maka akan bengkok dan tidak bisa dipergunakan menusuk lawan. Namun jika besi itu berani menghadapi lawannya maka akan menusuk begitu saja.

Lokasi batu di sebelah selatan kami – yang bersebelahan dengan lokasi jalan setapak – adalah tempat menaruh senjata yang baru dibuat. Tidak ada keterangan mengapa benda-benda yang baru saja di tempa ditaruh di bebatuan tersebut, layaknya seseorang hendak mengeringkan gabah atau pakaian basah.

Menurut sejumlah pengakuan dari warga lainnya yang diwawancara,  Astraguna diperkirakan hidup sekitar tahun 1850-an. Ada sejumlah peninggalan beliau yang tersebar di beberapa keluarga. Peninggalan baju putih untuk bekerja berada di tangan Bapak Karyana sementara senjata pusaka berupa keris tanpa luk serta mata tombak berada di rumah bapak Sukarwan.

 
 

Menurut seorang praktisi keris dan spiritualis bernama Arif Priyantoro (foto bawah mengenaka blangkon hitam) yang berasal dari Garda Mangkunegaran, yang turut dalam riset dan penelusuran dan kemampuannya diperlukan untuk memahami aspek eksoteris dan esoteris sebuah keris. Keberadaan sejumlah senjata di rumah Bapak Sukarwan bukan senjata buatan beliau melainkan pusaka yang dimiliki Eyang Astraguna.

Penampakkan senjata tajam yang telah berkarat dan tidak dirawat tersebut – menurut penjelasan Arif Priyantoro – bernama (dari kiri ke kanan) Tombak Biring Lanang, Keris Mahesa Lajer, Keris Tilam Upih, Keris Jalak Sumelang Gandring. Adapun pamor keris belum dapat diidentifikasi mengingat tebalnya karat pada senjata kuno tersebut. Dilihat dari material dan tantingan senjata pusaka tersebut, termasuk tangguh Tuban, era Majapahit.

Sedikit informasi mengenai profil Arif Priyantoro yang tinggal di Desa Keputihan. Sebagai anggota Garda Mangkunegaran (dengan mendapatkan surat kekancingan), dirinya ditugaskan untuk melakukan eduksi budaya khususnya tosan aji dari sisi filosofi sejarah dan metalurgi. Selain itu mengemban amanat untuk menjaga relasi historis antara Mangkunegaran dengan Kebumen berdasarkan silsilah dan sejarah. Arif Priyantoro, memiliki alur keturunan Arungninang 1 sekaligus dari Mangkunegara.

Sebagaimana judul artikel ini, kisah Astraguna seperti sebuah “bongkahan batu” yang masih harus dipecah, dibongkar. Artikel ini hanya sebuah introduksi (permulaan) yang dapat menjadi rujukan bagi pengkajian berikutnya yang diharapkan semakin menemukan keutuhan kisahnya dalam bingkai sejarah desa Peniron.

5 komentar:

  1. Saya baru tau kalo peniron ada seorang empu

    BalasHapus
  2. Itu yg ada gubuk putih kan sawah saya wkwk dlu wktu kecil seneng bgt klo ke sawah tiduran di sana

    BalasHapus
  3. Keturunan mpu astraguna siapa saja ya?

    BalasHapus