Dalam
sebuah riset dan penelusuran untuk melakukan pendataan sejumlah potensi Geodiversity (keanekaragaman geologis), Culturaldiversity (keanekaragaman budaya), Biodiversity (keanekaragaman hayati)
di wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan Geopark Karangsambung Karangbolong,
Kebumen yang dilakukan oleh LIPI Karangsambung (dipimpin Ir. Chusni Ansori, M.T dkk), dimana penulis terlibat dalam
riset. Terdapat sebuah kisah tentang seorang bernama Eyang Astraguna, yang
belum begitu banyak diketahui masyarakat Kebumen.
Terletak di sebuah desa bernama Peniron, Kecamatan Pejagoan. Di sebuah bentangan sawah yang luas di bawah kaki bukit dan sejumlah penampakkan batu-batu breksi berukuran besar, terdapatlah sebuah rumah kecil terbuat dari kayu di antara areal pesawahan. Di dalamnya ada pusara batu, demikian pula di belakang rumah kayu tersebut terdapat sepasang pusara batu.
Terletak di sebuah desa bernama Peniron, Kecamatan Pejagoan. Di sebuah bentangan sawah yang luas di bawah kaki bukit dan sejumlah penampakkan batu-batu breksi berukuran besar, terdapatlah sebuah rumah kecil terbuat dari kayu di antara areal pesawahan. Di dalamnya ada pusara batu, demikian pula di belakang rumah kayu tersebut terdapat sepasang pusara batu.
Tidak
ada narasi apapun yang dapat dietahui tentang keberadaan rumah kayu tersebut,
sampai penulis dihampiri oleh seorang yang sudah tua dan mengaku bernama
Marjapawira. Berkebetulan beliau sedang mengawasi sawah dekat dengan rumah kayu
tersebut dan menghampiri penulis.
Dalam
percakapan selama beberapa menit, penulis mendapatkan keterangan bahwa Bapak
Marjapawira merupakan keturunan keenam Astraguna. Dari keterangan beliau
didapati informasi bahwa rumah kayu berisikan pusara di tepi sawah bukanlah
sebuah kuburan, sekalipun ada semacam pusara batu di dalamnya. Rumah kayu
tersebut menurut pengakuan dan pengetahuan yang beliau terima dari leluhurnya
adalah penanda bahwa di tempat itu Astraguna pernah membuat senjata tajam.
Adapun
pusara batu yang terletak di belakang rumah kayu, bukan pula keberadaan sebuah
makam dimana ada jasad seseorang dikuburkan di dalamnya. Sebaliknya, tempat
tersebut lokasi permandian jenazah saat Eyang Astraguna meninggal. Sepetak
sawah dekat rumah kayu – dimana penulis duduk dan berbincang bersama Bapak
Martapawira - dahulunya merupakkan rumah tinggal beliau beserta anak-anaknya.
Tumpukkan
batu-batu breksi dalam ukuran besar dahulunya adalah tempat bermeditasi beliau
saat hendak membuat senjata dan di tepi jalan kecil di areal pesawahan ada batu
breksi yang dikeramatkan dikarenakan dahulunya tempat menaruh senjata yang baru
dibuat. Menurut penjelasan Bapak Martapawira, batu yang dikeramatkan itu tidak
boleh dinaiki apalagi membuang air seni di lokasi tersebut. Tidak dijelaskan
apa dan bagaimana peristiwa yang pernah terjadi saat ada seseorang yang
melanggar ketentuan tersebut.
Siapakah
Eyang Astraguna sebenarnya? Tidak banyak yang kita ketahui tentang beliau.
Tidak ada catatan tertulis apapun selain warisan ingatan yang diturunkan kepada
generasi ke generasi, dengan segala kekurangan dan kelebihan dalam akurasi
transmisi kisah kehidupannya. Bapak Martapawira sebagai keturunan keenam Eyang
Astraguna tentu menerima transmisi informasi perihal Eyang Astraguna.
Namun
demikian, Bapak Martapawira tidak bisa memastikan apakah Eyang Astraguna adalah
seorang empu yang mengkhususkan pada aktivitas membuat keris atau hanya pandai
besi yang membuat senjata tajam pada umumnya termasuk keris. Yang dia terima
dari penuturan orang-orang tua sebelumnya bahwa di desa Peniron - termasuk
bukit di atas kami berbincang – dahulunya banyak binatang buas termasuk
harimau. Bahkan pada tahun 1961 pun masih dijumpai harimau di sekitar wilayah
hutan di desa Peniron.
Eyang
Astraguna adalah seorang yang memiliki kemampuan membuat berbagai senjata tajam
khususnya untuk mengatasi sejumlah hewan buas yang masuk ke perkampungan warga.
Keberadaan pandai besi telah ada sejak berpuluh abad lampau. Menurut arkeolog
Titi Surti Nastiti dalam bukunya, Pasar di Jawa Masa Mataram Kuna: Masa Mataram Kuna Abad VIII-XI Masehi,
cukup banyak prasasti yang menyebut keberadaan mereka sebagaimana dikatakan, "Dari kajian sejumlah prasasti, pandai logam dapat dikelompokkan menjadi lima kelompok, yaitu pandai mas (pandai mas), pandai perak (pandai salaka), pandai tembaga (pandai tamwaga/tamra), pandai perunggu (pandai kamsa/gansa) dan pandai besi (pandai wsi)" (2003:86). Mereka yang dikelompokkan membuat senjata tajam dapat dikategorikan sebagai "pandai wsi".
Beberapa
desa di Jawa Tengah seperti Tanggung dan Kedok dikenal sebagai asal pandai besi
telah dikenal sejak Abad ke-8. Mereka mengolah bijih besi yang terdapat di
dekat tempat tinggalnya, terutama wilayah perbukitan. Dari sini terbentuk
jejala industri besi rumah tangga. Di pasar, mereka menjual karyanya berupa
pisau, parut, loyang, cetakan kue, dan alat-alat pertanian.
Kedudukan
pandai besi dapat dikatakan berada pada posisi yang unik. Ada yang menganggap
keahlian mereka tak lebih dari tukang sehingga status dan kelas sosialnya
rendah. “Dalam beberapa naskah
kesusastraan seperti Slokantara (abad ke-14) dan Agama Adigama, kelompok pandai
dimasukkan ke dalam kelompok candala, yaitu kelompok masyarakat yang
kedudukannya paling rendah,” tulis Titi dalam bukunya. Namun dari sumber-sumber lain semisal dideskripsikan sebalaiknya bahwa kedudukan pandai besi memiliki strata yang tinggi. "Misalnya dalam prasasti, kelompok pandai selalu masuk ke dalam kelompok manilala drawya haji dan dalam salah satu prasasti masa Sindok mereka mendapatkan hak untuk mengelola sima kajurugusalyan di Mananjun. Di samping itu adanya anggapan yang masih dipercayai sampai sekarang bahwa mereka mempunyai kekuatan magis, sehingga mendapat gelar 'mpu'. Tentunya hak-hak dan gelar itu merupakan suatu hal yang tidak mungkin mereka peroleh jika mereka adalah kelompok rendahan di luar kasta" (2003:87)
Cukup
menarik mendengar penuturan Bapak Martapawira perihal bagaimana proses senjata
dibuat dan disempurnakan. Konon, cara menguji senjata apakah itu besi yang
berani menghadapi lawannya – khususnya hewan buas berupa macan - , maka senjata
yang telah dimantrai itu ditusukkan pada jeruk glundung yang besar dan telah
digambar badang harimau serta dimantrai. Jika besi itu tidak berani menghadapi
lawannya, maka akan bengkok dan tidak bisa dipergunakan menusuk lawan. Namun
jika besi itu berani menghadapi lawannya maka akan menusuk begitu saja.
Lokasi
batu di sebelah selatan kami – yang bersebelahan dengan lokasi jalan setapak –
adalah tempat menaruh senjata yang baru dibuat. Tidak ada keterangan mengapa
benda-benda yang baru saja di tempa ditaruh di bebatuan tersebut, layaknya
seseorang hendak mengeringkan gabah atau pakaian basah.
Menurut sejumlah pengakuan dari warga
lainnya yang diwawancara, Astraguna diperkirakan
hidup sekitar tahun 1850-an. Ada sejumlah peninggalan beliau yang tersebar di
beberapa keluarga. Peninggalan baju putih untuk bekerja berada di tangan Bapak
Karyana sementara senjata pusaka berupa keris tanpa luk serta mata tombak berada
di rumah bapak Sukarwan.
Menurut seorang praktisi keris dan
spiritualis bernama Arif Priyantoro (foto bawah mengenaka blangkon hitam) yang berasal dari Garda Mangkunegaran, yang
turut dalam riset dan penelusuran dan kemampuannya diperlukan untuk memahami
aspek eksoteris dan esoteris sebuah keris. Keberadaan sejumlah senjata di rumah
Bapak Sukarwan bukan senjata buatan beliau melainkan pusaka yang dimiliki Eyang
Astraguna.
Penampakkan senjata tajam yang telah
berkarat dan tidak dirawat tersebut – menurut penjelasan Arif Priyantoro –
bernama (dari kiri ke kanan) Tombak
Biring Lanang, Keris Mahesa Lajer, Keris Tilam Upih, Keris Jalak Sumelang
Gandring. Adapun pamor keris belum dapat diidentifikasi mengingat tebalnya
karat pada senjata kuno tersebut. Dilihat dari material dan tantingan senjata
pusaka tersebut, termasuk tangguh Tuban, era Majapahit.
Sedikit informasi mengenai profil Arif
Priyantoro yang tinggal di Desa Keputihan. Sebagai anggota Garda Mangkunegaran
(dengan mendapatkan surat kekancingan), dirinya ditugaskan untuk melakukan
eduksi budaya khususnya tosan aji dari sisi filosofi sejarah dan metalurgi.
Selain itu mengemban amanat untuk menjaga relasi historis antara Mangkunegaran
dengan Kebumen berdasarkan silsilah dan sejarah. Arif Priyantoro, memiliki alur
keturunan Arungninang 1 sekaligus dari Mangkunegara.
Sebagaimana judul artikel ini, kisah
Astraguna seperti sebuah “bongkahan batu” yang masih harus dipecah, dibongkar.
Artikel ini hanya sebuah introduksi (permulaan) yang dapat menjadi rujukan bagi
pengkajian berikutnya yang diharapkan semakin menemukan keutuhan kisahnya dalam
bingkai sejarah desa Peniron.
Marta pawira bukan marja
BalasHapusTerimakasih, sudah saya perbaiki
HapusSaya baru tau kalo peniron ada seorang empu
BalasHapusItu yg ada gubuk putih kan sawah saya wkwk dlu wktu kecil seneng bgt klo ke sawah tiduran di sana
BalasHapusKeturunan mpu astraguna siapa saja ya?
BalasHapus