Senin, 13 Mei 2019

NAMA DAN KISAH DI KERKOF GOMBONG


Film semalam dengan judul “A Walk Among the Tombstone” (2014) yang dibintangi Liam Nesson sebagai pemeran polisi bernama Matt Scudder yang dikejar rasa bersalah di masa silam, seolah mempercepat artikel ini untuk diselesaikan. Adegan demi adegan di seputar makam-makam orang Eropa semakin memotivasi penyelesaian tulisan ini. Bedanya, jika Matt Scudder hendak mengungkap kematian misterius seorang perempuan, penulis hendak mengisahkan tiga nama yang semula saat penulisan artikel ini masih diselimuti kegelapan (2013) namun saat ini telah didapatkan sejumlah titik terang (2019).

Bermula dari kegiatan menarik yang diselenggarakan oleh Rumah Martha Tilar (RMT) Gombong dan Komunitas Pusaka Gombong (KOPONG) dengan nama “Membaca Makam” dengan memfokuskan lokasi kerkhof di Desa Semanding, Gombong. Kegiatan ini berkisar pada proses mengidentifikasi sejumlah nisan tua dan melakukan inventarisasi nama dan tarikh pemilik nama.

Bagi penulis, istilah “membaca makam” bukan sekedar melakukan proses identifikasi visual berupa nama dan tarikh tahun namun sebuah proses menyeluruh yang melibatkan sejumlah disiplin ilmu baik sejarah, sosiologi, antropologi, arekologi. Aneka ragam simbol-simbol yang tertera dalam nisan tentu bercerita tentang suatu hal. Bentuk nisan yang unik dan menonjol dibandingkan nisan lain tentu menarik untuk ditelisik dari aspek sosio historisnya dst.


Saya lahir di Bandung. Istilah kerkof, selalu mengingatkan masa kecil di Bandung saat bermain di sebuah gedung olah raga yang terletak di Jl. Pajajaran di mana sebelumnya kawasan gedung olah raga tersebut adalah areal kerkof. Tahun 1973, areal kerkof dialihfungsikan menjadi gedung olah raga (GOR Pajajaran).

Istilah kerkof saat ini lazim dipahami sebagai kuburan atau kuburan orang-orang Belanda. Makna kata Kerkof sendiri berasal dari kata Belanda “kerk” yang bermakna “gereja” dan “hof” (tunggal) dan “hoven” (jamak) “halaman yang luas” atau “ruang bertembok dan luas” (http://www.woorden.org/woord/kerkhof). Di Batavia (Jakarta sekarang), pemerintahan Belanda melalui VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie - Perusahaan Hindia Timur Belanda) memiliki kebiasaan kala itu bahwa gereja bukan hanya tempat peribadatan melainkan tempat pemakaman yang bisa diletakkan di dalam maupun di halaman gereja.

Sejumlah gereja di kawasan Kota Tua al., De Nieuw Hollandsche Kerk atau dahulu disebut Gereja Kubah (sekarang Museum Wayang) ditemui fenomena gereja dan sekaligus pemakaman di dalam satu area. Artefak nisan Gubernur Jendral Jan Pieterszoon Coen dan Gubernur Jendral Van Imhoff. Kebiasaan orang Belanda mengubur jenazah dalam gereja dianggap aneh oleh orang Eropa lainnya. Kapten Barrows seorang awal kapal Ingris yang berkunjung ke Batavia tahun 1806 mengatakan bahwa kebiasan tersebut sebagai “kecerobohan orang Belanda karena dapat menjadi sumber wabah penyakit” (Kota Tua Punya Cerita, Gramedia 2012:27).

Tahun 1798 dimana terjadi Revolusi Prancis, Pemerintah Belanda melalui VOC, mengeluarkan placaat yaitu pengumuman resmi pemerintah bahwa orang tidak boleh lagi memakamkan orang yang meninggal di dalam gereja dan sekitarnya, karena dianggap tidak sehat, di samping pemakaman di gereja sudah sangat penuh. Tiga tahun sebelumnya (1795), di Batavia dibangun “Kerkhof Laan” atas hibah seorang pejabat VOC. Setelah Indonesia merdeka berganti nama “Kebun Jahe Kober” da sekarang menjadi “Museum Taman Prasasti”. 

Di Desa Semanding, Gombong tidak jauh dari lokasi wisata Benteng Van Der Wick (aslinya bernama Fort Cochius) bersemayam sejumlah nama orang-orang Belanda dari Abad 19 dan Abad 20 terbaring dalam tenang bersama sejumlah nisan megah khas Belanda yang sudah kehilangan bentuk dan nama. Namun sejumlah nama dan bentuk yang masih teridentifikasi, masih dapat dibaca, dipelajari, ditelusuri beserta kisah-kisah yang menyertai mereka.

Jika merunut data Genealogische en Heraldische Gedenkwaardigheden Betreffende Europeanen op Java (Peringatan Silsilah dan Lambang Perihal Orang Eropa di Jawa) yang ditulis oleh Mr. P.C. Bloys van Treslong Prins (Weltevreden 1934) terdapat 96 makam orang-orang Belanda di Desa Semanding. Naskah di atas saya terima dari Karsiyah, seorang peneliti kerkhof Cilacap yang tinggal di Purwokerto dan beliau menerima naskah ini dari Dr. Maarten Fornerod, seorang ahli Biologi Sel, dari Erasmus University Rotterdam. Namun saat ini kita hanya dapat mengidentifikasi beberapa belas nama saja karena sisanya yang lain mengalami kerusakkan nisan dan sejumlah nama yang tersemat di sebuah marmer banyak yang telah hilang.



Ketika saya menuliskan artikel perihal kerkhof di Desa Semanding tahun 2013 silam, belum ada penulis sejarah lokal yang mengkaji keberadaan makam Belanda ini. Tidak ada satupun data yang yang saya ketahui perihal sejumlah nama yang berbaring di dalam nisan-nisan kuno tersebut. Dan menurut juru kunci kerkhof Alm Bapak Karmin, banyak makam Belanda yang tergerus ke sungai dan tertimbun pasir (Kerkof di Desa Semanding, Gombong - http://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com)

Seiring tahun, kegiatan “Membaca Makam” menuntun saya untuk melakukan sejumlah penelusuran terhadap sejumlah nma yang menarik perhatian. Dari sekian nama saya akan memilih tiga nama untuk diketahui kisahnya oleh publik.

C.F. H. Campen (8 Des 1853 – 2 Jan 1886)

Di sebuah nisan berbentuk monumen vertikal dan nampak menyolok mata tertulis, “C.F.H. Campen/le lut. Der Inf. Ridder M.W. O. /8 Dec 1853-23 Jan. 1886/Zijne kameraden”. Beliau adalah seorang Letnan Infantri dan seorang “Instructeur militaire pupillen te Gombong” (Instruktur sekolah siswa militer di Gombong) yang tewas di bunuh di jalan.

 

De Militaire Pupillenschool (Sekolah Siswa Militer) atau dikenal dengan Korps Pupillen, adalah sebuah institusi pendidikan dari Angkatan Darat Hindia Belanda (Koninklijk Nederlands Indisch Leger-KNIL) yang didirikan pada 1848 di Gombong di Jawa Tengah. Tujuan sekolah adalah untuk melatih anak-anak orang Eropa, yang dibesarkan sebagai penduduk asli, untuk menjadi prajurit. Sekolah ditutup pada 1 Juli 1912 karena pemotongan anggaran. Mengikuti anjuran Mayor Jenderal Hubert de Stuers sejak tahun 1835, sebuah De Militaire Pupillenschool didirikan pada tahun 1848 di Kedong-Kebo oleh Mayor Jenderal Von Lützow. Setelah bangunan runtuh saat badai pada tahun 1854, sekolah pindah ke Fort Cochius, yang kemudian menjadi Fort Van der Wijck, yang terletak di dekat Gombong.

Dalam sebuah artikel berjudul, "Het Korps Pupillen te Gombong" disinggung perihal karya tulis Letnan Campen sebelum beliau mengalami kematian dibunuh. Karya tulis berisikan sebuah penjelasan perihal keberadaan pentingnya sekolah militer di Gombong karena sejumlah pihak mulai mempertanyakan keberadaan dan efekstifitasnya. Dalam artikel tersebut dikatakan, “Om het publiek van dit dwaalbegrip te bevrijden en oen helder inzicht te geven van de werking van het instituut, gaf de onlangs op noodlottige wijze omgekomen le luitenant der infanterie C. F. H. Campen, die aan de pupillenschool werkzaam was, een nauwkeurige beschrijving van de inrichting en de resultaten van bovengenoemde stichting, doorlichting van belangstellenden en belanghebbenden was zijn doel” (Untuk membebaskan masyarakat dari kesalahpahaman ini dan untuk memberikan pemahaman yang jelas mengenai operasi lembaga ini, letnan infanteri CFH Campen yang terbunuh secara fatal, yang bekerja di sekolah siswa militer, membuat deskripsi yang tepat tentang desain dan hasil dari pendirian lembaga tersebut di atas, penyaringan para pihak yang berkepentingan dan para pemangku kepentingan menjadi tujuannya tujuannya - (Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 29-11-1886). Karena pentingnya karya Campen tersebut sehingga pemerintah Belanda menggandakan secara gratis sebanyak  1000 eksemplar.


Buku Campen pernah diiklankan pada sebuah surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad (02-03-1888) dua tahun setelah kematiannya. Dari iklan tersebut kita mengetahui bahwa judul buku yang diterbitkannya adalah “Het Korps Pupillen te Gombong”. Berikut keterangan dalam iklan tersebut:


Bij G. KOLFF & Co., te Batavia,
in tegen remise van f 1.10 franco verkrijgbaar:

HET KORPS PUPILLEN TE GOMBONG

Gids voor belanghebbenden cn belangstellenden, bewerkt door
C. F. H. CAMPEN officier der Infanterie O. I. Leger.

Sebelum bertugas di Gombong, nampaknya Campen pernah dipindahtugaskan ke Surabaya bersama rekan lainnya. Dalam sebuah laporan militer di Bataviaasch Handelsblad (20-09-1884) dua tahun sebelum kematian Campen, dituliskan perihal sejumlah rotasi di tubuh militer Belanda sbb:

Overgeplaatst:
De Iste luitenants der infanterie C. F. H. Campen bij het 6e en H. F. van Tliiel bij het 5e bataillon; de majoors der genie A. J. J. Staal naar Soerabaija en G. H. W. van Haeften naar Magelang; de Kapiteins der genie J. G. H. de Voogt naar Batavia en E. Marcella naar Gombong; de kapitein der infanterie T. A. Engelbert van Bevervoorde bjj hot 17e bataillon; de 2de luitenant der infanterie K. J. van Alpben de Veer bij het garnizoens bataillon in de 2de militaire afdeeling op Java; en de lste luitenant der infanterie gedetacheerd bij de artillerie J. W. Groot naar 'Soerabaija.

Lucia Burm (10 Maret 1910)

Nisan Lucia Burm nampak paling besar dan mewah serta ikonik. Tidak ada keterangan perihal kapan Lucia Burm dilahirkan. Sekalipun namanya berada dalam daftar Genealogische en Heraldische Gedenkwaardigheden Betreffende Europeanen op Java (Peringatan Silsilah dan Lambang Perihal Orang Eropa di Jawa), namun tidak ada keterangan perihal tanggal kelahirannya. Naskah ini menuliskan Burn tinimbang Burm. Entahkah salah mengidentifikasi nama pada makam, tidak diketahui dengan jelas





Akhirnya saya menemukan di sebuah website berbahasa Belanda yang mengutip sejumlah foto dan keterangan saya perihal keberadaan kerkhof Gombong pada 2013 silam, didapatkan data perihal tarikh kelahiran beliau yaitu tanggal 12 Mei 1851. Dan penulis websitenya memberikan keterangan mengenai Lucia sbb, “Lucia (12-5-1851) was een dochter van Charles Louis en Carolina Frederica Ham(m)erich. Pieter was geboren te Den Haag 12 jan 1837. Zij huwden te Karanganjer op 2-2-1871” (Lucia (12-5-1851) adalah putri Charles Louis dan Carolina Frederica Ham (m) erich. Pieter lahir di Den Haag pada 12 Januari 1837. Mereka menikah di Karanganjar pada 2-2-1871 - https://www.imexbo.nl/div-kerkhoven-deel-2.html).

Di atas nisan berbentuk kubah tertulis kalimat, “Rusplaats van de familie Burm” (Tempat peristirahatan keluarga Burm). Kemungkinan di nisan ini tidak hanya berbaring satu orang bernama Lucia Burm melainkan beberapa orang. Tahun 2013 silam di bawah rongga nisan ini penuh sampah. Tahun 2019 ini sudah cukup bersih.

Jika merujuk pada Genealogische en Heraldische Gedenkwaardigheden Betreffende Europeanen op Java (Peringatan Silsilah dan Lambang Perihal Orang Eropa di Jawa), daftar nama di makam keluarga Burm selengkapnya sbb:

35. C.W. Burn-Boomhoff/geb. 23 Sept. 1823 overl. 10 Oct. 1893
36. Maria Burn/echtgenoote van D.W. Lantermans/geb. 9 Juni 1852 overl. 28 Maart 1889
37. Pieter Peelen/echtg. V. Lucia Burn/ 10 Maart 1910

(De sub 34-37 genoemde opschriften bevinden zich op marmeren naamplaten in een nis)

35. C.W. Burn-Boomhoff / Lahr. 23 September 1823 Wft. 10 Oktober 1893
36. Maria Burn / istri D.W. Lantermans / Lahr.  9 Juni 1852 Wft.  28 Maret 1889
37. Pieter Peelen / pasangan V. Lucia Burn / 10 Maret 1910

(Prasasti yang disebutkan di nomor 34-37 tertulis pada plakat nama terbuat dari marmer di dalam kubah)

Jika Anda mengunjungi nisan ini hanya akan menjumpai plakat marmer tertulis “Pieter Peelen/echtg. V. Lucia Burn/ 10 Maart 1910” dan ada dua kolom kosong di sampingnya. Mungkin ada sejumlah orang yang telah mengambil dan membongkar untuk kepentingan tertentu.

Lucia Burn (Burm) nampaknya memiliki sebuah hotel di Gombong era kolonial dengan nama “Het Hotel Gombong” dan membuat iklan di sebuah surat kabar bernama De Locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad (27-07-1901) sbb:


TE KOOP:
Het Hotel Gombong
Mevr. L. PEELEN-2694 BURM

DIJUAL:
Hotel Gombong
Nyonya. L. PEELEN-2694 BURM

Pada iklan penjualan hotelnya, nampak menggunakan nama Burm bukan Burn. Nampaknya Genealogische en Heraldische Gedenkwaardigheden Betreffende Europeanen op Java (Peringatan Silsilah dan Lambang Perihal Orang Eropa di Jawa) keliru menulis nama Burm menjadi Burn.

Menyisakan pertanyaan, bagaimana mungkin Lucia yang wafat Maret 1901 masih membuat iklan penjualan hotel pada bulan Juli 1901? Ada dua kemungkinan. Pertama, Lucia Burm tidak meninggal pada Maret 1901 melainkan suaminya dan terlacak menjual hotel miliknya pada bulan Juli 1901. Kedua, Lucia memang sudah mengiklankan sejak sebelum meninggal di bulan Maret dan penerusnya melanjutkan mengiklankan atas namanya sampai bulan Juli 1910.

W.H. Poepart (16 Apr 1857-9 April 1936)

Nama W.H. Poepart tidak ada dalam daftar Genealogische en Heraldische Gedenkwaardigheden Betreffende Europeanen op Java (Peringatan Silsilah dan Lambang Perihal Orang Eropa di Jawa) karena Poepart wafat pada tahun 1936 sementara daftar di atas hanya mencatat sampai periode orang yang wafat pada tahun 1922 atas nama Geetruida Maria v. Hoek.



Ada kisah menarik yang tidak diketahui publik mengenai W.H. Poepart dari riwayat singkat pada hari kewafatannya yang dilaporkan De Indische Courant (15-04-1936)

Leger en vloot. W.H. POEPAART †. In memoriam.
Men schrijft de Loc. van geachte zijde :

Eén van de oude garde, drager van de Kraton-medaille is heengegaan. Op den 9en April 1936 overleed na kortstondige ziekte te Gombong in den ouderdam van bijna 79 jaren, onze bondsmakker, W. H. Poepaart. Wijlen Poepaart werd op 16 April 1857 geboren en kwam op 7-jarigen leeftijd bij het korps pupillen te Gombong en trad op 16-jarigen leeftijd in dienst bij het leger en werd in 1873 ook direct ingedeeld bij het expeditionaire korps te Atjeh. Na deze Atjeh-periode kwam hij weder terug naar Java en werd in den rang van sergeant in 1879 ingedeeld bij het korps pupillen, alwaar hij tot hij in 1895 den militairen dienst had verlaten, met de versierselen van de Kraton-medaille, het Atjeh-kruis en de zilveren medaille voor trouwen dienst bij bleef. Hij vestigde zich toen te Gombong, welk plaatsje hij zeer lief had. Zeer vele kransen dekten zijn baar w.o. ook één van het begrafenisfonds van oud-militaire- te Gombong, waarvan de overledene lid was. Onder zeer groote belangstelling werd zijn stoffelijk overschot den 10 en April 4 u. n.m. ter aarde besteld. Zelfs de oudste ingezetene van Gombong, de 81-jarige heer W.J. Kraake, gep. adjudant onderofficier kw. verzuimde niet zijn kameraad de laatste eer te bewijzen. Menig oud-pupil en kennissen van den overledene zullen deze tijding wel met aandacht lezen. Aan het graf werd niet gesproken, alleen werd namens de weduwe en de familieleden gedankt. Hij ruste in vrede


Keterangan di atas memberikan beberapa informasi penting mengenai Poepart yaitu: Pertama, dia seorang perwira militer penerima medali kehormatan dari Kraton Yogyakarta. Kedua, tahun 1873 diberangkatkan ke Aceh. Ada apa di Aceh? Sebagaimana tercatat dalam sejarah bahwa Belanda terlibat dalam pertempuran panjang dengan rakyat Aceh yang terbagi menjadi empat periode perang yaitu, Perang Aceh Pertama (1873-1874) dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Mahmud Syah melawan Belanda yang dipimpin Köhler. Perang Aceh Kedua (1874-1880). Pasukan Belanda dipimpin oleh Jenderal Jan van Swieten. Perang Aceh Ketiga (1881-1896), perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi sabilillah dipimpin Teuku Umar bersama Panglima Polim dan Sultan. Perang Aceh Keempat (1896-1910) adalah perang gerilya kelompok dan perorangan dengan perlawanan, penyerbuan, penghadangan dan pembunuhan tanpa komando dari pusat pemerintahan Kesultanan. Popart adalah veteran perang Aceh pertama. Ketiga, dia memilih Gombong sebagai tempat peristirahatan terakhir karena dia mencintainya sebagaimana dikatakan dalam keterangan koran tersebut, “welk plaatsje hij zeer lief had” (tempat yang sangat dia cintai).


Demikianlah beberapa nama dan kisah dibalik kesunyian nisan-nisan Belanda, baik mereka yang berlatar belakang militer maupun swasta. Kiranya kisah-kisah di atas dapat melengkapi sejarah era kolonial di Gombong, perihal orang-orang dan status sosial yang mereka miliki. Kiranya waktu akan menyingkapkan lapisan-lapisan misteri nama dan kisah penghuni kerkhof berikutnya.


1 komentar:

  1. Terima kasih atas mempublikasi makam Gombong lagi spesial keluarga PEELEN - Lucia BURM.
    Saya memiliki informasi lebih lanjut tentang Lucia Burm dan suaminya Pieter Peelen dan tanggal penjualan hotel Gombong. Saya tidak ingin memberi tahu Anda di sini dan meminta Anda menghubungi saya melalui alamat email.Anda dapat menemukan alamat email saya dengan mengunjungi situs web yang telah Anda kunjungi www dot imexbo dot nl
    (Bahasa Belanda).

    Terima kasih sebelumnya dan dengan hormat / HansBoers.

    BalasHapus