“Kopi,
bukan sekedar minuman biasa tapi ajakkan untuk hidup!”,
demikian ungkapan puitis Diego Valdez (seorang pemilik perkebunan kopi di
Colombia yang bersikap konservatif terhadap modernisasi kopi) kepada Zoe Walker
(ilmuwan makanan yang telah dikirim ke Colombia untuk mendesain cita rasa kopi
yang menarik bagi generasi milenial dan bekerja untuk Star Kreme) dalam film
romansa Cup of Love. Dalam penggalan
percakapan sebuah film berbahasa Indonesia berjudul Filosofi Kopi, dengan tema kopi berbalut romansa
kita mendengar ungkapan, “Setiap karakter
dan arti kehidupan dapat kita temukan dalam secangkir kopi. Selama ada yang
namanya kopi, orang-orang dapat menemukan dirinya di sini”.
Ketika berbicara kopi, kita
memang tidak sekedar berbicara sebuah minuman berwarna hitam yang berasal dari
Etiopia (ditemukan oleh Kaldi seorang penggembala yang memperhatikan
domba-dombanya mengunyah sebuah buah yang dikemudian hari dinamakan kopi - https://www.gocoffeego.com/ ) namun
berbicara banyak kisah, mulai darimana kopi ditemukan dan ke mana bermigrasi,
peran sosial kedai-kedai kopi dalam pembentukkan opini publik, kelas-kelas
sosial para penikmat jenis kopi, sederetan kalimat-kalimat filosofis yang
dilekatkan kepada secangkir kopi dan sederetan kisah lainnya.
Malam itu, saya meluangkan
waktu bersama istri mengunjungi Beranda Caffe yang terletak di Jl. Pemuda 87.
Hujan cukup deras dan kami berjalan kaki berpayung menikmati udara malam yang
dingin dan basah, karena lokasinya tidak terlalu jauh dari rumah tinggal kami.
Ini bukan untuk yang pertama kalinya. Namun kali ini ingin berbincang-bincang dengan Bapak Sugeng (pemilik Muncul Bursa Motor orang tua Lily Mulyani owner Beranda Eatery) ingin menggali informasi lebih banyak tentang pemilik pertama rumah sebelum kemudian berpindah menjadi kedai kopi yang disebut-sebut sebagai dokter pertama di Kebumen bernama dr. Soedirman yang kemudian namanya diabadikkan menjadi sebuah nama rumah sakit daerah sejak tahun 2014.
Sayang malam itu, percakapan
hanya berjalan beberapa menit dan saya harus kecewa karena Bapak Sugeng
Budiawan tidak begitu memahami siapa dr. Sudirman dan beliau memberikan nomor
kontak ahli warisnya yang tinggal di luar Jawa yang katanya terkadang masih
mengunjungi kedai kopi ini untuk sekedar bernostalgia dengan rumah lama mereka.
Satu Jam setelah saya dan istri
menghabiskan beberapa menu pesanan percakapan bergeser secara tidak sengaja
kepada Lily Mulyani. Perempuan muda berkamata yang masih melajang dan berlatar
belakang Desain Interior di Singgapura ini banyak bercerita mengenai konsep
yang diusung melalui kehadiran Beranda
Eatery.
Percakapan beberapa menit
dengan Lily memperlihatkan sejumlah kesan perihal idealism, passion
(hasrat) serta modernity (kemodernan)
yang memancar dibalik barisan tuturan verbalnya saat bercerita mengenai cita
rasa dan kualitas sebuah kopi.
Idealisme Lily diperlihatkan
saat dengan bersemangat menceritakan konsep urban
food (makanan perkotaan) melalui kehadiran Beranda Eatery. Lily ingin memperlihatkan kepada masyarakat Kebumen
bahwa untuk menikmati sejumlah hidangan berkelas tidak harus ke Yogyakarta atau
Semarang yang kerap menjadi sentrum melainkan memulainya dari kotanya sendiri.
Konsep urban food bukan sekedar meretas pencarian para pecinta kuliner dan
penikmat kopi agar tidak mencari ke kota-kota rujukkan namun juga
memperkenalkan kepada masyarakat Kebumen sebuah taste (cita rasa) dari urban
food. Saya menyenangi konsistensi Lily karena tidak berniat mengubah taste
sebuah jenis makanan urban food menjadi taste yang cocok dengan lidah Kebumen.
Saya kerap menggelengkan kepala ketika ada jenis makanan yang dijual dengan
mengatasnamakan khas kota tertentu namun cita rasanya tunduk pada kemauan
konsumen yang memaksakan harus taste Kebumen. Bagaimana kita bisa memiliki
keluasan pemahaman terhadap taste (cita rasa) makanan di luar Kebumen jika kita
harus mengurangi keutuhan dan karakteristik taste yang bukan berasal dari
Kebumen?
Tentu saja idealisme ini
menuntut sajian yang berkualitas dalam hidangan baik makanan maupun minuman
khususnya kopi. Sebuah kualitas tentu membutuhkan harga yang agak merogoh kocek.
Berbicara tentang kopi, Lily
berkisah dengan penuh passion
(hasrat) darimana dia belajar secara otodidak melalui interaksi sosialnya
selama di luar negeri dan di dalam negeri perihal menemukan sebuah cita rasa
kopi yang ideal dan bernilai jual yang menghantarkan dirinya untuk memberanikan
diri memulainya di sebuah kota kecil bernama Kebumen.
Lily menceritakan secara
terbuka darimana dia memperoleh roasting (perihal
apa dan bagaimana roasting dapat membaca artikel berikut - https://coffeeland.co.id) kopinya mulai dari
Semarang, Bandung dan sejumlah kota yang mana dia memperolehnya dari roster yang telah memiliki sertifikasi.
Dengan cara ini, Lily ingin memperlihatkan keunggulan Beranda Eatery dalam usahanya menyajikan sebuah sajian kopi
berstandard.
Konsep modernity yang diterapkan oleh Lily dalam membangun usaha kedai
kopinya bukan semata-mata keterlibatan peralatan modern dalam proses rosting
yang kemudian akan menjadi rujukkan pembeliannya namun juga dalam penyajian
peracikkan kopi yang terbuka di meja bar serta dapur yang mencerminkan
kebersihan yang dapat dilihat oleh para penikmat kopi dan makanan yang
disajikan. Di meja bar tersedia jenis kopi dan peralatan peracikkan kopi dengan
model sbb: Cold Drip, Chemex, Aero Press,
Syphon, Pour Over, Vietnam Drip.
Selain itu penyajian suasana
ruangan yang klasik menjadi salah satu konsep yang mengajak para penikmat kopi
dan sajian Beranda Eatery menjadi enjoy
dan at home. Sifat klasik ruangan tidak bisa dilepaskan
dari pemilik rumah di era tahun 1950-an ini sebelumnya yang menurut informasi
dimiliki oleh seorang dokter bernama dr. Soedirman. Tidak banyak informasi yang
dapat dilacak mengenai profil dan kontribusi dr. Soedirman selain dokter
Kebumen pertama dan seorang Direktur RSUD Kebumen kedua setelah dr Goelarso di
era tahun 1950-an. Beberapa warga Gombong mengingat kebiasaan khas dr Soedirman yang jenaka dan gemar menghisap rokok klembak menyan jika selesai melaksanakan tugas di era tahun 1970-an.
Tidak terasa sudah pukul 1.46
saat saya menuliskan artikel ini dan pukul 21.000 saat saya menyelesaikan
percakapan dan menghabiskan hidangan. Sembari pulang dengan menyongsong hujan
yang kembali deras diiringi kilatan cahaya tanpa gelegar suara sembari mengembangkan
payung berjalan dalam deras malam menuju rumah, saya terus mencari tahu
siapakah dr. Soedirman yang hanya diketahui jejaknya begitu singkat oleh
beberapa masyarakat Kebumen. Mudah-mudahan malam demi malam, saya menemukan
jawaban.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar