Siang
itu penulis mengunjungi untuk kesekian kali lokasi bekas peninggalan Jepang di
bukit Gajah, Argopeni, Kebumen yaitu sebuah bangunan yang tersebar di beberapa
titik yang jumlahnya ada sembilan.
Peninggalan bekas tentara Jepang ini lebih pada sebuah tempat pengintaian yang terbuat dari beton namun nampaknya belum sempat dipergunakan. Nampak di dalamnya tempat menaruh senjata yang diarahkan ke pantai di bawahnya. Masyarakat menyebutnya dengan beberapa nama al., “benteng pendem” dan “gua jepang” serta “bunker”.
Peninggalan bekas tentara Jepang ini lebih pada sebuah tempat pengintaian yang terbuat dari beton namun nampaknya belum sempat dipergunakan. Nampak di dalamnya tempat menaruh senjata yang diarahkan ke pantai di bawahnya. Masyarakat menyebutnya dengan beberapa nama al., “benteng pendem” dan “gua jepang” serta “bunker”.
Sejak
kunjungan pertama dan menuliskannya di blog ini (Januari 2018), lokasi ini
menjadi tempat berkunjung sejumlah siswa sekolah dan wisatawan. Tidak ada yang
berbeda dari kunjungan pertama hanya lebih bersih dan terawat dengan semak
belukar yang kerap dibakar.
Tidak
jauh dari lokasi situs yang penulis kunjungi, sebuah warung kopi bernama “Warunk
Kopi Benteng” milik Jaeni menjadi jujugan beberapa orang yang ingin menikmati segelas
kopi dan dawet serta sejumlah camilan khas lainnya yaitu mendoan. Beberapa pembeli
meminum kopi sembari memanfaatkan berfoto di samping lukisan yang sengaja
disediakkan Jaeni untuk lokasi berfoto.
Siang
itu, penulis memenuhi janji untuk menemui Jaeni untuk melihat beberapa barang
temuan yang didapatkan pamannya yang bernama Siran saat berada di sungai
Gemulung yang ada di Desa Srati. Barang temuan tersebut ternyata 11 koin mata
uang dari periode waktu yang berbeda (era Tiongkok, era kolonial Belanda dan
era pemerintahan Republik Indonesia masa pemerintahan Sukarno) serta sejumlah
proyektil peluru aktif. Sayangnya Siran yang menemukkan sejumlah barang ini
tidak mampu mengingat dengan jelas kapan dia menemukkan. Namun lebih dari satu
tahun nampaknya.
Mata
Uang Tiongkok
Tidak
jelas bagaimana mata uang era Tiongkok ini bisa berada di sungai Srati ini.
Mata uang Tiongkok yang lazim disebut Picis
atau Kepeng sudah dipergunakkan
di era Majapahit (Abad 15 Ms). Mata uang Tiongkok inipun belum dapat
dipastikkan dari era dinasti mana. Namun tidak semua koin berlubang merujuk
pada mata uang Tiongkok. Di Nusantara dikenal istilah Gobog yang bisa merujuk pada mata uang Tiongkok namun bisa merujuk
beberapa wilayah lokal di Nusantara baik di Bali, Banten dll. Bedanya mata uang
Gobog memiliki motif hiasan yang
bukan berhuruf kanji.
Mata
Uang Belanda
Selain
penemuan mata uang Tiongkok juga ditemukkan mata uang era kolonial Belanda yang
biasa disebut Benggol dengan
penampakkan mahkota dijunjung singa bertarikh 1921. Mata uang era kolonial
terdiri dari Bil (0,5 sen), Sen (2 Bil), Benggol/Gobang (2,5 sen), Kelip
(5 sen), Ketip (10 sen), Stalen (25 sen), Perak (100 sen), Ringgit
(2,5 rupiah).
Mata
uang Benggol sudah ada sejak tahun
1800-an hingga tahun 1945. Yang bertarikh 1945 biasanya dipergunakan oleh
masyarakat pedesaan untuk kerokkan jika seseorang mengalami “masuk angin”.
Mata
Uang Republik Indonesia
Mata
uang Republik Indonesia era pemerintahan Presiden Sukarno yaitu sebesar 50 sen
dengan gambar Pangeran Diponegoro dengan hiasan bahasa Arab di sekeliling wajah
Diponegoro. Wajah Diponegoro adalah tokoh nasional yang diabadikkan dalam
bentuk uang logam setelah Sukarno. Tahun 1966, uang logam 50 sen bergambar
Diponegoro ditarik dari peredaran.
Alat
Putar Lampu Teplok
Sebuah
benda yang semula diduga koin dengan hiasan bintang segi lima dengan tertulis
nama Asahi dan dibaliknya tertulis
kalimat Made in Japan. Ternyata ini
adalah hiasan pada alat putar mematikkan dan menghidupkan lampu teplok yang
menggunakan semprong di era kolonial maupun era pasca kolonial. Tidak jelas
alat pemutar merk Asahi ini dibuat
tahun berapa.
Tiga
butir peluru aktif
Selain
koin mata uang dari berbagai era yang berbeda juga ditemukkan proyektil peluru
(mata peluru, anak peluru) tajam sebanyak 3 butir yang belum sempat
dipergunakan. Dua diantaranya tertulis kode PIN dan yang lebih kecil tertulis
kode W. Belum dapat dipastikkan apakah keberadaan peluru-peluru tersebut dari
era kolonial Belanda dan Jepang saat melakukan pertempuran dengan tentara
Indonesia atau dari periode setelah itu.
Dalam
perbincangan perihal penemuan tersebut di Sungai Gemulung Desa Srati,
percakapan bergeser ke lokasi makam tua yang dikeramatkan di Desa Srati. Penulis
tidak terlalu tertarik dengan kata “keramat” yang dilekatkan dengan keberadaan
makam tua tersebut namun lebih kepada kekunoan, model nisan dan siapa yang
terbaring di sana.
Keberadaan
makam kuno di suatu wilayah biasanya dihubungkan nama tokoh tertentu sebagai
pendiri desa, penguasa wilayah, bupati. Di wilayah Kebumen sendiri tersebar
belasan makam kuno yang dihubungkan dengan ketokohan tertentu dan kerap
disambangi banyak orang dengan berbagai keperluan. Beberapa maka tersebut al.,
- Makam Panembahan Agung Kajoran/mBah Agung di Ds.Kajoran Karanggayam
- Makam Panembahan Eyang Sepuh Purnomo Sidik, Candi, Karanganyar
- Makam Panembahan Duryudana, Sempor
- Makam Panembahan Eyang Tumenggung Singa Taruna, Tresnorejo, Petanahan
- Makam Panembahan Eyang Tumenggung Singa Ndanu, Puring
- Makam Panembahan Eyang Tumenggung Carangnolo, Puring
- Makam Panembahan Eyang Tumenggung Wono Salam, Sekarteja, Adimulyo
- Makam Panembahan Eyang Dipawetjana, Sidomulyo, Adimulyo
- Makam Panembahan Eyang Sepuh Joko Puring, Puring
- Makam Syaikh Abbas, Dorowati, Klirong
- Makam Syaikh Pandan Arum, Karangreja, Petanahan
- Makam Panembahan Kalang Kadirja, Braja, Karangduwur, Petanahan
- Makam Syech Bagus ‘Ali (Panggel, Panjer, Kebumen)
- Makam Syech Sirnoboyo (Kuwarisan, Panjer, Kebumen)
- Makam Syech Gesing (Gesing, Adikarso, Kebumen)
- Makam Syekh Ibrahim Asmorokondi Kuwarisan Panjer Kebumen
- Makam R. Joko Murtani makamnya di Gunung Tumpeng
- Makam Syeh Abdul Qodir Ad-Daratan, Syeh Bledug Jagung, Syeh Abdul Qodir An-Daratany, Mbah Kyai Sodri, Eyang Doro Bei, Kradenan Ambal
- Makam Arung Binang I, (Joko Sangkrib),di Kalibejen, Kutawinangun
- Makam Bumidirjo di Kutowinangun
- Makam Tumenggung Kolopaking di Kalijirek
- Makam Tan Peng Nio, di desa Jatimulyo
Beberapa
kilometer menuruni Desa Argopeni sampailah kami di Desa Srati dan mendapati
areal pemakaman desa di belakang sebuah sekolah dasar dan tidak jauh dari sungai
Gemulung.
Melihat
penampakkan areal pemakaman cukup menarik karena banyak nisan tidak bertuliskan
namanya dan menggunakan batu kali sebagai nisan. Di sudut areal pemakaman di
bawah pohon yang cukup besar terbaring empat makam yang dibatasi dengan pagar
tembok oleh masyarakat desa.
Sangat
menarik melihat penampakkan makam ini karena bentuknya yang panjang melebihi
makam pada umumnya dan tumpukkan batu-batu andesit yang lazim dipergunakkan
untuk membuat candi dan berada di kawasan tinggi dan keberadaan gunung purba.
Keunikkan
lainnya adalah salah satu makam berisikkan tumpukkan batu andesit yang dibentuk
seperti batu persegi dan ditumpangkan begitu saja di atas gundukkan tanah
tersebut. Sementara dua yang lain berisikkan batu andesit yang belum dibentuk
sama sekali. Dan yang dekat pintu masuk makam dengan bentuk memanjang dikelilingi
oleh batu-batu andesit. Entah mengapa bentuknya sangat panjang melebihi ukuran
makam di sekitarnya.
Nisannya
yang terbuat dari batu andesit tidak menuliskan nama namun nampaknya ada
sejumlah motif ukir yang tidak begitu jelas bentuknya apakah motif bunga
ataukah yang lain. Menurut beberapa sumber, nama keempat orang yang terbaring
tersebut adalah Mbah Suryadikesumo, Mbah Bekel, Den Bagus Sosro dan Den Bagus
Cemeti.
Makam
dan nisan ini nampaknya bercorak Islam yang dipengaruhi tradisi Hindu dalam
penggunaan batu andesit dan motif pada nisan. Nisan, merupakkan peninggalan
kebudayaan terkait dengan sistem penguburan yang banyak ditemukkan pada
sejumlah situs arkeologi dari era Islam.
Sejumlah
pengaruh Islam pada tradisi penguburan di Abad ke 11 Ms dapat terlihat di
daerah Lobu Tua, Barus, Sumatra Utara dan Makam Fatimah binti maimun di Leran,
Gresik, Jawa Timur. Nisan-nisan kuno di Nusantara memiliki pola tertentu yang
menjadi karakteristik suatu daerah sebagaimana pernah dilakukan oleh Hasan
Muarif Ambary dalam bukunya, Menemukan Peradaban, Jejak Arkeologis dan
Historis Islam Indonesia, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998).
Dalam
bukunya, Ambary membagi tipo-kronologi nisan di Nusantara menjadi empat tipe
yaitu Aceh, Demak-Troloyo, Bugis-Makasar dan Ternate-Tidore. Tiap tipe nisan di
suatu daerah masih terbagi dalam beberapa bentuk nisan, sebagaimana penelitian
Muhammad Nur yang mengelompokkan bentuk-bentuk nisan di Makam Mattako, Maros,
Sulawesi Selatan menjadi bentuk pedang, bentuk gada, bentuk phallus, bentuk
menhir, bentuk arca menhir dan bentuk Aceh jenis K (Unsur Budaya Prasejarah dan Tipo-Kronologi Nisan di Kompleks Makam
Mattakko, Maros, Sulawesi Selatan dalam Jurnal Papua, Vol 9 No 1 Juni 2017, hal 63).
Merujuk
penjelasan literatur di atas, sangat mungkin empat makam dengan nisan terbuat
dari batu andesit ini bercorak Islam dengan sejumlah pengaruh Hindu dengan model
nisan Demak-Troloyo, sekalipun keempat orang yang terbaring tersebut belum
tentu berasal dari Demak.
Sekalipun
bentuk makam hanya berupa gundukkan tanah ditutupi batu-batu andesit berbentuk
segi empat ataupun hanya gumpalan batu tidak beraturan, keberadaan makam ini
sangat rapih dan bersih. Dari penampakkan menyan yang dibakar, nampaknya makam
ini kerap dikunjungi oleh orang-orang tertentu yang hendak berziarah dan
memiliki kepentingan tertentu.
Dari
penelusuran dan pemaparan berbagai temuan maupun lokasi pemakaman kuno
khususnya Desa Srati, nampaknya wilayah-wilayah yang dekat dengan kawasan karst
ini telah memiliki banyak kisah di masa lampau dari lapisan demi lapisan zaman
baik di era Mataram, era kolonialisme Belanda dan Jepang.
Kiranya
ulasan dan interpretasi terhadap sejumlah temuan benda-benda tertentu dan
artefak berupa makam kuno dapat menjadi pendahuluan dan pembuka bagi
riset-riset sejarah lokal selanjutnya.
Semoga ini menjadi awal yang baik untuk mengungkap sejarah di wilayah gombong selatan khususnya Argopeni,srati dan sekitarnya.
BalasHapusHarus dapat disampaikan kepada masyarakat agar menjadi kekayaan budaya dan sejarah di Kebumen
BalasHapusBetul banget
BalasHapusBanyak cerita yang jadi hikayat tanpa kejelasan asal usulnya. Terima kasih sudah berbagi informasi.
BalasHapus