Ketika kita melihat keberadaan sejumlah artefak peninggalan penting era Hindu Budha di beberapa kota di Jawa Tengah (Magelang dst) dan Jawa Timur (Mojokerto dsj), mungkin kita bertanya, "mengapa di kota kita (Kebumen) tidak ditemui sejumlah artefak era Hindu-Budha yang bercorak monumental?" Setidaknya ada beberapa jawaban dapat diajukan. Pertama, di era Hindu-Budha, wilayah yang sekarang disebut Kebumen memang bukan pusat kekuasaan kerajaan kuno bercorak Hindu Budha melainkan desa-desa yang dihuni oleh sekelompok masyarakat yang bekerja sebagai petani, peladang, nelayan.
Corak sistem kepercayaan mereka adalah Hindu mazhab siwa. Ini dibuktikan dari sebaran artefak keagamaan bercorak Hindu mazhab siwa di kawasan utara dan pesisir selatan Kebumen berupa lingga dan yoni meskipun posisinya terpisah, arca ganesha terbuat dari batu tufaan, yoni kecil tanpa lingga (Teguh Hindarto, Chusni Ansori, Sistem Sosial dan Keagamaan Masyarakat Megalitik dan Hindu Kuno di Lima Wilyah Kecamatan di Kabupaten Kebumen, Jurnal Analisa Sosiologi, April 2020, 9 (1): 224-266.
Kedua, minimnya temuan artefak bukan hanya mengindikasikan kehidupan sosial ekonomi yang tidak bersifat kompleks namun bisa jadi karena sejumlah temuan artefak telah dijual dan dibawa ke Belanda sejak era kolonial atau pasca kolonial alias era kemerdekaan.
Indikasi ini ditemukan saat membaca sejumlah laporan berita arkeologi di wilayah Karesidenan Bagelen (1830-1900) yang kemudian berganti menjadi Karesidenan Kedu (1901-1952) di mana Kabupaten Kebumen berada di dalamnya.
Dalam sebuah artikel yang ditulis oleh F.C.Wilsen dengan judul, Fragment uit eene Beschrijving van de Residentie Bagelen (Fragment Deskripsi dari Karesidenan Bagelen) yang dimuat dalam Tijdschrift Voor Indische Taal, Land en Volkenkunde (Jurnal Bahasa, Negara, Etnologi Hindia) dan diterbitkan oleh Bataviasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen 1862 kita mendapatkan sejumlah keterangan penting mengenai sebaran artefak Hindu yang sudah terdata dengan baik namun yang di masa kini telah raib keberadaannya. Entahkah diangkut ke Belanda atau dijual masyarakat pasca kemerdekaan.
Pada halaman 457 kita mendapatkan sejumlah catatan penting perihal beberapa penampakkan artefak Hindu kuno dalam bentuk arca dan lingga di wilayah Kebumen, Karanganyar, Ambal. Berikut beberapa keberadaan artefak tersebut.
Penemuan Patung Durga dan Siwa di Desa Dekoe (Dukuh?)
Verder staan, in de dessa Dekoe ten Zuiden van Oenarang, (Premboen) onder een oude Djamboe- boom, wederom eene Doerga en een Siwa (zie pl. I. b. en c )
"Selanjutnya di desa Dekoe sebelah selatan Oenarang (Premboen) di bawah pohon Djamboe tua, terdapat lagi Durga dan Siwa (lih. gbr I. b. dan c)"
Kata "Oenarang" maksudnya Ungaran. Meskipun sekarang masuk wilayah Kutowinangun namun pada tahun 1862 masuk wilayah distrik (kawedanan) Prembun. Desa Dekoe mungkin maksudnya desa Dukuh, meskipun saat ini nama desa ini sudah tidak ada.
Penemuan Patung Raksasa di Kemijen
Vlak daarbij in eene bergsawa vindt men een reksoso. In de dessa Kamidjen bij Keboemen te KoetoRedjo en Poerworedjo kan men nog vele beelden zien meestal godheden uit de familie van Siwa voorstellende
"Disana di sawah pegunungan ditemukan reksoso. Di desa Kamidjen dekat Keboemen di KoetoRedjo dan Poerworedjo masih dapat dilihat banyak patung, sebagian besar menggambarkan dewa-dewa dari keluarga Siwa"
Penemuan Lingga di desa Ayah
Naast de dessa Aijah vertoont men een linggam en hoog in het Tjondong gebergte staat insgelijks in het midden van eene menigte onbehouwene steenen een diergelijk gedenkstuk (zie pl. I. d.)
"Di sebelah desa Aijah (Ayah) ada linggam yang dipajang dan tinggi di pegunungan Tjondong ada tugu peringatan serupa di tengah kerumunan batu kasar"
Karena Gunung Condong di masa kini keberadaannya di Desa Condongsampur kecamatan Sruweng, maka laporan di atas dapat diartikan dua penemuan artefak di lokasi yang berbeda yaitu di Ayah dan di Gunung Condong di Kecamatan Sruweng di masa kini.
Penemuan Patung Budha
"Saya menemukannya di punggung gunung yang curam, dekat Ngalian (Kali - Wiro), sangat tersembunyi di antara glagah yang tinggi. Gambar tersebut akan menunjukkan apakah saya telah melakukan kesalahan (lihat jamak I. e.). Cara duduknya, posisi tangan, telinga yang panjang, tidak adanya perhiasan, serta sudah terlihat, rambut pendek di kepala, dengan simpul di atasnya, membuat saya mengenali seorang Buddha di lokasi ini" (1862:458)
Menarik membaca keterangan di atas di mana ada patung Budha yang tidak sempurna. Padahal dari semua penampakkan dan penemuan artefak kuno selama ini di wilayah Kebumen selalu bercorak Hindu mazhab Siwa. Belum ada penjelasan apa dan bagaimana dengan keberadaan artefak Budha tersebut.
Perhatikan kata "patung durga dan siwa", "patung raksasa" dsj. Kemana benda-benda yang dimaksud dalam laporan yang diterbitkan Bataviasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen di masa kini? Jika artefak keagamaan di atas masih tersimpan di pekarangan warga tentu bisa menjadi obyek studi yang menarik bukan? Benda-benda keagamaan ini bisa saja telah dibawa ke Belanda jika bukan karena dijual oleh masyarakat pasca kemerdekaan. Hilangnya artefak ini turut menghilangkan pemetaan pola sebaran penganut Hindu kuno pra Islam di wilayah Kebumen.
Indikasi beberapa artefak ini dijual ke Belanda di era Hindia Belanda dapat dibaca pada laporan sbb:
"Selama penyelidikan lebih lanjut, anak-anak menemukan sebuah pot tanah liat berisi banyak hiasan emas yang telah dilelang lebih dari ƒ 500. Di Ambal, sebelah selatan jalan pos utama, terdapat sebidang tanah subur (di paa 31), yang di atasnya ditemukan potongan-potongan emas hasil pekerjaan selama bertahun-tahun selama pembajakan. Ada desas-desus di kalangan masyarakat bahwa dulunya ada sebuah kota di sana yang dihuni oleh orang Buddha" (1862:458)
Dari laporan ini kembali sebutan Budha muncul. Namun ini belum bisa membuktikan perihal penganut agama Budha di kawasan pesisir ini.
Keberadaan patung durga dan siwa di Ambal pernah dilaporkan dalam buku karya R.D.M. Verbeek yang berjudul, Oudheden van Java : Lijst der Voornaamste Overblijfselen uit den Hindoetijd op Java, met eene Oudheidkundige Kaart (1891). Laporan bernomor 198 di Ambal diberi keterangan, "Hier waren vroeger 2 beelden, een çiwa en een doerga" (Dahulu ada 2 patung di sini, yaitu Siwa dan Durga)" (Teguh Hindarto, R.D.M. Verbeek [1845-1926] dan Jejak Riset Geologi di Kebumen - historyandlegacy-kebumen.blogspot.com).
Selain patung juga ditemukan sejumlah emas di desa Sadang sebagaimana laporan surat kabar Bataviasch Nieuwsblad (8 Desember 1890) sbb:
"Telah diusulkan kepada pemerintah agar sejumlah f 196 disediakan untuk pembelian benda-benda emas yang ditemukan di Sadang (Bagelen) yang dimaksudkan untuk Rijksmuseum van Oudheden di Leiden" (Teguh Hindarto, Jejak Kisah Geologis dan Arkeologis di Sadang, historyandlegacy-kebumen.blogspot.com). Belum lagi sejumlah penemuan cincin emas di beberapa desa di Kebumen, Gombong, Karanganyar (Teguh Hindarto, Beberapa Penemuan Artefak Arkeologis (Cincin Emas) di Kebumen Era Kolonial, historyandlegacy-kebumen.blogspot.com)
Dari penjelasan dan pelacakan dokumen di atas kita sedikit memperoleh gambaran bahwa di wilayah yang sekarang disebut Kebumen, pernah dihuni oleh kelompok masyarakat dan peradaban era Hindu kuno pra Islam yang ditandai dengan sejumlah penemuan artefak keagamaan. Namun dikarenakan jumlahnya tidak terlalu signifikan dan tidak bersifat monumental maka kita dapat menduga bahwa masyarakat Hindu yang tinggal di wilayah ini lebih sederhana tinimbang di pusat-pusat peradaban yang melahirkan candi Borobudur ataupun candi Prambanan.
Sementara dalam konteks yang lebih luas yaitu sebagai bagian dari wilayah karesidenan Bagelen, penemuan artefak Hindu ini menegaskan apa yang disampaikan F.C. Wilsen dalam laporannya yang sudah diulas di atas.
"Ini bukanlah tempat yang tepat
untuk mempelajari subjek ini lebih dalam. Cukuplah kita mampu menunjukkan bahwa
Bagelen, mulai dari Aijah hingga pegunungan antara tempat itu dan Djokjokarta,
dari pantai laut di Ambal hingga Dieng, termasuk dalam lingkaran peradaban
Brahmana-Siwaite,yang meskipun sudah lama menghilang bersama para pemimpinnya,
namun tetap ada di mana-mana, baik dalam gambaran, kenangan sejarah dan
kepercayaan populer maupun dalam moral dan adat istiadat anak cucu" (1862:459)
Bagaimana nasib sisa-sisa artefak keagamaan Hindu kuno yang masih tersimpan di pekarangan warga di masa kini? Kiranya keberadaannya lestari dan tidak divandalisasi atas dasar apapun. Akankah dikemudian hari bermunculan kembali sejumlah artefak yang menyingkapkan masa lalu Kebumen khususnya di masa peradaban Hindu-Budha? Sejarah akan menemukan kita sebagaimana kita menemukan sejarah
Daftar Pustaka
(1) F.C. Wilsen, Fragment uit eene Beschrijving van de Residentie Bagelen dalam Tijdschrift Voor Indische Taal, Land en Volkekunde, Lange en Co, ‘S Hage M.Nijhoff 1862
(2) Teguh Hindarto, Chusni Ansori, Sistem Sosial dan Keagamaan Masyarakat Megalitik dan Hindu Kuno di Lima Wilyah Kecamatan di Kabupaten Kebumen, Jurnal Analisa Sosiologi, April 2020, 9 (1): 224-266
https://www.academia.edu/42966779/SISTEM_SOSIAL_DAN_KEAGAMAAN_MEGALITIK_DAN_HINDU_KUNO_DI_LIMA_WILAYAH_KECAMATAN_DI_KABUPATEN_KEBUMEN)
(3) Teguh Hindarto, Jejak Kisah Geologis dan Arkeologis di Sadang
https://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2021/12/melacak-sadang.html?m=1
(4) Teguh Hindarto, Beberapa Penemuan Artefak Arkeologis (Cincin Emas) di Kebumen Era Kolonial
https://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2020/10/beberapa-penemuan-artefak-arkeologis.html?m=1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar