“Yah
kan sudah gadis, Pak. Malu kalau mukaku ditaruh di etiket”
“Gadis?”
“Iya…”
Dasiyah merunduk seperti kembang sepatu. Malu-malu.
“Kamu…memang
sudah jadi gadis. Gadis kretekku”
“Apa
Pak?”
“Bapak
tahu, nama dagangnya Kretek Gadis!”
(Gadis Kretek, 2019:149)
Demikianlah
petikan percakapan Idroes Moeria, pemilik rokok kretek “Merdeka” dan “Kretek
Gadis” dalam novel karya Ratih Kumala dengan judul Gadis Kretek. Ya, semua berkisah tentang seorang yang dipanggil
Jeng Yah alias Dasiyah, yang kelak menggantikan sang ayah sebagai pemilik
pabrik Kretek Gadis.
Membaca
novel ini kita akan dibawa bolak-balik antara masa lalu dan masa kini melalui plot
alur flashback/regresif (mundur) dan alur progresif (maju) dari tokoh-tokoh
utama kisah ini mulai dari Idroes Moeria dan Roemaisa yang memiliki anak gadis
dengan lidah bak Roro Mendut sehingga melambungkan rokok kretek Gadis dan jalinan
cinta rumit Dasiyah dengan Soeraja yang kelak justru menikahi Purwanti anak
pesaing Idroes yaitu Soedjagad yang juga pernah mencintai Roemaisa. Nampaknya Anda
harus meletakkan selembar kertas dan memasang nama-nama di atas agar memudahkan
jalur hubungan dan kisah cinta pelik di antara nama-nama tersebut. Macam
membaca cersil Kho Ping Ho yang berjilid-jilid mengisahkan orang tua turun ke
anak hingga cucu.
Alur
cerita dalam novel tidak mudah ditebak bahkan hingga lembar-lembar halaman akhir sebagaimana pencarian tiga anak
Soedjagad (Tegar, Karim, Lebas) di masa kini yang berusaha menemukan masa lalu
kisah cinta pelik sang ayah sebelum menikah.
Sebagaimana
novel berjudul Rumah Kertas (Carlos
Maria Dominguez) hendak mengisahkan dalam banyak cara agar pembacanya
menggemari buku, demikian buku ini seolah mengingatkan pembacanya perihal
kejayaan rokok kretek di sebuah kota bernama M (Muntilan?). Ada gema Pramoedya
Anantoer Toer penulis novel Bumi Manusia
dalam novel Gadis Kretek. Jika Pram
menggunakan istilah “Bupati B” (Blora?) dalam novel yang terbit tahun 1980 maka
Ratih menggunakan istilah “Kota M” (Muntilan?).
Kita
akan diajak melintasi lorong waktu yang melatari cerita tentang cinta dan
kretek, mulai dari akhir masa pemerintahan kolonial Belanda, pendudukan Jepang,
awal kemerdekaan bahkan bulan berdarah yang melibatkan Partai Komunis Indonesia
yang membuyarkan keberlanjutan kisah cinta Jeng Yah dengan Soeraja.
Saya
telah membeli dan membaca novel ini pada tahun 2019 namun seiring kisahnya
ditayangkan di Netflix, gairah untuk membaca kembali muncul. Tidak bosan dan
selalu penasaran.
Meski Gadis Kretek versi novel dan film berbeda plot ceritanya, keduanya bagus dibaca dan ditonton sich. Tayangan dalam film tetap dapat mempertahankan kelogisan plotnya meskipun berbeda dengan kisah asli dalam novel. Hanya terasa lebih seru dan pelik konflik dan tragedi dalam novelnya.
Beberapa perbedaan plot novel dan film al., (1) Orang yang melamar Dasiyah bernama Sentot namun dalam film Seno Aji dan sudah langsung berprofesi sebagai tentara (2) Nama rokok kretek Soeraja ketika berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia bernama Kretek Arit Merah. Dalam film hanya disebut Kretek Merah. (3) Jika dalam novel aslinya, Soeraja dalam situasi komanya mengigau dan menyebut nama Jeng Yah (Dasiyah) karena merasa bersalah telah menggunakan resep rahasia saus Kretek Gadis ke dalam kretek Jagad Raja namun dalam film rasa bersalah Soeraja karena telah menjadi kaki tangan Soedjagad saingan Idroes Moeria (ayah Dasiyah) untuk memasukkan Idroes Moeria dalam daftar yang tersangkut Partai Komunis Indonesia, sehingga menyebabkan penangkapan dan kematian Idroes Moeria (4) Arum Cengkeh, putri Dasiyah yang dalam novel muncul sejenak diakhir novel, dalam film justru muncul sejak awal bersama Lebas (anak termuda Soeraja) dan terlibat hingga akhir dalam kisah pencarian figur Jeng Yah - yang tidak lain ibundanya sendiri - melalui penelusuran surat-surat yang dituliskan Soeraja dan Dasiyah muda.
Penulis membayangkan dalam film (sutradara Kamila Andini dan Ifa Isfansyah) bahwa sosok Dasiyah akan menggenakan kebaya dan jarik namun ternyata sosok Dasiyah dalam keseharian seperti mengenakan pakaian Cheongsam yang ditandai dengan kerah tinggi, sekalipun tetap enak dilihat dalam setiap adegan.
Bagi yang telah membaca novelnya, mungkin harus sedikit mengernyitkan alis mata ketika menonton dan menikmati setiap adegan dalam film karena sejumlah plot cerita dan nama-nama mengalami perubahan, meski tetap masih terasa logis hingga akhir tayangan.
Dibalik
asap rokok kretek yang menguar dan semakin samar keberadaannya di masa kini,
bukan hanya menyimpan sejarah tindakan ekonomi kelas sosial pada suatu masa, namun ada saja kisah asmara anak-anak manusia yang dapat dibekukan dalam sebuah buku, entah fakta atau fiksi.
Yang belum membaca novelnya, bacalah keseruan plot ceritanya. Mana yang lebih asik antara novel dan filmnya, itu terserah Anda menilainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar