Historical Study Trips (HST) kembali mengadakan kegiatan study trip atau wisata edukasi sejarah dengan berjalan-jalan menuju obyek yang dipilih. Kegiatan study trip sesi ke-8 kali ini mengambil tema, Jejak Jepang di Bukit Gajah, Argopeni yang terletak di Kecamatan Ayah.
Kegiatan
diawali dengan presentasi materi pengantar yang dilaksanakan di Rumah Martha
Tilaar. Setelah pemaaran dan tanya jawab dilanjutkan peserta study trip diajak menuju lokasi Bukit
Gajah, Argopeni, Ayah dengan menggunakan kendaraan pengantar. Peserta nampak
antusias mengikuti kegiatan dan mendengarkan penjelasan terkait fungsi pillbox Jepang serta memasuki bekas
bangunan benteng pengawasan tersebut.
Pillbox Jepang
Selama
Jepang berkuasa di Kebumen tidak diperoleh banyak kisah dan informasi penting terkait
siapa pemegang otoritas yang berkuasa ketika memasuki kota dan mengambil alih
kekuasaan? Bagaimana kehidupan sosial ekonomi ketika Jepang berkuasa? Buku Gelegar di Bagelen: Perjuangan Resimen XX
Kedu Selatan 1945-1949 dan Pengabdian Lanjutannya (2003) yang memotret
peristiwa Agresi 1 (1947) dan Agresi 2 (1949) di wilayah Kebumen hanya mengulas
secara fragmentaris hari-hari terakhir kekuasaan Jepang di Kebumen. Tidak ada
peninggalan penting baik berupa bangunan dan dokumen Jepang di Kebumen.
Namun
demikian keberadaan sejumlah artefak yang berada di Bukit Gajah, Argopeni,
Kebumen berupa pillbox menjadi sebuah
jembatan menghubungkan masa lalu yang mengalami kekosongan narasi historis. Pillbox adalah bangunan bentukan Jepang
yang terbuat dari beton dengan ukuran sempit berfungsi sebagai pertahanan dan
pengawasan. Biasanya diletakkan di perbukitan atau dekat pantai.
Menurut
informasi, keberadaan artefak yang dinamai oleh masyarakat sebagai “benteng
pendem” atau “benteng Jepang” ada 9 buah namun yang teridentifikasi baru 3 buah
termasuk yang dipergunakan untuk kegiatan peninjauan study trips sesi ke-8 oleh Historical
Study Trips. Sejauh mana kebenarannya memang masih harus dibuktikan lebih
lanjut melalui riset khususnya dari kalangan arkeolog.
Sayang
sekali keberadaan pillbox yang ada di
Argopeni, Ayah kurang mendapatkan perhatian secara maksimal. Dengan adanya UU
Desa no 6 Tahun 2014 dimana desa mendapatkan alokasi dana desa, maka keberadaan
pillbox Jepang dapat diubah menjadi
bernilai jual ini melalui pembuatan lokasi wisata edukatif dengan mensinergikan
pemangku kepentingan terkait (Desa, Pokdarwis, Perhutani, pegiat wisata)
sehingga menjadi obyek kunjungan masyarakat. Kawasan dirapihkan dan bangunan
dalam pillbox diberi pencahayaan
maksimal.
Kegiatan
study trip diakhiri dengan makan
siang di tempat wisata Wanalela Forest di
mana peserta dapat menikmati makan siang dengan melemparkan pandangan ke
berbagai lokasi indah berupa perbukitan dan hamparan pasir pantai di bawahnya.
Ngajah, Ayah di Era Pajang, Mataram
serta Kasunanan
Selain
keberadaan pillbox Jepang yang
menunjukkan jejak Jepang di kawasan Ayah dalam rangkai pengintaia musuh, tentu
menarik mengulik sejumlah kisah lain dibalik nama Kecamatan Ayah.
Dalam
Babad Pasir, yang mengisahkan perihal Arya Kamandaka yang mencintai anak Bupati
Pasir Luhur (Adipati Kandadaha) yaitu Cipta Rasa, nama Ayah disebutkan dengan
ejaan Ngayah bersama Ngambal,Petanahan,
Bocor, Pituruh, Selamanik dll (Sugeng Prijadi, Babad Pasir: Banyumas dan Sunda, 2002:190).
Sugeng
Prijadi dalam bukunya, Sejarah Kota
Purwakerta (Purwokerto) (1832-2018) mengatakan bahwa, “Babad pasir
merupakan karya sejarah tradisional yang berkembang di Daerah Aliran Sungai
(DAS) Logawa-Mengaji-Serayu. Teks tersebut hadir sebagai salah satu bentuk
keberadaan masa lampau Banyumas, terutama dari masa jauh sebelum Majapahit.
Kerajaan Pasirluhur menurut teks dinyatakan sebagai kerajaan Galuh yang merdeka
karena tidak berada di bawah kekuasaan kerajaan lain, baik Sunda (Pajajaran)
maupun Majapahit” (2019:27).
Versi Babad Pasir saat ini ada 21 versi yang terdiri dari versi gancaran dan tembang (Sugeng Prijadi, 2019:27) dan Teks Babad Pasir yang tertua ditulis oleh J. Knebel dengan judul Babad Pasir, volgens een Banjoemaasch Handschrift yang diterbitkan oleh Verhandelingen van het Koninlijk Bataviaasch Genootschap der Kunsten en Wetenschappen (1900, 1931, 1961).Jika kisah dalam Babad Pasir historis, maka keberadaan Ngayah atau Ayah sudah dikenal di era Pasirluhur sebelum Majapahit.
Pasca
Perang Jawa, pemerintahan Belanda menyusun ulang pemerintahan dan birokrasi
pemerintahan di wilayah Kasultanan (Yogyakarta) dan Kasunanan (Surakarta). Wilayah
Banyumas, Purbalingga, Ngayah, Remo Jatinegara masuk wilayah Kasunanan
(Surakarta) – (J. Hageeman, Geschiedenis
van de Oorlog op Java van 1825 tot 1830, Batavia, 1856:423).
Terbuka
kemungkinan dahulu Ngayah menjadi
bagian atau berbatasan dengan Kadipaten Dayeuhluhur
(sekarang menjadi Cilacap). Dalam buku berjudul, Essay on the Geography, Mineralogy and Botany of the Western Portion of
the Territory of the Native Princes of Java yang ditulis Thomas Horsfield
(1826) nama Bocor, Petanahan, Dayeuhluhur memang disebut. Sayangnya Ngayah tidak disebutkan.
Data
penting lainnya yang tidak kalah menarik adalah berasal dari sebuah atikel
berjudul, Matjan Gadoengan yang ditulis
oleh G. P. Rouffaer dan diterbitkan bersama beberapa artikel lainnya dalam Bijdragen
tot de Taal, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indië (1899, volgno 2). Dalam
tulisan ini disinggung keberadaan dua tempat pembuangan di era Pajang dan
Mataram serta Kasunanan yaitu Hutan Lodaya di Kediri dan Ngayah di Bagelen bagian
Barat Daya berbatasan dengan Banyumas (1899:71)
Rouffaer
mengutip kajian O.J. Oudemans dalam bukunya
Javaansche Wetten en Andere Bepalingen, Geldig in Jogjakarta (1897:68—69) yang
mengutipp bunyi Angger Ageng Pasa 22 dari Kasunanan yang berbunyi, ladjëng kaboetjal dateng Lodaja, oetawi
dateng Ngajah. Hanya saja O.J. Oudemans menerjemahkannya dalam bahasa
Belanda "en verbanning daarna naar
Lodaja (een streek destijds nog geheel oerwoud vol tijgers en booze geesten in
het Blitarsche) of naar onbekende streken - dan kemudian diasingkan ke
Lodaja (suatu wilayah yang pada waktu itu masih penuh hutan harimau dan roh
jahat di Blitar) atau ke daerah yang tidak dikenal). Entahkan arti kata Ajah (Ayah) artinya sebuah “wilayah
tidak dikenal” (onbekende streken)
atau bukan, masih menjadi perdebatan pada masa itu. Namun data ini memberikan
informasi penting kepada kita mengenai kedudukan Ayah di era Pajang, Mataram
serta Kasunanan.
Lingga dan Yoni
N.J.
Krom, dalam bukunya Inleiding Tot De Hindoe-Javaansche Kunst, Leiden: s'Gravenhage -
Martinus Nijhoff (1920) sudah menyinggung keberadaan peradaban agama Hindu
melalui penemuan lingga dan yoni dengan menyebutkan een steenen badkuip of sarkofaag, en een lingga, bij Ayah, geheel in
het Westenn- bak mandi batu atau sarkofagus, dan lingga, di
Ayah, seluruhnya di Barat - Teguh
Hindarto dan Chusni Ansori, Sistem Sosial
dan Keagamaan Masyarakat Megalitik dan Hindu Kuno di Lima Wilayah Kecamatan di
Kabupaten Kebumen, Jurnal Analisa
Sosiologi, 2020,:236). Masyarakat setempat biasanya memberikan nama lokal
dengan sebutan Watu Kalbut. Namun
sejatinya ini adalah artefak peninggalan Hindu.
Bukit Poleng
Jika
kita telah melakukan pelacakan singkat mengenai keberadaan Ngayah di masa
lampau, demikian pula Bukit Poleng yang saat ini berada di Kecamatan Ayah telah
disinggung dalam sebuah roman karya Michael Theophile Hubert perelaer
(1831-1901) yang berjudul Baboe Dalima or
The Opium Fiend (1886).
Dalam
novelnya ini perelaer bukan hanya mengisahkan opium pachter atau bandar
opium/candu di Semarang namun menyebutkan beberapa nama wilayah di sekitar
karesidenn bagelen termasuk sebuah wilayah di district (kawedanan) Banyumudal regentschap
(Kabupaten) Karanganyar dengan nama “poleng”.
Dengan
kekayaan narasi historis dan peninggalan sejumlah artefak, baik era Hindu dan
kolonial khususnya Jepang, kiranya pemangku kepentingan terkait beserta pengiat
wisata lokal dapat bersinergi untuk menjadikan kawasan Ayah sebagai kawasan
wisata edukasi sejarah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar