Sempat diguyur hujan semalam
hingga pagi di musim kemarau Agustus, akhirnya cuaca kembali cerah dan bisa
memenuhi undangan Kepala Desa Brecong dan menikmati sebuah perform kesenian
lokal di pesisir pantai.
Yang tidak biasa pada pementasan
kesenian lokal kali ini adalah penampilan kesenian lokal luar daerah yang sudah
dikenal masyarakat Indonesia dan menjadi ikon kabupaten yaitu Reog Ponorogo.
Cahaya matahari yang semakin
menaik tinggi dan menimbulkan bayang-bayang di bawah pepohonan mengiringi
kepulan asap kemenyan yang menguarkan aroma khas dari sebuah ukupan sesaji
dengan dikelilingi sejumlah orang dengan berkostum khas.
Beberapa orang mulai memainkan
cemeti dengan mengeluarkan suara-suara letupan keras di udara sementara
sejumlah orang berkostum dan bertopeng mulai meliuk-liuk membuka tarian.
Tokoh utama mulai muncul yaitu
sosok orang memanggul topeng singa dengan ekor burung merak yang besar.
Meliuk-liuk kesana-kemari dalam kondisi trance. Nampak bapak Kepala Desa yaitu
Bapak Triyono diminta untuk ke tengah lapangan dan mulai naik ke kepala singa
berhias ekor burung merak
Episode berikutnya adalah penampilan sejumlah penari kuda kepang yang terdiri dari sejumlah remaja putri serta sejumlah atraksi pemuda bertopeng seperti Bujangganong memperlihatkan kepiawaian menari dan salto sembari melalukan sejumlah gerakan yang menimbulkan gelak tawa ketika berinteraksi dengan beberapa penonton. Semakin sore, semakin banyak penonton memenuhi dan memadati lapangan berpasir di pesisir Pantai Brecong dengan antusiasme yang tinggi.
Figur-figur dalam kesenian Reog
adalah Singa Barong (topeng singa dengan berhias ekor burung merak), jaran
kepang sebagai lambang pasukan Raja Klana Sewandana serta sejumlah warok
memainkan pecut melambangkan senjata pusaka Klana Sewandana yaitu Pecut
Samandiman.
Latar belakang Reog Ponorogo
dilatarbelakangi oleh kisah perjalanan Raja Kelana saat akan meminang Dewi
Songgo Langit sebagai calon permaisurinya, calon permaisuri yang bernama Dewi
Sanggalangit adalah putri Kerajaan Kediri. Tokoh antitesis dari Raja Klana
Sewandana adalah Raja Singabarong (untuk narasi mengenai tarian ini dapat
menyimak tayangan animasi di tautan berikut beserta varian kisahnya yaitu: https://youtu.be/no1xmv-9bIU dan https://youtu.be/zrw3t7KmPzw)
Keberadaan Reog Ponorogo dan
kesenian jaran kepang sudah terlacak sejak era kolonial menjadi iringan
kegiatan pada waktu tertentu. Sejumlah peneliti Belanda telah melakukan
pencatatan dan inventarisasi ekspresi seni budaya lokal Jawa.
Sebuah foto (tidak ada keterangan
tahun namun beberapa sumber lain menuliskan tahun 1920) yang memperlihatkan
penampakan reog Ponorogo di era kolonial sebelum mengalami fase modifikasi dan
institusionalisasi di masa kini. Judul fotonya Koeda Kepang Ponorogo. Babak 1:
Bantarangan, Bojowono, 4 Penunggang Kuda dan Boedjangganong. Perhatikan
penggunaan kostum dan tokoh yang mengalami perkembangan di masa kini meski
esensinya tidak jauh berubah.
Sebuah foto dengan keterangan
koeda kepang dalam sebuah buku karya M. Kunst dengan judul, Een en Ander Over
de Javaansche Wajang (Beberapa Penjelasan Mengenai Wayang Jawa) diterbitkan di
Amsterdam 1940. Di dalam buku ini dijelaskan berbagai ekspresi kesenian wayang
dengan segala variannya. Ada wayang kulit, wayang wong, wayang topeng, wayang
karucil/kalitik.
Termasuk menyebutkan jenis
kesenian di Ponorogo dengan sebutan topeng Barongan untuk menamai jenis mahluk
menyeramkan dari hutan yang diwujudkan dalam topeng dengan mulut yang bisa
membuka menutup yang dimainkan dua orang pria.
Selain itu diiringi dengan jaran
kepang yaitu kuda terbuat dari bambu dengan ditunggangi kesatria dan para
punggawanya yaitu Pentul (bertopeng putih) dan Tembem (bertopeng hitam).
Menariknya, yang disebut reog dalam buku ini adalah para penunggang kuda tersebut
sementara di saat ini istilah Reog Ponorogo sudah menggambarkan keseluruhan
wujud kesenian meliputi, barongan, para warok, jathilan, Bujangganong dll.
Terlepas berbagai varian narasi latar belakang Reog Ponorogo, ada dua catatan menarik dari
pementasan Reog Ponorogo di kawasan pesisir Pantai Brecong ini. Pertama, media
interaksi dan pertukaran budaya dalam wujud materialnya berupa sebuah kesenian.
Melalui pementasan ini masyarakat Kebumen dapat melihat kekayaan budaya wilayah
lain di luar wilayahnya sehingga memperkaya pengetahuan dan wawasan mengenai
jenis-jenis kesenian lokal kabupaten lain.
Kedua, media saling bertukar
pemahaman simbol-simbol kebudayaan. Ada kejadian menarik saat sedang
konsentrasi menyimak penampilan para penari tiba-tiba salah satu penari
mendekati kami yang sedang duduk di tempat yang dikhususkan. Entahkah penari
tersebut dalam keadaan trance atau tidak, dia mulai menyalami kami satu persatu
Tidak berapa lama salah satu
orang laki-laki mendekati kami dan menjelaskan bahwa jika kami disalami kiranya
dapat membalas dengan memberikan "saweran" yaitu sumbangan uang
seikhlasnya kepada sang penari. Kamu yang ada di ruang penonton saling bertatap
muka dan tertawa serta mulai paham bahasa simbolik yang disampaikan penari
tersebut. Dari kejadian ini kita bisa mendapatkan pelajaran bahwa masing-masing
budaya sebuah daerah memiliki bahasa-bahasa simboliknya sendiri. Seandainya
kami telah diberitahu dari awal tentu kami tidak akan membiarkan si penari
kembali dengan tangan kosong bukan?
Jika pementasan kesenian lain
kebudayaan dan luar daerah dapat memperkaya khasanah pengetahuan mengenai
kesenian dan simbol-simbol kebudayaan lain, adalah baik membuat agenda-agenda
pertukaran kebudayaan ini bukan hanya sebatas mengundang kesenian daerah lain
pada kesempatan berikutnya namun para seniman Kebumen pun dapat berlaga menawarkan atau memenuhi undangan
dari daerah di luar Kebumen untuk memperkenalkan kesenian khasnya mulai dari
Cepetan, Ebleg, dll
Tidak ada komentar:
Posting Komentar