Rabu, 09 Desember 2020

MENGENANG PERAN ARUNG BINANG VII DALAM PEMBANGUNAN KOTA KEBUMEN

Tanggal 1 Januari 1936 adalah awal baru bagi Kebumen karena menerima status sebagai groote regentschap Keboemen (kabupaten Kebumen yang diperluas). Kabupaten Karanganyar resmi dihapuskan (opheffing) dan digabungkan (samenvoeging) menjadi sebuah wilayah Kecamatan di Kabupaten Kebumen. Efisiensi akibat krisis ekonomi dunia atau malaise menjadi alasan penghapusan kabupaten Karanganyar dan penggabungan ke Kebumen oleh pemerintah Hindia Belanda (Teguh Hindarto, Chusni Ansori, Sociological Perspective on the Elimination of Karanganyar Regency as an Impact of the 1930s Economic Depression (Jurnal Simulacra, Vol 3, Issue 1, June 2020).

Di era Arung Binang VII (Maliki Soerdjomihardjo) yang bertugas sejak 4 Maret 1909 hingga Desember 1935  terjadi dinamika ekonomi dan modernisasi yang terjadi di Kebumen. Terlepas yang diuntungkan lebih kepada masyarakat kolonial namun bukan berarti tidak ada keuntungan sama sekali bagi masyarakat pribumi.

Sebelum dirinya menjabat menjadi bupati, 50% desa tidak mudah ditempuh dengan kereta kuda namun saat dirinya menjabat bupati, dari 208 desa, sebanyak 192 desa telah dapat ditempuh dengan mudah. Inilah salah satu kontribusi Arung Binang VII dalam pembangunan kota Kebumen di era kolonial (Teguh Hindarto, Bukan Kota Tanpa Masa Lalu: Dinamika Sosial Ekonomi Kebumen Era Arung Binang VII, Yogyakarta: Deepublish 2020).

Gedung tua bekas pabrik Insulinde dan Mexolie (sekarang hotel berbintang) rumah sakit Zending (sekarang eks RSUD Kebumen) pasar Tumenggungan, kantor pegadaian, dimulainya jaringan lampu listrik, penambahan jalan-jalan desa, berdirinya hotel Juliana di sudut alun-alun dll. adalah salah satu jejak artefak yang menjadi saksi bisu dinamika ekonomi dan modernisasi kota di tengah kekuasaan kolonial.

Arung Binang VII (Maliki Soerdjomihardjo) mengundurkan diri dan digantikan adiknya Sosrohadiwidjojo sebagai Arung Binang VIII. Arung Binang VIII menjabat dari tahun 1936-1942 saat pemerintahan Jepang mulai mengambil alih kekuasaan kolonial Belanda.

Jika di masa kini kita merawat gedung lama dan merestorasinya bukanlah berarti melestarikan kekuasaan kolonial melainkan merawat kesadaran historis peran pemimpin dan kota dalam arus sejarah masanya. Jangan melupakan dan menganggap mereka tidak pernah ada.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar