Beberapa bulan sebelumnya, organisasi Poetri Mardi Oetomo (P. M.O) terlibat dalam sebuah kegiatan Pekan Raya di Kebumen. Sebuah laporan berita dengan judul, De Fancy-Fair (Pekan Raya) yang dimuat oleh Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch-Indie (06 April 1938) dibuka dengan kalimat, Zaterdagavond had in de kaboepaten de fancy-fair plaats ten behoeve van het Blindenwerk in Nederlandsch Indie (Pada hari Sabtu malam, sebuah pekan raya mewah diselenggarakan di kabupaten untuk karya para pekerja tunanetra di Hindia Belanda)
Keuntungan dari hasil pameran tersebut telah diplot 50% untuk pekerja tunanetra (blindenwerk) dan 50% untuk organisasi wanita (damesvereeniving) bernama Perempuan Mardi Oetomo sebagaimana dilaporkan Algemeen Handelsblad (25 Maret 1938)
Data yang minim ini bisa menjadi tantangan bagi mahasiswa sejarah atau aktivis gerakan perempuan menggali informasi untuk menginformasikan pada publik bahwa ada peran perempuan di Kebumen era kolonial dalam bentuk kegiatan organisasi dan tidak sekedar melakukan pekerjaan domestik (mengurus rumah dsj) belaka
Hari ini diperingati sebagai Hari Ibu. Secara historis sebenarnya lebih tepat dirayakan sebagai Hari Kebangkitan Perempuan (Ibu). Mengapa? Secara historis, penetapan tanggal peringatan hari Ibu itu dilakukan pada Kongres Perempuan Indonesia ketiga pada 23–28 Juli 1938 di Bandung. Kongres tersebut tidak bisa dilepaskan dari semangat kebangsaan yang baru saja digelorakan pada Kongres Pemuda II pada 28 Oktober 1928 di Batavia.
Peringatan hari Ibu 22 Desember kemudian ditetapkan perayaannya secara nasional melalui Dekrit Presiden Sukarno No. 316 tahun 1959. Jadi, Hari Ibu bukan sekedar perayaan peran domestik seorang ibu melainkan peran dan kontribusi perempuan (termasuk ibu) dalam memperjuangkan ide kesetaraan di masa lalu dan dalam segala bidang pekerjaan di masa kini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar