Kita tentu pernah mendengar nama Biksu I Tsing atau Yi Jing yang menulis buku Nanhai Ji Gui Neifa Zhuan pada sekitar tahun 671-695 Ms (diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Takakusu Junjiro dan diterbitkan oleh Oxford pada tahun 1896 dengan judul A Record of the Buddhist Religion as Practised in India and the Malay Archipelago. Melalui laporannya kita mendapatkan sejumlah keterangan berharga perihal keadaan masyarakat yang berada di bawa kekuasaan kerajaan Sriwijaya (Palembang) dan Ho Ling (Jawa).
Atau kita tentu pernah mendengar buku berjudul Yingyai Shenglan yang ditulis Ma Huan di Abad 15 Ms dalam perjalanannya mendampingi Laksamana Ceng Ho. Melalui tulisannya kita mendapati keterangan di wilayah Majapahit telah dihuni oleh tiga golongan masyarakat baik itu Jawa, Arab dan Tionghoa serta deskripsi kehidupan sosial budaya serta agama.
Demikian pula saat kita membaca buku karya Frans Junchun dalam bahasa Belanda dengan judul, Java: Zijne Gedaante, Zijn Platentooi en Mendige Bouw (1853) dan karya berbahasa Inggris berjudul, The Island of Java karya John Joseph Stockdale serta The History of Java karya monumental karya Thomas Stamford Raffles (1817) melalui karya-karya ini kita bisa melihat masyarakat Jawa di masa kolonial baik dalam hal pakaian, makanan, cara makan, istilah-istilah keseharian, produk kultural baik senjata maupun adat istiadat sampai hal-hal tetek bengek yang tidak pernah kita fikirkan untuk dituliskan.
Demikianlah pada suatu masa ketika sebuah wilayah bernama Ambal yang pada suatu masa masih berstatus regentschap (kabupaten) bersama Kebumen dan Karanganyar sebelum status kabupatennya dihapuskan tahun 1872.
Dalam sebuah artikel berjudul, Fragmenten Eener Reis Over Java: Reis door de Binnenlanden van Midden-Java karya Dr. P. Bleeker yang dimuat Tijdschrift voor Nederland's Indiƫ jrg 12, 1850 no 8 diperoleh sebuah keterangan menarik mengenai luas wilayah Kabupaten Ambal sbb:
Kabupaten Karang-anjar tidak berbatasan langsung dengan sisi barat Banjoemas, terhitung di sepanjang jalan raya, tetapi masih dipisahkan oleh sebidang sempit Distrik Karang-bolong, yang termasuk dalam Kabupaten Ambal dan, hampir seluruhnya terdiri dari daerah pegunungan, dihuni dengan hanya 5.000 jiwa. Karang-bolong sejauh ini merupakan distrik yang paling sedikit penduduknya di Kabupaten Ambal...
Nama Ambal juga sudah disebut-sebut dalam sebuah roman karya M.T.H. Perelaer. Beliau adalah pengarang novel terkenal pada zamannya yaitu salah satunya Baboe Dalima or The Opium Fiend (1886). Dalam novelnya ini Perelaer bukan hanya mengisahkan mengenai opium pachter atau bandar opium di Semarang namun menyebutkan beberapa nama wilayah di sekitar Karesidenan bagelen termasuk sebuah wilayah di Distrik Banyumudal dengan nama Poleng. Bukit Poleng sekarang masuk wilayah Kecamatan Ayah.
Dalam salah satu novel lainnya yang berjudul, Twaalf Honderd Palen Door Midden Java (1868), Perealer membuat latar kisah dengan menyebutkan beberapa lokasi demografis seperti di Ambal, Kebumen, Gombong, Karanganyat. Bahkan novelnya ini dimuat secara berseri (feuilleton)dalam sebuah surat kabar bernama Algemeen Handelsblad Voor Nederlandsch Indie sepanjang tahun 1934. Berikut kutipannya:
Ambal ligt vlak aan den Indischen Oceaan. Het donderend geluid van diens magtigen golfslag op het strand doet zich , vooral bij het opkomen van den vloed, palen ver landwaarts in hooren. Zulk een zeegezigt als te Ambal is, geloof ik , aan weinigen gegund. Wie de reis naar Oost-Indie gemaakt lieeft, wie de Noordzee bij Scheveningen of Ostende gezien heeft, heeft zeer zeker fraaije zeegezigten gezien ; maar het haalt niets bij de trotsche branding te Ambal
Ambal berada tepat di Samudra Hindia. Suara gemuruh ombaknya yang dahsyat di pantai terdengar, terutama dengan naiknya air pasang, hingga ke kutub jauh di pedalaman. Pemandangan laut seperti di Ambal, saya yakin, diberikan kepada sedikit orang. Siapapun yang melakukan perjalanan ke Hindia Timur, yang telah melihat Laut Utara di Scheveningen atau Ostende, pasti telah melihat pemandangan laut yang indah; tapi tidak sebanding dengan kebanggaan berselancar di Ambal
Demikianlah penggalan-penggalan kisah yang tersemat dalam lembaran sejarah yang belum dituliskan mengenai Ambal dalam bahasa Indonesia. Informasi historis di atas merupakan bagian dari pemaparan materi yang disampaikan sebagai introduksi atau pengantar melakukan study trip oleh Historical Study Trips dengan mengambil tema Jejak dan Kisah Sejarah di Ambal Kebumen yang dilaksanakan pada 22 November 2020.
Dihadiri sejumlah peserta dari Kebumen, Purworejo, Prembun kegiatan berjalan dengan lancar dan dilakukan dengan antusias. Seperti pada event event sebelumnya, kegiatan dimulai dengan presentasi materi sebagai pengantar untuk mendatangi sejumlah lokasi yang terpilih untuk dikunjungi.
Pada kesempatan kali ini, lokasi yang dipilih adalah Masjid Kauman Ambal, rumah kediaman eks bupati Ambal Poerbonegoro, rumah kediaman eks wedana Ambal, bekas poliklinik di era kolonial serta berakhir di makam Poerbonegoro.
Melalui kegiatan ini, Historical Study Trips mencoba menawarkan sebuah sinergi antara pembelajaran (study) mengai kota-kota di masa kolonial agar masyarakat mendapatkan informasi historis melalui riset arsip colonial yang telah dilakukan dan perjalanan wisata (trip). Diharapkan dengan kegiatan ini masyarakat memiliki kasadaran sejarah perkembangan kotanya melalui kegiatan yang menyenangkan yaitu berjalan kaki atau menggunakan kendaraan tertentu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar