Sejak lama jika melewati kawasan Jl. Ranggawarsita, penulis tertarik dengan sebuah bangunan tua yang hanya terlihat atap dan dindingnya yang tinggi dengan corak bangunan kolonial serta warna kusam namun tertutupi oleh sejumlah warung di tepian jalan
Sayangnya tidak banyak yang tahu apa dan bagaimana perihal riwayat bangunan tua yang saat ini telah dirobohkan sebagian bangunannya dan menyisakkan tembok serta penyangga atap. Di belakang bangunan tersebut tegak berdiri gedung STIE Putra Bangsa.
Melalui pelacakkan informasi dari satu orang ke orang lain yang cukup memakan waktu, akhirnya penulis mendapatkan satu nama yang mengerucut sebagai nara sumber yang cukup mengetahui keberadaan gedung tua tersebut yaitu Bapak Pudjo yang tinggal di seberang bangunan tua tersebut yang masuk kawasan Dukuh Sudagaran, Desa Kedawung Lor, Kecamatan Pejagoan.
Bapak Pudjo memulai latar belakang kehidupannya dan keluarganya yang semula berasal dari kawasan sekitar Pasar Kota Gede, Yogyakarta. Ayahnya bernama Mangunwiharjo. Dikarenakan adanya sebuah peristiwa pagebluk (wabah bencana yang mematikkan) yang menimpa warga sekitar Kota Gede, dimana pagi mengalami sakit sore meninggal, sehingga meninggalkan rasa takut pada warga masyarakat, maka beberapa orang warga melakukan hijrah pada tahun 1914 ke arah Kebumen. Salah satu dari rombongan itu bernama Mangunwihardjo yang merupakan ayah dari Bapak Pudjo dan juga Bapak Atmo serta Bapak Purnomo yang merupakan kakek Bapak Pudjo. Bapak Pudjo sendiri dilahirkan di Kebumen pada Tahun 1942.
Tidak diketahui bagaimana prosesnya, bangunan dengan corak arsitektur kolonial tersebut kemudian ditinggali oleh Bapak Purnomo dan Bapak Atmo yang saat itu kemudian menjadikannya usaha batik, baik batik tulis maupun batik cap. Menurut pengakuan dan pengetahuan Bapak Pudjo, ayahnya yang bernama Bapak Mangunwihardjo ngode atau bekerja kepada Bapak Purnowo sebagai pengecap batik.
Masa itu, usaha batik sangat maju dan di sekitaran rumah tua dengan model bangunan kolonial tersebut banyak orang berjualan kelontong sehingga terkenal dengan kawasan Sudagaran yang luasnya saat ini dari kawasan bangunan tua tersebut hingga Desa Kedawung. Kejayaan batik di kawasan sudagaran mampu bertahan hingga tahun 1960-an.
Menariknya, kawasan Sudagaran pada zamannya dihuni oleh para pelaku ekonomi pribumi Jawa. Tidak dapat dipastikan apakah pengusaha etnis Tionghoa lainnya telah ada di wilayah Kebumen atau kawasan Sudagaran. Tidak banyak informasi yang didapatkan perihal interaksi dan perjumpaan etnis pengusaha Jawa dan Tionghoa di kawasan tersebut.
Tidak banyak cerita yang dapat digali dari kesaksian Bapak Pudjo selain beberapa peristiwa di tahun 1947 yaitu saat Clash Pertama atau Agresi Militer Belanda dimana terjadi konfrontasi tentara Belanda dengan tentara Republik dimana kawasan tersebut. Banyak tentara Republik yang gugur di kawasan Jalan Ronggowarsito menurut pengakuan Bapak Pudjo. Pohon-pohon asem banyak ditumbangkan untuk menghadang laju pasukan militer Belanda.
Percakapan singkat tersebut belum mampu menguak asal usul kepemilikkan bangunan tua dengan arsitektur Eropa yang pada masa jayanya dijadikan pusat penjualan batik. Apakah memang bangunan itu dibangun sendiri oleh Bapak Purnomo dengan mengikuti model arsitektur Eropa atau dibeli dari seorang Belanda untuk kemudian dijadikan tempat usaha, Bapak Pudjo tidak mampu memberikan jawaban. Jika bangunan itu milik kolonial, bagaimana proses perpindahan tangan bangunan tersebut hingga dapat dimiliki oleh Bapak Purnomo yang menjadi saudagar terkemuka pada masanya? Inipun masih harus digali kembali informasinya sehingga mendaoatkan gambaran yang lebih utuh dan lengkap. Satu hal yang tidak pernah luput dari karakter bangunan kuno yaitu kisah-kisah gaib yang melingkupinya, mulai dari sejumlah cerita dan kisah sejumlah orang yang pernah menyewa di rumah tersebut diperlakukan tidak baik oleh sejumlah roh-roh hingga membuat tidak nyaman dan tidak kerasan.
Sekalipun bangunan tersebut tinggal menyisakan tembok dan penopang atap, namun tanah dan bangunan tersebut masih menjadi milik keluarga Purnomo yang salah satu ahli warisnya masih tinggal di Yogyakarta dan pernah menjadi dosen di Universitas Gadjah mada yaitu Bapak Pratikto.
Kiranya potongan kisah yang masih meninggalkan sejumlah kekosongan ini dapat dilengkapi dikemudian hari untuk mengetahui dinamika kehidupan ekonomi masyarakat Kebumen di era kolonial.
Menelusuri masa lampau seperti mengumpulkan bejana yang pecah berserakan. Membutuhkan waktu mengumpulkan pecahannya yang berserakkan sehingga memperoleh gambaran yang utuh. Tidak perlu menutupi lubang yang tersisa dengan kisah-kisah yang kita ciptakan untuk menarik perhatian dan meninggikan masa silam secara berlebihan. Kiranya waktu yang akan menyingkapkan dirinya sehingga dikemudian hari kita memperoleh informasi yang lebih mendalam .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar