Senin, 22 Juli 2019

DANGSAK BERGERAK: Sebuah Apresiasi dan Catatan Dari Pementasan “Repertoar Dangsak”


Aroma kemenyan memenuhi kawasan Pendopo Kabupaten Kebumen bersama sejumlah obor kecil melenggak-lenggok – di antara taburan lampu listrik di taman - disapu angin malam bulan Juli yang cukup menggigit tulang. Sejumlah orang mulai memadati ruangan pendopo – tua, muda, kanak-kanak. Semua penampakan ini hanyalah sebuah dekorasi eksternal untuk memberi sebuah warna terhadap sebuah acara yang kesekian kalinya digelar oleh Sekolah Rakyat Melu Bae (SRMB).


Malam itu, sebuah kegiatan yang dinamai “Repertoar Dangsak: Pentas Seni Tradisi Cepetan, Musik Puisi dan Violin Orchestra” (20 Juli 2019) digelar dengan cukup meriah. Dengan mengambil posisi duduk tidak seperti orang kebanyakan yang berada di lantai (lesehan), penulis mengambil posisi duduk di sebuah kursi empuk yang entah disediakan untuk siapa (karena tidak ada protokoler yang mengarahkan). Pengambilan posisi duduk di atas kursi demi ingin menikmati secara lebih khusyuk dan mendapatkan pengamatan utuh sebuah pementasan.


Menarik mendengar dua istilah yang mencerminkan perbedaan budaya dan bahasa yaitu “repertoar” dan “dangsak”. Istilah “repertoar” adalah istilah dalam bahasa Inggris yang diadaptasi dari bahasa Prancis sejak 1847. Mirriam Webster Dictionary mendefiinisikannya sebagai, “a list or supply of dramas, operas, pieces, or parts that a company or person is prepared to perform” (daftar atau persediaan drama, opera, karya, atau bagian yang dipersiapkan oleh perusahaan atau orang untuk ditampilkan - https://www.merriam-webster.com/dictionary/repertoire). 

Adapun Cambridge Dictionary mendefinisikan "repertoar" sbb, “all the music, plays, dances, operas, etc., that a person or a group can perform, or that exist in a particular type of activity related to the arts” (semua musik, drama, tarian, opera, dll. yang dapat dilakukan oleh seseorang atau kelompok, atau yang ada dalam jenis aktivitas tertentu yang terkait dengan seni - https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/repertoire). Dari dua definisi di atas, jika Mirriam Webster Dictionary lebih memusatkan definisi “repertoir” pada semua aktifitas pementasan drama sementara Cambridge Dictionary memperluasnya ke wilayah musik dan tarian.

Sementara istilah “dangsak” adalah sebuah istilah seni tari tradisional yang muncul  di kawasan utara Kebumen, tepatnya Desa Watulawang, Kecamatan Pejagoan. Istilah lain untuk “dangsak” adalah “cepetan” yang biasanya dipergunakan di Dusun Karangjoho, Kecamatan Karanggayam.

Kesenian “cepetan” tidak bisa dilepaskan dari nama pencetus dan peristiwa sebagai konteks sosial. Kesenian tradisional Cepetan muncul di Kecamatan Karanggayam pada tahun 1943,. Pelopor terciptanya kesenian ini yaitu Almarhum Bapak Lamijan. Cepetan adalah kesenian yang menceritakan tentang sebuah babad atau peristiwa pembukaan lahan pemukiman di daerah Karanggayam.

Pada suatu masa, masyarakat di kawasan utara Kebumen yaitu Karanggayam mengalami paceklik luar biasa dan berakibat pada kelaparan dan munculnya wabah penyakit. Seorang sesepuh (tokoh masyarakat) di daerah Karangjoho memerintahkan warga untuk bersama-sama membuka hutan untuk lahan pemukiman dan pertanian baru. 

Hutan itu dinamakan Curug Bandung, sebuah hutan yang dikenal sangat angker dan disitulah para petani membuka lahan pertanian dan menyebar benih. Ketika lahan Curug Bandung dibuka, semua penghuni hutan, baik binatang dan mahluk halus (Cepet, banaspati, raksasa, kethek dan lain-lain) merasa terganggu dengan pembukaan lahan tersebut, dan semuanya harus mereka hadapi. 

Dengan perjuangan yang keras dan laku prihatin yang sungguh dari warga, sesepuh dan pemimpin pada saat itu, gangguan dan ketidaknyamanan yang disebabkan oleh penghuni hutan Curug Bandung pun bisa diatasi. Tempat baru tersebut kemudian menjadi sebuah pemukiman yang makmur dan tentram. Berkat Rahmat dari Tuhan, pertanian warga berkembang baik dengan hasil yang memuaskan (Adaptasi penuturan Bapak Jasirun, Kepala Desa Karanggayam - https://www.youtube.com/watch?v=G7up4lAwLAs).


Kekeringan dan kelaparan yang terjadi di wilayah Karanggayam pada tahun 1943 memang tidak terlacak dalam reportase koran berbahasa Belanda. Namun dalam koran Java-Bode bertanggal 15 Mei 1952 berjudul, Hongersnood in Kebumen (Kelaparan di Kebumen) dilaporkan perihal bencana kelaparan yang melanda kawasan utara Kebumen yaitu Sadang dan Alian dimana, “Er zouden 200 personen lijden aan sterke ondervoeding, waarvan 86 personen in barakken zün opgenomen en 8 zelfs in” (200 orang dikatakan menderita kekurangan gizi yang kuat, 86 di antaranya dirawat di barak dan 8 di rumah sakit).

Melihat setting sosial dan genealogi (asal-usul) tarian “dangsak”/”cepetan”, lebih pada sebuah tarian tradisional yang berkembang di wilayah utara Kebumen (bukit dan hutan) sebagai bentuk ucapakan syukur masyarakat telah berhasil melewati masa kritis saat pembukaan lahan dan berhasil membangun desa yang baru di kawasan yang baru.


Kembali ke pementasan bernama “Repertoar Dangsak” yang diselenggarakan RSMB. Pementasan malam itu cukup memukau khususnya dengan kemunculan para penari “dangsak”/”cepetan” – dengan kostum khas berwarna hitam dan topeng menyeramkan serta rambut ijuk tebal - yang dengan lincah dan penuh penghayatan dalam menunjukkan performa tarian. Pementasan malam itu berhasil mengubah ekspresi kesederhanaan tarian menjadi lebih kompleks dan sarat sentuhan artistik dalam koreografinya. Jika dalam sejumlah pementasan di kawasan utara ada yang didominasi dengan alat musik kentongan dan gerakkan yang terbatas maka pementasan “Repertoar Dangsak” berhasil memukau dengan alunan musik dan koreografi tarian serta keterlibatan banyak penari lainnya.


Hampir penulis kecewa ketika rombongan penari “dangsak”/”cepetan” muncul di awal pementasan tidak melebihi 15 menit kemudian diisi oleh sejumlah adegan pembacaan puisi, musikalisasi puisi dan permainan biola anak-anak yang cukup memukau. Namun ketika pertengahan waktu, rombongan penari “dangsak”/”cepetan” muncul kembali, dengan iringan yang lebih ramai, seseorang yang membawa bokor dupa dan doa (Pekik Siswonirmolo), iringan pembawa hasil bumi, kemeriahan campur baur para penari mengekspresikkan kegembiraan sebuah masyarakat agraris mengingatkan penulis perihal sebuah frasa lokal untuk menggambarkan wilayah Banyumas, “adhoh ratu cedhak watu” yang artinya “jauh dari raja dekat dengan batu” (B. Herusatoto, Banyumas: Sejarah, Budaya, Bahasa dan Watak, 2008:128).


Ya, sebuah ekspresi tarian yang merepresentasikan masyarakat agraris dalam menyikapi kekuatan alam dan jauh dari pusat kekuasaan Mataram ataupun Yogyakarta. Dibalik tampilan seram topeng “dangsak”/”cepetan”, struktur gerak dan kostum bukan hanya merepresentasikan tarian yang berbeda dengan karakteristik tarian Kraton namun juga merepresentasikan setting sosial yang melatarbelakangi tarian ini.

Ada sejumlah catatan yang perlu penulis sampaikan dibalik euforia pementasan yang telah sukses ditampilkan di hadapan publik. Pertama, Narasi dan Plot. Sebuah “repertoar” bukan sekedar iringan musik tetapi sebuah pementasan lakon, drama yang memiliki  narasi dan plot. Narasi dan plot inilah yang harus diinterpretasi atau setidaknya dapat disampaikan pada penonton.


Merujuk pada Aston dan Savona dalam bukunya, “Theatre As Sign-System: A Semiotics of Text and Performance”, ada tiga unsur dalam pementasan lakon/drama yang dapat dianalisis yaitu: konstruksi plot, karakter dan dialog (DR. Nur Sahid, M.Hum, Semiotika Untuk Teater, Tari, Wayang Purwa dan Film, 2016:30). Sayang sekali diaolog yang terjadi di dalam pementasan kurang dapat dinikmati isinya dan alurnya. Entah karena persoalan sound system atau intonansi suara yang tidak maksimal. Demikian pula narasi dan plot dalam tarian tidak tersampaikan pada publik. Lamat-lamat ada nama “Lamijan” disebut oleh pembawa acara, itupun tidak terlalu jelas membicarakan makna tarian yang disampaikan. Dalam penggalan ucapan yang dilakukan oleh seseorang yang membawa bokor dan menaikkan doa (Pekik Siswonirmolo), terdengar dua kalimat yang merepresentasikan dua pertemuan wujud keagamaan yaitu Hindu dan Islam manakala terucap nama "Batara Brahma"(jika penulis tidak keliru mendengar) dan "La Ilah ha Illah".

Kedua, Tata Tertib Pengunjung. Pembawa acara di awal pementasan lebih memfokuskan pada sambutan dan penyapaan terhadap pihak-pihak yang hadir atau berkontribusi terhadap pementasan ini namun tidak membacakan tata tertib dalam menonton pementasan, termasuk tata tertib melakukan pemotretan, hilir mudik di antara penonton dll.

Ketiga, Tempat duduk penonton. Penulis berulang kali menggelengkan kepala saat adegan tarian yang memukau tiba-tiba terhalang oleh para penonton yang lalu lalang dan berdiri memunggungi tanpa ewuh pekewuh sambil mengarahkan kameranya memotret dan merekam adegan. Dikarenakan pendopo kabupaten bukanlah tempat terbuka dan ruangan tidak bersifat amphytheater, sebaiknya jika diadakan pementasan sejenis dipergunakan kursi daripada duduk lesehan karena penonton yang berdiri dan memotret dipastikan tidak bisa menyimak dan menonton pementasan dengan nyaman, sehingga mereka mencari posisi terbaik untuk mengabadikan melalui kamera handphone.

Kiranya catatan pendek dan kritik di atas tidak mengurangi gairah dan komitmen Sekolah Rakyat Melu Bae (SRMB) dalam menyajikan kesenian rakyat agar lebih dapat dinikmati dan diapresiasi oleh para penonton dan penikmat seni dan budaya tradisional di Kebumen khusus dan luar Kebumen pada umumnya. Biarlah "Dangsak"/"Cepetan" bergerak semakin memformulasi dalam membentuk identitas kebudayaan tradisional Kebumen.

Selamat dan sukses untuk “Repertoar Dangsak” 2019!



Tidak ada komentar:

Posting Komentar