Keberadaan Jembatan Tembana dan
Sungai Luk Ulo tidak dapat dipisahkan. Jembatan Tembana berdiri tegak di atas
aliran sungai Luk Ulo. Keduanya (jembatan dan sungai) memiliki kisahnya
sendiri, khususnya dari aspek historis dan geologis. Bahkan aspek mistis yang
biasa melekati kehidupan keseharian masyarakat kita.
Sungai Luk Ula: Sungai Yang
Memotong Struktur
Dalam artikel sebelumnya dengan
judul, Sungai Luk Ulo: Perspektif
Historis, Geologis, Ekonomi Serta Sosial Budaya (http://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2015/06/sungai-luk-ulo-perspektif-historis_17.html) saya mengutip pendapat Ir. Chusni
Ansori, peneliti dari LIPI Karangsambung perihal Sungai Luk Ulo dijelaskan
sebagai sungai antecedent, yaitu
jenis sungai yang memotong struktur geologi utama daerah tersebut, dan termasuk
stadium dewasa. Tingkat kedewasaan sungai ini terlihat dari pola meander serta
endapan undak sungai yang terbentuk pada posisi jauh dari sungai utama.
Dari hasil wawancara dengan Ir.
Chusni Ansori 2015 silam, dijelaskan bahwa struktur yang ditabrak oleh aliran
sungai Luk Ulo saja sudah berusia sekitar 15 juta tahun yang dalam skala waktu
geologi disebut Miosen pada periode Neogen . Menurut Wikipedia, Miosen adalah suatu kala pada skala
waktu geologi yang berlangsung antara 23,03 hingga 5,332 juta tahun yang lalu.
Jika kita mengamati dari dekat
saat aliran air sungai saat musim kemarau khususnya di bawah kaki Jembatan
Tembana, maka sejumlah formasi batuan menampakkan ke permukaan. Menurut para
geolog, jenis batuan tersebut merupakan perselingan batu pasir tufaan dan
gamping tufaan. Sejumlah efek lekukan dikarenakan proses erosi berabad lamanya
(merujuk pada analisis geologis perihal keberadaan sungai yang telah menabrak
struktur).
Itulah sebabnya jika kita
membaandingkan dengan foto Sungai Luk Ula dengan penampakkan Jembatan Tembana
di era kolonial, sekitar tahun 1915-an aliran sungai dan fundasi sungai nampak
masih rata.
Sungai Luk Ula: Dari Aktivitas
Sosial Budaya Hingga Penampakkan Buaya
Dari hasil percakapan dengan
sejumlah penduduk yang tinggal tidak jauh dari bantaran sungai Luk Ula,
diperoleh keterangan bahwa pada bulan-bulan tertentu - khususnya Suro – kawasan
ini menjadi tempat melarung “gaman” atau senjata khususnya senjata pusaka
berupa keris. Namun yang melakukan ritual ini biasanya masyarakat jauh baik
dari kawasan Kebumen maupun luar Kebumen.
Selain aktivitas ritual
tradisional, aliran sungai Luk Ulo dimanfaatkan oleh warga sekitar menjadi
kawasan memancing dan keperluan mencuci pakaian (sekalipun air sungai tidak
bening dan bersih). Namun sejak peristiwa kemunculan buaya pada tahun 2017,
sejumlah aktivitas warga menjadi tergangu dan mengalami keresahan.
Berita
kemunculan buaya masih simpang siur. Ada yang melaporkan tiga buaya dengan
warna berbeda. Ada yang menduga kemunculan buaya dikarenakan pemulihan
ekosistem di kawasan lain (munculnya hutan mangrove) sehingga memancing mereka
melewati kawasan sungai. Namun tidak kurang yang meyakini bahwa buaya-buaya
tersebut adalah jadi-jadian.
Jembatan
Tembana: Struktur Bangunan Belanda
Ketika Indonesia masih dinamai
Hindia Belanda, sejak tahun 1870-an, atau setelah kebijakan Tanam kaksa,
Belanda sudah membangun jaringan rel kereta api dengan panjang sekitar 6.500 km
di Jawa dan Sumatera. Tujuan utama Belanda membangun jaringan kereta api adalah
untuk efisiensi angkutan barang, khususnya hasil perkebunan seperti gula, teh,
kopi, tembakau, dan sebagainya.
Sebelum dibukanya jalur kereta
api pembangunan jalan menjadi prioritas sebagai jalur penghubung. Kita masih
ingat dengan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels bukan? Ya, nama ini
dihubungkan dengan pembangunan De Grote
Postweg (Jalan Raya Pos) yang panjangnya kurang lebih 1000 km yang
terbentang sepanjang utara Pulau Jawa, dari Anyer sampai Panarukan dan
diselesaikan dalam tempo satu tahun (1808).
Pada tiap-tiap 4,5 kilometer
didirikan pos sebagai tempat perhentian dan penghubung pengiriman surat-surat.
Tujuan pembangunan De Grote Postweg
adalah memperlancar komunikasi antar daerah yang dikuasai Daendels di sepanjang
Pulau Jawa dan sebagai benteng pertahanan di Pantai Utara Pulau Jawa.
Demikian pula dengan
pembangunan jembatan (baik jembatan jalan raya maupun jembatan kereta api) selain untuk menghubungkan satu wilayah
dengan wilayah lain yang terpisah oleh sungai, juga dapat mengefektifkan serta
mengefisiensi waktu perjalanan.
Jembatan kereta api di Sokka
pun sudah terdeteksi dalam sebuah laporan koran Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië
bertanggal
06 februari 1912. Dalam berita pendek tersebut dikatakan, “Djocdja, 6 Febr. 1912. Spoorweg-ongeluk. De sneltrein van Maos naar
Djoodja heeft nabij de brug te Sokka, bij Keboemen, een inlander overreden”
(Djokdja, 6 Februari 1912. Kecelakaan kereta api. Kereta ekspres dari Maos ke
Djoodja telah menabrak penduduk asli di dekat jembatan di Sokka, dekat
Keboemen).
Demikian pula dengan Jembatan
Tembana yang berdiri tegak di atas aliran sungai Luk Ulo. Dibangun dengan
bentuk struktur melengkung (arch) dengan tujuan mendistribusikan beban saat
dilalui kendaraan berat. Di bawah lengkungan Jembatan Tembana terlihat 4 digit
angka namun hilang satu yaitu “1-15”. Nampaknya, tarikh pembuatan jembatan
adalah 1915.
Ada data yang menarik sekaligus
samar dari sebuah koran berbahasa Belanda yaitu De Preanger-Bode bertanggal 10 Mei 1915. Judul artikel tersebut
adalah, Een door de bevolking gebouwde brug in het Gombongsche (Sebuah
Jembatan Yang Dibangun Oleh Penduduk di Gombong). Sekalipun judul artikel
mengenai pembangunan jembatan di Gombong dan foto brug (jembatan) namun keterangan pendek terhadap judul dan foto
jembatan justru lebih menggambarkan wilayah di sekitar Jembatan Tembana dan
Sungai Luk Ulo yaitu Pejagoan, Klirong, Karanganyar.
Kutipan selengkapnya sbb:
De
brug valt niet direct op als bouwwerk; de bizonderheid is de wijze, waarop zij
tot stand is gekomen.
De
bevolking van een veertigtal desa's in de Zuid van het regentschap Karanganjar,
waar de communicatie reeds een twintigtal jaren was bemoeilijkt door het
Sentool-kanaal, had reeds jaren achtereen om 'n behoorlijke brug gevraagd.
De
krachtige aanbeveilngen van den assistent wedono Klirong, wedono Pedjagóan,
den controleur en regent van Karanganjar, de assistent resident van Keboemen.
enz., hielpen niet. De bevolking ging intusschen voort, haar producten over een
omweg van ongeveer 7 paal te vervoeren.
De
producten werden daardoor duurder, en de door haar benoodigde koopwaren
eveneens. De pikol-vrachten werden door degenen, die moed genoeg hadden,
gebracht langs den bestaanden weg tot aan het kanaal om de voortzetting van
dien weg te bereiken over een. . . . laten wij het maar brug' noemen
Deze
brug bestond uit 4 gloegoe's als pijlers en 3 pinang stammen als brug gedek.
Menig vrachtje kwam dan ook niet verder dan halverwege die brug, daar de man
die 't droeg liever zijn vrachtje liet vallen, dan zelf den acht meter hoogen
val mede te maken naar 't frissche water er onder. Dat verdroot de bevolking.
Nauwelijks
was dan ook de irrigatie-opzichter eenigszins ingeburgerd of hem werd om raad
gevraagd. Bekend met de teleurstellingen door officieele aanvragen, stelde hij
voor, dat de bevolking zelf een brug zou bouwen en betalen. En 't gevolg was
dat de begroote ƒ 5000 dadelijk gegarandeerd werden.
Binnen
enkele maanden was de brug gereed en de vreugde en belangstelling bleken 't
best, toen op den dag der opening duizenden zich ter plaatse verzamelden en een
groote slametan bijwoonden.
Terjemahan bebas:
Struktur
jembatan yang tidak terlihat, menjadi ciri khas pembuatannya
Empat
puluh desa di selatan Kabupaten Karanganyar – yang mengalami gangguan komunikasi
oleh Terusan Sentul selama sekiyar dua puluh tahun – telah meminta pembuatan
jembatan baru selama bertahun-tahun
Rekomendasi
kuat dari asisten wedono Klirong, wedono Pedjagóan, bupati dan inspektur
Karanganjar, asisten penduduk Keboemen. dll, tidak membantu. Sementara itu,
masyarakat terus menerus mengangkut produk-produknya melalui jalan memutar sekitar 7 paal.
Akibatnya,
produk dan barang dagangan yang mereka butuhkan perlukan menjadi mahal. Banyak
Pikol (beban) dibawa oleh mereka yang cukup berani melewati sepanjang jalan
yang ada ke kanal untuk mencapai kelanjutan jalan itu di atas. . . . sebut saja
jembatan.
Jembatan
ini terdiri dari 4 gloegoes sebagai pilar dan 3 batang pinang sebagai penutup
jembatan. Banyak muatan tidak mencapai setengah dari jembatan itu, karena orang
yang membawanya lebih suka menurunkan muatannya daripada mengalami penurunan
setinggi delapan meter ke air tawar di bawahnya. Itu merusak masyarakat.
Pengawas
irigasi sulit diintegrasikan atau dimintai saran. Akrab dengan kekecewaan yang
disebabkan oleh sarana resmi, dia menyarankan bahwa penduduk harus membangun
dan membiayai jembatan. Dan hasilnya adalah 5000 florin yang dianggarkan
dijamin segera.
Dalam
beberapa bulan jembatan sudah siap dan kegembiraan serta minat terbukti menjadi
yang terbaik ketika, pada hari pembukaan, ribuan orang berkumpul di lokasi dan
menghadiri sebuah slametan besar.
Penulis tidak berani memastikan
apakah judul artikel dan foto tersebut merujuk pada pembangunan Jembatan
Tembana. Namun melihat tahun pembuatan (1915) dan nama beberapa wilayah yang
disebut (Klirong, Pejagoan, Karanganyar) patut diduga merujuk pada Jembatan
Tembana. Namun tidak disebutkan nama “Tembana” dan “Luk Ula”, sehingga foto dan
judul artikel membuat informasi menjadi samar.
Jembatan
Tembana: Perbaikan Paska Agresi Militer 2
Dalam sebuah berita singkat di
koran De locomotief : Samarangsch
handels- en advertentie-blad, bertanggal 15 Desember 1951 dengan judul "Brugherstel" (Perbaikan) disebutkan
perihal pembangunan perbaikan jembatan yang mengalami kerusakkan akibat agresi
militer kedua. Perbaikan sepanjang 34 meter tersebut melibatkan 600 pekerja
dengan biaya Rp. 500.000,- dan ditargetkan pertengahan Januari 1952 harus sudah
selesai (waarmee men in medio Januari 1952 gereed hoopt te komen). Berita yang sama persis diwartakan oleh De Preanger pada Tanggal 19 Desember 1951 dengan judul, "Brug Tembono bijna gereerd' (Jembatan Tembana Segera Diperbaiki).
Kemudian dalam laporan koran De Nieuwsgier bertanggal 29 Mei 1952
dijelaskan perihal peresmian kembali jembatan Tembana. Berita dibuka dengan
pernyataan, “Zondag vond de officiele
opening plaats van de brug over de Kali Lukulo in desa Tembono. de brug, die
gelegen is tussen Kebuen en Karanganjar, is een van the grootste in Kedu” (Pada
hari Minggu pembukaan resmi jembatan di atas Kali Lukulo di desa Tembono
berlangsung. Jembatan yang terletak di antara Kebumen dan Karanganjar, adalah
salah satu yang terbesar di Kedu). Bedanya, jika laporan koran 1951
menyebutkan anggaran pembiayaan Rp. 500.000,- maka di koran 1952 disebutkan
anggaran Rp. 550.000,-
Tidak lama kemudian, laporan koran De Preanger Bode dengan judul "brug Opengesteld" (Jembatan Dibuka Kembali) bertanggal 24 September 1954 melaorkan perihal perbaikkan dan pembukaan kembali Jembatan Kedungbener, sebelah Barat Jembatan Tembana. Semua pembangunan dikerjakan oleh pemerintahan Republik dengan biaya Rp. 392.000 dan dibuka pada Maret 1953.
Tembana
dan Luk Ula Masa Kini
Sangat disayangkan, di tepian
sungai baik di sebelah utara maupun selatan sejumlah sampah penduduk menumpuk
mengotori pemandangan tebing dan tepian sungai yang banyak dirindangi sejumlah
pohon bambu.
Akan lebih baik jika tebing dan
tepian aliran Sungai Luk Ulo di bawah Jembatan Tembana bebas dan bersih dari
sampah yang dibuang masyarakat dan dirapihkan serta dialihfungsikan menjadi
sebuah kawasan atau spot berfoto dalam jarak aman. Sejumlah semak dan tumbuhan
yang tidak teratur dipangkas dan dirapihkan.
Kiranya pemerintahan kota dan
pemerintahan desa serta pegiat sosial budaya setempat dapat bekerjasama mengubah
landskap di bawah Jembatan Tembana dan Sungai Luk Ula menjadi lebih asri, aman
dan indah.
Ulasan detail dan ilmiah dari jaman batu sampai jaman kini.
BalasHapusTerima kasih ulasannya kang...