Sumber: europana.eu
Sejak tahun 2011, penduduk
Indonesia mengalami perubahan dalam penggunaan kartu tanda pengenal identitas
personal (disebut Kartu Tanda Penduduk, KTP), dari kartu konvensional menjadi
kartu elektronik (disebut Elektronik Kartu Tanda Penduduk, e-KTP). Perubahan
ini berkaitan dengan dampak digitalisasi disegala bidang yang menjadi
karakteristik Revolusi Industri 4.0 yaitu perkembangan dan trend di dunia
industri yang menggabungkan teknologi otomatisasi dengan teknologi cyber.
Sekalipun didapati sejumlah
persoalan hukum terkait penyediaan dan pengelolaan e-KTP, namun keberadaannya
dan fungsinya dapat lebih mempermudah pengumpulan dokumen-dokumen penting milik
warga negara untuk berbagai kepentingan, seperti pembuatan rekening bank,
pembuatan paspor, pengobatan di rumah sakit, dll. Sistem identitas digital berupa
e-KTP dapat pula meminimalisir kemungkinan terjadinya kehilangan atau pemalsuan
data milik warga negara berkat sistem autentikasi dan keamanan yang lebih
canggih. Termasuk mendeteksi dan melacak keberadaab pelaku terorisme.
Kartu tanda pengenal identitas
penduduk Indonesia telah dimulai sejak era kolonial yaitu Belanda maupun
Jepang. Ada berbagai keunikkan di setiap periode pemerintahan kolonial dalam
menetapkan kartu tanda pengenal.
KTP
Era Kolonial Belanda
Kartu identitas umum selama era
kolonial Belanda disebut Sertifikat Tempat Tinggal (Verklaring van Ingezetenschap). Kartu ini tidak mencatat agama
seseorang, hanya nama dan alamat si pemilik kartu dan tanda tangan pengesahan
pejabat.
Sumber: Http://arndtfineart.com
Warga negara yang membutuhkan tanda
bukti kepemilikan tempat tinggal diharuskan menghubungi seorang Controleur (pengawas) lokal dan membayar
biaya sebesar 1,5 gulden. Kartu kertas berukuran 15x10 cm dikeluarkan dan
ditandatangani oleh kepala pemerintah daerah (Hoofd van Plaatselijk). Bagi orang Tionghoa dikenakan dokumen
tambahan yaitu Izin Masuk (Toelatingskaart)
dan Izin Tinggal (Vergunning tot
Vestiging) atau yang dikenal dikalangan Tionghoa sebagai ongji.
KTP
Era Kolonial Jepang
Kartu tanda pengenal di era
Jepang (1942-1945) terbuat dari kertas dan jauh lebih lebar dari kartu tanda
pengenal yang saat ini dipergunakan di Indonesia. Dalam bahasa Jepang dinamai Gaikokujin Kyojuu Touroku Sensei Shoumeisho.
Tanda pengenal ini menampilkan
teks berbahasa Jepang dan Indonesia. Di belakang bagian data utama adalah pernyataan
propaganda yang secara tidak langsung mengharuskan pemegang untuk bersumpah
setia kepada penjajah Jepang.
Didi Kwartanada dalam
artikelnya, “Segregasi Lewat Bukti
Registrasi” menjelaskan bahwa untuk mendapatkan selembar KTP di era Jepang
harus membayar berdasarkan latar belakang etnis dan jenis kelamin sebagaimana
dikatakan, “Lelaki Eropa membayar f. 150,
sedangkan perempuan f.80. Sementara untuk golongan Timur Asing, setiap lelaki
dikenakan biaya f. 100 dan perempuan f.50. Namun, karena ongkosnya terbilang
mahal, dimaksudkan Jepang untuk menarik dana dari masyarakat demi kebutuhan
perang, banyak orang tak sanggup membayar kontan. Mereka lalu memohon
keringanan untuk mencicil” (Historia,
No.12 Tahun 2013:7).
Sumber: Http://bombastis.com
Segregasi berdasarkan identitas
ras dan identitas gender sangat dominan sehingga menentukan jumlah nominal yang
harus dibayarkan dalam pengurusan pembuatan tanda pengenal. Bukan hanya itu,
kebijakkan di era Belanda dilanjutkan dengan dikeluarkannya Osamu Serei No 4
Tanggal 4 Februari 1943 alias undang-undang perihal “mengawasi hal pindah dan
bepergian”.
Itulah sebabnya, KTP bagi Didi
Kwartanada bukan sekedar tanda pengenal identitas seseorang, “Dari selembar KTP, ada banyak kisah terbaca.
Ia bukan sekedar tanda pengenal seseorang. Ia juga alat penguasa mengontrol dan
mengawasi warganya seperti di alami etnis Tionghoa di Jawa semasa pendudukan
Jepang. Sebabnya, sebelum kedatangan Jepang, sebagian dari mereka gigig melawan
agresi Nippon ke Tiongkok melalui berbagai cara: agitasi di media dan ruang
publik hingga penggalangan dana”.
Aturan sedemikian di atas
nampaknya bukan sekedar merespon sikap orang Tionghoa terhadap penduduk Jepang
ke Tiongkok namun memiliki sejumlah akar historis melalui hubungan Belanda dan
Tionghoa sebelumnya.
Bermula dari peristiwa Geger
Pecinan tahun 1740 dimana banyak orang Tionghoa dibantai oleh Belanda sehingga
menimbulkan reaksi susulan berupa perang Wolanda-Cina. Pasca konflik hubungan
Belanda dan Tionghoa membaik namun untuk mengawasi gerak-gerik orang Tionghoa,
mereka ditempatkan di sebuah pemukiman khusus Tionghoa bernama Pecinan dan
harus memiliki surat ijin tinggal dan keluar yang disebut “wijkenstelsel” dan
“passenstelsel” (Onghokham, Anti Cina,
Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina: Sejarah Etnis Cina di Indonsia, 2008: 57).
KTP
Era Kemerdekaan
Di era pemerintahan Republik
yang baru di bawah kepemimpinan Sukarno dan Hatta sempat bergulir wacana
memasukkan kolom agama sebagai penegasan identitas warga negara Indonesia
(apapun etnisnya) memiliki keyakinan pada Tuhan Yang Esa (siapapun nama-Nya)
sebagai pengejawantahan sila pertama yaitu negara yang berketuhanan. Namun
kolom agama ini jadi dimasukkan dalam tanda pengenal atas sejumlah keberatan
pihak tertentu. Dalam
sebuah foto KTP tahun 1950-an terdapat kolom agama di Medan. Namun dalam salah
satu dokumen KTP penduduk Gombong tahun 1960-an tidak terdapat kolom agama.
Dalam foto KTP tahun 1980-an kolom agama tetap disertakan. Kolom agama tetap
disertakan dalam KTP sampai tahun 2019.
Sumber:
Http://brilio.net
Di era Orde Baru yang menandai perubahan orientasi politik luar negeri Indonesia yang berbeda dengan orientasi politik Sukarno, kendali negara nampak dalam penyusunan item dalam KTP seseorang. Pasca peristiwa G 30 S PKI, banyak orang-orang yang dikaitkan keterlibatannya dengan organisasi PKI dan peristiwa 30 September 1965, mengalami sejumlah penangkapan dan pemenjaraan serta eksekusi.
Mereka yang mengalami
keterlibatan dengan organisasi PKI diklasifikasi dan diberi tanda tertentu
dalam KTP yang dimiliki. Ex Tapol
adalah salah satu penanda yang kerap merugikan dan menghambat kehidupan para
tahanan selepas menjalani hukuman.
Sumber:
Http://kebumenypkp65.blogspot.com
Selain penandaan tertentu dan
kode tertentu bagi eks Tapol, kolom agama kerap menimbulkan sejumlah
kontroversi dan diskriminasi perlakuan terhadap hak-hak kewarganegaraan. Selain
agama-agama yang diakui di Indonesia (Islam, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu),
ekspresi kepercayaan lokal di setiap wilayah Nusantara telah berkembang sebelum
terbentuknya Republik maupun bersamaan dengan pembentukan Republik.
Para peghayat kepercayaan lokal
ini kerap tidak terakomodir hak-hak mereka dikarenakan mereka tidak mengisi
kolom agama dengan salah satu agama yang diakui oleh pemerintah.
Secara historis, kemunculan
kolom agama adalah bagian dari bentuk "politik agama" yang digulirkan
pemerintahan Orde Baru untuk mengantisipasi dan mencegah berkembangnya paham
komunisme paska penumpasan politik yang dilakukan pada tahun 1965.
Todung Mulya Lubis dalam
artikelnya, “Kolom Agama Dalam Perspektif
HAM” mengatakan terkait fakta sejarah ini, "Pada 1965, melalui UU No I/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan dan
Penodaan Agama, disebutkan dalam penjelasannya bahwa agama yang dipeluk
penduduk Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu.
Tak salah apabila orang menafsirkan adanya pengakuan negara terhadap agama
tertentu ini dipicu juga oleh ketakutan atas bahaya komunisme yang dianggap
tidak beragama" (Kompas, 27 November 2014).
Menurut catatan M.C. Ricklef,
sejak tahun 1960-an dan masa-masa selanjutnya agama-agama formal mengalami
peningkatan jemaat secara signifikan khususnya Kristen, Hindu dan Budha
dikarenakan exodusnya orang-orang yang ditengarai sebagai komunis (yang kerap
dilabelisasi sebagai tidak beragama, padahal dugaan ini tidak sepenuhnya benar)
harus memeluk agama-agama yang ada (Sejarah Indonesia Modern, 1998:435).
Hal senada dikatakan B.J.
Boland bahwa paska berbagai tindakan kekerasan terhadap organisasi dan
orang-orang komunis oleh tentara dan ormas-ormas Islam pada zaman itu,
memunculkan situasi ketidakpastian dan kekalutan jiwa sehingga menyebabkan
banyak orang-orang Komunis memasuki salah satu agama-agama yang ada dan diakui
negara kala itu, baik Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha (The
Strugle of Islam in Modern Indonesian, 1971:232).
Beriringan dengan
peristiwa-peristiwa di atas, rezim Orde Baru memainkan politik agama melalui
Ketetapan MPRS No XXVII/1966 dimana setiap penduduk atau warga negara Indonesia
harus memeluk salah satu agama-agama yang resmi dan diakui pemerintah (Singgih
Nugroho, Menyebrang dan Menyintas: Perpindahan Massal Kegamaan Pasca 1965 di
Pedesaan Jawa, 2008:4). Kondisi-kondisi sosial politik itulah yang
melatarbelakangi kemunculan kolom agama dalam Kartu Tanda Penduduk sebagai
penanda dan identitas yang membedakan antara orang komunis dan non komunis.
Dalam perkembangannya di awal era Reformasi, keberadaan kolom agama di beberapa
tempat masih kerap menimbulkan permasalahan al., diskriminasi-diskriminasi yang
dialami kelompok agama minoritas.
Namun sejak dikeluarkannya
keputusan oleh Mahkamah Konstitusi yaitu MK 97/PUU/XIV/2016, terjadi sebuah
perubahan signifikan terhadap penganut Penghayat Kepercayaan. Capaian ini
dianggap sebagai “milestone” alias tonggak bersejarah. “Sebagai milestone, Putusan MK sekaligus
sebagai baseline untuk milestonemilestone berikutnya di semua ranah”,
demikian tulis Syamsul Maarif dkk dalam buku Merangkul Penghayat Kepercayaan
Melalui Advokasi Inklusi Sosial: Belajar Dari Pengalaman Pendampingan (2019:18).
Surat Edaran Menteri Dalam Negeri (Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan
Sipil No. 471.14/10666/Dukcapil) pada 26 Juni 2018, yang mencakup petunjuk
pencatatan Kartu Keluarga, sekaligus perubahan e-KTP sudah dapat dilakukan bagi
para Penghayat Kepercayaan.
Demikianlah perjalanan Kartu
Tanda Penduduk dari masa ke masa. Kartu Tanda Penduduk bukan sekedar tanda
pengenal identitas yang meliputi nama dan alamat serta pekerjaan seseorang
namun merekam konteks sosial politik dan sosial budaya dibalik keberadaan dan
keberfungsiannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar