Selasa, 06 Agustus 2019

KARTU TANDA PENDUDUK DARI MASA KE MASA

Sumber: europana.eu

Sejak tahun 2011, penduduk Indonesia mengalami perubahan dalam penggunaan kartu tanda pengenal identitas personal (disebut Kartu Tanda Penduduk, KTP), dari kartu konvensional menjadi kartu elektronik (disebut Elektronik Kartu Tanda Penduduk, e-KTP). Perubahan ini berkaitan dengan dampak digitalisasi disegala bidang yang menjadi karakteristik Revolusi Industri 4.0 yaitu perkembangan dan trend di dunia industri yang menggabungkan teknologi otomatisasi dengan teknologi cyber.


Sekalipun didapati sejumlah persoalan hukum terkait penyediaan dan pengelolaan e-KTP, namun keberadaannya dan fungsinya dapat lebih mempermudah pengumpulan dokumen-dokumen penting milik warga negara untuk berbagai kepentingan, seperti pembuatan rekening bank, pembuatan paspor, pengobatan di rumah sakit, dll. Sistem identitas digital berupa e-KTP dapat pula meminimalisir kemungkinan terjadinya kehilangan atau pemalsuan data milik warga negara berkat sistem autentikasi dan keamanan yang lebih canggih. Termasuk mendeteksi dan melacak keberadaab pelaku terorisme.



Sumber: http://wjtoday.com

Kartu tanda pengenal identitas penduduk Indonesia telah dimulai sejak era kolonial yaitu Belanda maupun Jepang. Ada berbagai keunikkan di setiap periode pemerintahan kolonial dalam menetapkan kartu tanda pengenal.

KTP Era Kolonial Belanda

Kartu identitas umum selama era kolonial Belanda disebut Sertifikat Tempat Tinggal (Verklaring van Ingezetenschap). Kartu ini tidak mencatat agama seseorang, hanya nama dan alamat si pemilik kartu dan tanda tangan pengesahan pejabat.

 
Sumber: Http://arndtfineart.com

Warga negara yang membutuhkan tanda bukti kepemilikan tempat tinggal diharuskan menghubungi seorang Controleur (pengawas) lokal dan membayar biaya sebesar 1,5 gulden. Kartu kertas berukuran 15x10 cm dikeluarkan dan ditandatangani oleh kepala pemerintah daerah (Hoofd van Plaatselijk). Bagi orang Tionghoa dikenakan dokumen tambahan yaitu Izin Masuk (Toelatingskaart) dan Izin Tinggal (Vergunning tot Vestiging) atau yang dikenal dikalangan Tionghoa sebagai ongji.

KTP Era Kolonial Jepang

Kartu tanda pengenal di era Jepang (1942-1945) terbuat dari kertas dan jauh lebih lebar dari kartu tanda pengenal yang saat ini dipergunakan di Indonesia. Dalam bahasa Jepang dinamai Gaikokujin Kyojuu Touroku Sensei Shoumeisho.

Tanda pengenal ini menampilkan teks berbahasa Jepang dan Indonesia. Di belakang bagian data utama adalah pernyataan propaganda yang secara tidak langsung mengharuskan pemegang untuk bersumpah setia kepada penjajah Jepang.

Didi Kwartanada dalam artikelnya, “Segregasi Lewat Bukti Registrasi” menjelaskan bahwa untuk mendapatkan selembar KTP di era Jepang harus membayar berdasarkan latar belakang etnis dan jenis kelamin sebagaimana dikatakan, “Lelaki Eropa membayar f. 150, sedangkan perempuan f.80. Sementara untuk golongan Timur Asing, setiap lelaki dikenakan biaya f. 100 dan perempuan f.50. Namun, karena ongkosnya terbilang mahal, dimaksudkan Jepang untuk menarik dana dari masyarakat demi kebutuhan perang, banyak orang tak sanggup membayar kontan. Mereka lalu memohon keringanan untuk mencicil” (Historia, No.12 Tahun 2013:7).

 
Sumber: Http://bombastis.com

Segregasi berdasarkan identitas ras dan identitas gender sangat dominan sehingga menentukan jumlah nominal yang harus dibayarkan dalam pengurusan pembuatan tanda pengenal. Bukan hanya itu, kebijakkan di era Belanda dilanjutkan dengan dikeluarkannya Osamu Serei No 4 Tanggal 4 Februari 1943 alias undang-undang perihal “mengawasi hal pindah dan bepergian”.

Itulah sebabnya, KTP bagi Didi Kwartanada bukan sekedar tanda pengenal identitas seseorang, “Dari selembar KTP, ada banyak kisah terbaca. Ia bukan sekedar tanda pengenal seseorang. Ia juga alat penguasa mengontrol dan mengawasi warganya seperti di alami etnis Tionghoa di Jawa semasa pendudukan Jepang. Sebabnya, sebelum kedatangan Jepang, sebagian dari mereka gigig melawan agresi Nippon ke Tiongkok melalui berbagai cara: agitasi di media dan ruang publik hingga penggalangan dana”.

Aturan sedemikian di atas nampaknya bukan sekedar merespon sikap orang Tionghoa terhadap penduduk Jepang ke Tiongkok namun memiliki sejumlah akar historis melalui hubungan Belanda dan Tionghoa sebelumnya.

Bermula dari peristiwa Geger Pecinan tahun 1740 dimana banyak orang Tionghoa dibantai oleh Belanda sehingga menimbulkan reaksi susulan berupa perang Wolanda-Cina. Pasca konflik hubungan Belanda dan Tionghoa membaik namun untuk mengawasi gerak-gerik orang Tionghoa, mereka ditempatkan di sebuah pemukiman khusus Tionghoa bernama Pecinan dan harus memiliki surat ijin tinggal dan keluar yang disebut “wijkenstelsel” dan “passenstelsel” (Onghokham, Anti Cina, Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina: Sejarah Etnis Cina di Indonsia, 2008: 57).

KTP Era Kemerdekaan

Di era pemerintahan Republik yang baru di bawah kepemimpinan Sukarno dan Hatta sempat bergulir wacana memasukkan kolom agama sebagai penegasan identitas warga negara Indonesia (apapun etnisnya) memiliki keyakinan pada Tuhan Yang Esa (siapapun nama-Nya) sebagai pengejawantahan sila pertama yaitu negara yang berketuhanan. Namun kolom agama ini jadi dimasukkan dalam tanda pengenal atas sejumlah keberatan pihak tertentu.Dalam sebuah foto KTP tahun 1950-an terdapat kolom agama di Medan. Namun dalam salah satu dokumen KTP penduduk Gombong tahun 1960-an tidak terdapat kolom agama. Dalam foto KTP tahun 1980-an kolom agama tetap disertakan. Kolom agama tetap disertakan dalam KTP sampai tahun 2019.

Sumber: https://en.wikipedia.org

Sumber: Http://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com


Sumber: Http://brilio.net

Di era Orde Baru yang menandai perubahan orientasi politik luar negeri Indonesia yang berbeda dengan orientasi politik Sukarno, kendali negara nampak dalam penyusunan item dalam KTP seseorang. Pasca peristiwa G 30 S PKI, banyak orang-orang yang dikaitkan keterlibatannya dengan organisasi PKI dan peristiwa 30 September 1965, mengalami sejumlah penangkapan dan pemenjaraan serta eksekusi.

Mereka yang mengalami keterlibatan dengan organisasi PKI diklasifikasi dan diberi tanda tertentu dalam KTP yang dimiliki. Ex Tapol adalah salah satu penanda yang kerap merugikan dan menghambat kehidupan para tahanan selepas menjalani hukuman.


Sumber: Http://kebumenypkp65.blogspot.com

Selain penandaan tertentu dan kode tertentu bagi eks Tapol, kolom agama kerap menimbulkan sejumlah kontroversi dan diskriminasi perlakuan terhadap hak-hak kewarganegaraan. Selain agama-agama yang diakui di Indonesia (Islam, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu), ekspresi kepercayaan lokal di setiap wilayah Nusantara telah berkembang sebelum terbentuknya Republik maupun bersamaan dengan pembentukan Republik.

Para peghayat kepercayaan lokal ini kerap tidak terakomodir hak-hak mereka dikarenakan mereka tidak mengisi kolom agama dengan salah satu agama yang diakui oleh pemerintah.

Secara historis, kemunculan kolom agama adalah bagian dari bentuk "politik agama" yang digulirkan pemerintahan Orde Baru untuk mengantisipasi dan mencegah berkembangnya paham komunisme paska penumpasan politik yang dilakukan pada tahun 1965.

Todung Mulya Lubis dalam artikelnya, “Kolom Agama Dalam Perspektif HAM” mengatakan terkait fakta sejarah ini, "Pada 1965, melalui UU No I/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan dan Penodaan Agama, disebutkan dalam penjelasannya bahwa agama yang dipeluk penduduk Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu. Tak salah apabila orang menafsirkan adanya pengakuan negara terhadap agama tertentu ini dipicu juga oleh ketakutan atas bahaya komunisme yang dianggap tidak beragama" (Kompas, 27 November 2014).

Menurut catatan M.C. Ricklef, sejak tahun 1960-an dan masa-masa selanjutnya agama-agama formal mengalami peningkatan jemaat secara signifikan khususnya Kristen, Hindu dan Budha dikarenakan exodusnya orang-orang yang ditengarai sebagai komunis (yang kerap dilabelisasi sebagai tidak beragama, padahal dugaan ini tidak sepenuhnya benar) harus memeluk agama-agama yang ada (Sejarah Indonesia Modern, 1998:435).

Hal senada dikatakan B.J. Boland bahwa paska berbagai tindakan kekerasan terhadap organisasi dan orang-orang komunis oleh tentara dan ormas-ormas Islam pada zaman itu, memunculkan situasi ketidakpastian dan kekalutan jiwa sehingga menyebabkan banyak orang-orang Komunis memasuki salah satu agama-agama yang ada dan diakui negara kala itu, baik Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha (The Strugle of Islam in Modern Indonesian, 1971:232).

Beriringan dengan peristiwa-peristiwa di atas, rezim Orde Baru memainkan politik agama melalui Ketetapan MPRS No XXVII/1966 dimana setiap penduduk atau warga negara Indonesia harus memeluk salah satu agama-agama yang resmi dan diakui pemerintah (Singgih Nugroho, Menyebrang dan Menyintas: Perpindahan Massal Kegamaan Pasca 1965 di Pedesaan Jawa, 2008:4). Kondisi-kondisi sosial politik itulah yang melatarbelakangi kemunculan kolom agama dalam Kartu Tanda Penduduk sebagai penanda dan identitas yang membedakan antara orang komunis dan non komunis. Dalam perkembangannya di awal era Reformasi, keberadaan kolom agama di beberapa tempat masih kerap menimbulkan permasalahan al., diskriminasi-diskriminasi yang dialami kelompok agama minoritas.

Namun sejak dikeluarkannya keputusan oleh Mahkamah Konstitusi yaitu MK 97/PUU/XIV/2016, terjadi sebuah perubahan signifikan terhadap penganut Penghayat Kepercayaan. Capaian ini dianggap sebagai “milestone” alias tonggak bersejarah. “Sebagai milestone, Putusan MK sekaligus sebagai baseline untuk milestonemilestone berikutnya di semua ranah”, demikian tulis Syamsul Maarif dkk dalam buku Merangkul Penghayat Kepercayaan Melalui Advokasi Inklusi Sosial: Belajar Dari Pengalaman Pendampingan (2019:18). Surat Edaran Menteri Dalam Negeri (Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil No. 471.14/10666/Dukcapil) pada 26 Juni 2018, yang mencakup petunjuk pencatatan Kartu Keluarga, sekaligus perubahan e-KTP sudah dapat dilakukan bagi para Penghayat Kepercayaan.

Demikianlah perjalanan Kartu Tanda Penduduk dari masa ke masa. Kartu Tanda Penduduk bukan sekedar tanda pengenal identitas yang meliputi nama dan alamat serta pekerjaan seseorang namun merekam konteks sosial politik dan sosial budaya dibalik keberadaan dan keberfungsiannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar