Dalam artikel
(2018) sebelumnya saya telah menulis mengenai keberadaan sejumlah grafiti
-berupa tulisan tangan berisikan nama dan tahun-yang tersemat di atas dinding
guna-guna Jatijajar (Membaca Grafiti di Gua Jatijajar - http://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2018/12/membaca-grafiti-di-gua-jatijajar.html?m=1).
Tulisan kali ini akan memperdalam keberadaan gua yang sudah dikenal di era
kolonial ini.
Beberapa data yang berhasil dikumpulkan melalui sejumlah pelacakan buku dan surat kabar, gua Jatijajar lebih dikenal oleh orang-orang Belanda yang berkunjung ke tempat ini dengan sebutan Grot van Idjoe (gua Ijo) atau Grot bij Idjoe (gua dekat Idjoe). Nama Idjoe dikaitkan dengan sebuah stasiun kecil yang terletak beberapa kilometer dari lokasi gua.
Nama Karangbolong dan Gua Idjoe menjadi dua lokasi terkenal sejak era kolonial. Karangbolong dikaitkan keberadaannya dengan pengunduhan sarang walet dan sebuah pesanggarahan indah untuk bersantai sementara Gua Idjoe menjadi tempat melakukan petualangan ke dalam gua dengan bantuan pemandu yang membawa penerangan.
Sebelum tahun 1936, Karangbolong dan Gua Idjoe masuk wilayah kabupaten Karanganyar. Namun sejak 1 Januari 1936, status Karanganyar sebagai kabupaten dihapuskan dan dijadikan satu menjadi willayah Kebumen. Dengan demikian Karangbolong dan Gua Idjo atau Gua Jatijajar menjadi wilayah Kabupaten Kebumen.
Lokasi Wisata dan Pesiar Sejak Era Kolonial
Dalam sebuah "Daftar Purbakala dan Tempat Wisata di Jawa" (Lijst van Oudheden en Bezienswaardigheden op Java) diberikan sebuah deskripsi lokasi menuju Goa Idjoe sbb: Sesaat sebelum jembatan yang terletak di perbatasan antara Kedu dan Banjoemas (antara Gombong dan Banjoemas), seseorang tinggal berbelok kiri dan mencapai Idjoe. Banyak kelelawar hidup di dalam gua, sehingga baunya sangat tidak sedap (Handboek Toerisme in Nederlandsch Indie, 1927:97). Sampai hari ini, jika wisatawan hendak menuju lokasi wisata akan melewati sebuah pertigaan jalan raya di mana ada sebuah sungai yang menjadi batas wilayah Gombong dan Banyumas.
Gambaran lebih detail diulas dalam sebuah artikel berjudul, Karangbolong en De Grot van Idjoe (Karangbolong dan Gua Idjoe) sbb: Salah satu tempat terindah di pantai Selatan Jawa tentunya adalah Pegunungan Karangbolong (Karangbolonggebergte) Terletak di sudut barat daya Kedoe, pulau ini menembus cukup jauh ke dalam laut. Ratusan puncaknya yang tertutup hutan memberikan tampilan yang indah dan gua-gua alaminya menjadikannya target dari banyak tamasya (uitstapje) yang dicari. Salah satu gua yang paling terkenal adalah Gua Idjoe yang terletak di sisi barat pegunungan (Een der meest be kende grotten is zeker wel die van Idjoe aan de westzijde van het gebergte gelegen); inilah tujuan perjalanan kami. Menurut kepercayaan populer, ini pasti kediaman Loro Kidoel, Dewi Pantai Selatan Jawa (De Preanger Bode, 19 Mei 1912).
Inilah yang menjelaskan kenapa di Gua Idjo (Gua Jatijajar) begitu banyak tersemat tulisan berisikan nama orang (pejabat dan masyarakat umum baik Belanda maupun Jawa juga Tionghoa) yang menyambangi lokasi tersebut al., Aroeng Binang (bupati Kebumen), Iskandar Tirtoekoesoemo (bupati Karanganyar). Pengunjungnya bukan hanya dari wilayah sekitar bahkan ada yang dari Surakarta, Yogya, Klaten.
Jika melihat foto dalam judul tulisan ini maka kita akan mengerti mengapa sejumlah tulisan tersebut dapat tersemat di atas dinding gua-gua stalagmit. Itu dikarenakan lokasi tanah yang masih penuh dan belum tergerus sehingga posisinya memungkinkan menuliskan di atas dinding-dinding stalagmit.
Bagai Memasuki Tenggorokan Hewan Raksasa
Gua Jatijajar (Gua Idjoe) pada tahun 1975 dijadikan wisata publik. Selain sejumlah diorama yang mengisahkan legenda Raden Kamandaka alias lutung kasarung, tidak pula sebuah patung dinosaurus yang mengalirkan air dari sendang di dalam gua.
Jika saya membaca penjelasan di Wikipedia terkait alasan pembuatan patung dinosaurus dikarenakan simbolisasi usia batuan dalam gua yang sangat tua seperti dinosaurus. Namun saat saya membaca artikel berjudul, Karangbolong en De Grot van Idjoe (1912) sebagaimana saya kutip di atas, justru penulisnya memberikan sebuah deskripsi menarik mengenai isi gua di mana diasosiasikan dirinya seolah sedang masuk ke perut sebuah monster bawah tanah (onderaardsche monster). Kita perhatikan petikan deskripsi gua menurut penulis artikel tersebut sbb:
Jalur pegunungan yang cukup bagus membawa kami ke atas, dan setelah 10 menit kami memiliki pintu masuk ke gua di depan kami. Mulut menganga lebar dengan gigi raksasanya menatap kami dengan senyum, tapi tanpa rasa takut kami masuk dan - mulut itu tidak menutup. Gigi raksasa di bawah terentang untuk kami duduki, dan yang di atas kami duduk dengan kokoh di lemari besi.
Memang, stalagmit dan stalaktit (stalagmieten en stalactieten) itu bisa disimpan sebanyak gigi di mulut hewan raksasa.
Di sana-sini sinar matahari masuk melalui lubang dan itu menghilangkan beberapa hal yang menakutkan. Perapian, yang dibawa oleh pemandu, dinyalakan; begitu pula dengan lentera karbida kami (carbidlantarens); sekarang dia berjalan, setahap demi setahap, menuju dunia bawah.
...Mulut lebar menyempit menjadi lubang tenggorokan dan kami turun ke kedalaman...Tapi dengan kesabaran dan kehati-hatian kami melewati leher sempit itu melalui perut besar monster bawah tanah (onderaardsche monster).
....Setelah beberapa waktu, kami tiba di sungai kecil di bawah tanah; di kejauhan kami sudah mendengar gemuruh air yang mengalir deras"
Deskripsinya sama dengan penampakan Gua Jatijajar yang kita lihat saat ini yaitu, "stalagmit dan stalaktit", "lorong menurun", "bawah tanah", "aliran air" atau "sungai dan sendang". Apakah pembuat patung Dinosaurus saat lokasi ini dijadikan kawasan wisata publik (1975) telah membaca koran tersebut atau pernah mendengar keterangan sebelumnya yang menyatakan mamasuki Gua Idjoe atau Gua Jatijajar seolah memasuki perut hewan raksasa?
Jika asumsi saya benar maka pembuatan patung dinosaurus tidak dikaitkan dengan usia batuan gua yang berusia berabad sebagaimana dinosaurus melainkan telah membaca atau setidaknya mendengarkan informasi lisan pada zamannya berdasarkan kesaksian orang yang pernah mengunjungi dan menulis kawasan gua tersebut di era sebelum kemerdekaan.
Meninjau Ulang Narasi Tahun Penemuan
Terkait sejarah penamaan Gua Jatijajar, informasi lisan menghubungkan dengan nama seorang petani bernama Jayamenawi yang memiliki lahan pertanian di atas gua tersebut. Pada suatu ketika Jayamenawi sedang mengambil rumput, kemudian jatuh kesebuah lubang yang ternyata lobang itu adalah sebuah ventilasi yang ada di langit-langit gua tersebut.
Setelah Jayamenawi menemukan gua, tak lama kemudian Bupati Ambal, meninjau lokasi tersebut. Saat mendatangi goa, dia menjumpai dua pohon jati tumbuh berdampingan dan sejajar pada tepi mulut gua. Dari kisah itulah asal-muasal penamaan Gua Jatijajar. Namun sayangnya informasi yang tertulis dalam Wikipedia berkaitan dengan tarikh penemuan gua dan kedatangan Bupati Ambal tidak tepat yaitu 1802 (https://id.wikipedia.org/wiki/Gua_Jatijajar#:~:text=3%20Diorama-,Sejarah,pertanian%20di%20atas%20gua%20tersebut.&text=Saat%20mendatangi%20goa%2C%20dia%20menjumpai,asal-muasal%20penamaan%20Gua%20Jatijajar).
Poerbonegoro bukan penguasa di Kebumen melainkan seorang bupati yang memerintah di Ambal sejak 4 April 1832 (Regeering Almanak voor Nederlandsch Indie, 1865). Wilayah Karang Bolong adalah salah satu distrik dari kabupaten Ambal. Namun sejak kewafatannya beliau tanggal 7 Maret 1871 maka kabupaten Ambal pada tanggal 17 Maret 1872 dihapuskan dan beberapa wilayahnya masuk menjadi bagian Kutoarjo, Kebumen dan Karanganyar. Dari tarikh kepemimpinan Poerbonegoro Bupati Ambal (1832-1872) maka sangat tidak mungkin penemuan gua oleh Djayamenawi terjadi pada tahun 1802.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar