Lama tidak berkunjung ke obyek
wisata Jatijajar yang berlokasi di Desa Jatijajar, Kecamatan Ayah, Kabupaten
Kebumen. Saat hadir dalam Focus Group
Discussion (FGD) sebagai tindak lanjut ditetapkannya kawasan Karangsambung
dan Karangbolong sebagai Kawasan Geopark Nasional pada 29 November 2018 lalu, menjadi
saat menarik melihat perubahan dan perkembangan kawasan wisata yang bernuansa
penampakkan geologis tersebut.
Ada yang menarik dari kegiatan Focus Group Discussion (FGD) kali ini dikarenakan lokasi dan perbincangan berada persis di didalam lorong gua yang memanjang dengan tetesan air dari sela-sela stalaktit (mineral sekunder yang menggantung di langit-langit gua kapur). Sayang pencahayaan kurang maksimal sehingga suasana Focus Group Discussion (FGD) lebih terkesan remang-remang jika bukan dikatakan gelap dan membuat orang harus berhati-hati saat berjalan melewati peserta lain yang duduk di sekitarnya.
Ada yang menarik dari kegiatan Focus Group Discussion (FGD) kali ini dikarenakan lokasi dan perbincangan berada persis di didalam lorong gua yang memanjang dengan tetesan air dari sela-sela stalaktit (mineral sekunder yang menggantung di langit-langit gua kapur). Sayang pencahayaan kurang maksimal sehingga suasana Focus Group Discussion (FGD) lebih terkesan remang-remang jika bukan dikatakan gelap dan membuat orang harus berhati-hati saat berjalan melewati peserta lain yang duduk di sekitarnya.
Kali ini penulis tidak akan
membicarakan materi yang dipercakapkan dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD) melainkan sisi lain yang penulis
dapatkan sewaktu jam istirahat. Kesempatan ini penulis pergunakan untuk
berjalan-jalan mengitari separuh kawasan gua yang memiliki panjang 250 meter, bersama
beberapa teman.
Tidak banyak yang berubah hanya
lebih terlihat rapih dan tertata dengan pencahayaan di beberapa ruangan gua
sehingga menimbulkan citra permainan warna yang eksotis ketika menaiki sejumlah
tangga dan mengeloki lorong gua.
Langkah kaki penulis dan
beberapa teman berhenti kawasan gua dimana ada patung Kamandaka (keseluruhan
kawasan gua diisi oleh 32 buah patung di beberapa lokasi) yang dihubungkan
dengan legenda Lutung kasarung. Menurut legenda setempat, kawasan gua ini
pernah menjadi tempat menyepi raden Kamandaka dari Pajajaran, Jawa Barat.
Selain berfoto dengan
menggunakan gadget, sebagaimana
layaknya gaya hidup di era digital, penulis tertarik melihat sejumlah grafiti
yang menempel di atap gua yang cukup tinggi dan tidak terjangkau oleh tangan.
Grafiti adalah
coretan pada dinding dengan komposisi warna tertentu baik untuk menuliskan
angka, simbol, kata, kalimat, lukisan. Grafiti modern biasanya menggunakan
media cat semprot kaleng atau sapuan kuas. Kebiasaan menuliskan grafiti sudah
berumur ribuan tahun (The History of Graffiti from Ancient Times to Modern Days - https://www.thevintagenews.com/ ).
Yang menarik dari grafiti di
atas gua Jatijajar adalah hampir semua berisikan angka tahun dengan sejumlah
nama orang dan asal daerah mereka serta beragam bahasa khususnya Belanda dan
Jawa kawi dan Indonesia. Setidaknya tarikh yang tercatat menurut pengamatan
penulis secara acak sudah dimulai dari tahun 1885-an hingga 1940-an. Ditulis
dengan tiner dan berwarna hitam dan memenuhi sepanjang dinding gua.
Nampaknya, tradisi menuliskan
nama dan tahun di dinding gua ini tidak gratis karena ada tulisan (meskipun
samar dan tertindih tulisan lain), “Oengkoes Menoelis Oentoek Orang 1=0,25”.
Dari pembacaan penulisan grafiti secara sepintas lalu, berarti tempat ini telah
menjadi sebuah kawasan wisata lokal sejak era kolonial berkuasa.
Pertanyaan tersisa adalah,
bagaimana menjelaskan letak tulisan yang tidak terjangkau oleh tangan bahkan di
atas kepala kita beberapa meter tingginya? Pertanyaan ini terjawab saat bertemu
seorang tukang foto yang telah menjalani profesinya sejak tahun 1975 bernama
Bapak Nyawabi.
Menurut keterangan Bapak
Nyawabi bahwa dulunya tempat dimana penulis berdiri tidak serendah dan serapi
ini melainkan gundukkan tanah yang cukup tinggi sehingga dapat dipergunakan
untuk menuliskan sejumlah grafiti di beberapa dinding gua.
Dari perbincangan singkat
dengan Bapak Nyawabi diperoleh informasi bahwa di era kolonial, tempat yang
sekarang menjadi lokasi wisata ini milik perorangan bernama Jayamenawi yang
secara tidak sengaja menemukkan gua ini melalui salah satu lubang di kawasan
properti miliknya. Saat lubang tersebut digali lebih dalam maka didapatkan sejumlah
gua-gua di dalamnya. Nama desa jatijajar dahulunya adalah Desa Blangkunan.
Asal-usul nama Jatijajar
dikarenakan tidak jauh dari gua kawasan properti milik Jayamenawi terdapat
pohon jati berjejer dan menurut cerita dari mulut ke mulut – sebagaimana diinformasikan
Bapak Nyawabi – pohon jati tersebut dijadikan sokoguru Kadipaten Ambal yang
kemudian dialihkan menjadi slah satu sokoguru Masjid Ambal. Selain dimanfaatkan
sebagai kawasan wisata lokal, pemerintahan kolonial Jepang pernah memanfaatkan
kawasan gua ini untuk penambangan Fosfat.
Sejak tahun 1975 Pemerintah
Daerah Kebumen membeli kawasan ini dari keturunan Jayamenawi dan menjadikan
kawasan Jatijajar sebagai obyek wisaya dengan pelaksana kerja CV. AIS dari
Yogyakarta yang dipimpin oleh Bapak Saptoto.
Akan lebih menarik jika
menelaah isi grafiti yang terentang dari tahun yang berbeda mulai tahun 1850-an
kemudian 1910-an, 1920-an, 1930-an, 1940-an dimana setiap kata, kalimat,
tulisan mewakili orang-orang yang hidup di era yang berbeda dengan konteks
sosial yang berbeda pula.
Pada kesempatan lain, pembacaan
teks dan gambar grafiti di atas gua Jatijajar dapat dijadikan sebagai sebuah
bahasan tersendiri. Siapa tahu, kita mendapatkan sejumlah informasi yang
menarik dibalik kalimat-kalimat yang dituliskan dari periode waktu yang berbeda
tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar