Pada suatu masa, istilah babu, jongos, kuli, tukang kebun dipergunakan sebagai sebuah ungkapan kelaziman yang menggambarkan status sosial seseorang dalam struktur sosial selain istilah bupati, guru, dokter. Namun di masa kini, istilah tersebut telah ditinggalkan dan digantikan dengan sejumlah istilah pengganti al., pembantu rumah tangga atau pelayan rumah tangga. Film dengan judul Inem Pelayan Seksi (1976) menggambarkan peran seorang pembantu rumah tangga namun bukan lagi dengan istilah babu melainkan pelayan.
Kata Baboe memiliki asal-usul yang cukup tua berasal dari periode kolonial. Nicoline van der Sijs, dalam bukunya, Chronologisch Woordenboek. De Ouderdom en Herkomst van Onze Woorden en Betekenissen (Amsterdam: 2002) mengatakan sebagai “kata pinjaman (leenwoord) dari bahasa Indonesia yang berarti ‘pengasuh’ (kindermeisje) dan pertama kali ditemukan pada tahun 1859 (https://nl.wiktionary.org/wiki/baboe).
Istilah baboe memang lahir dari rahim kolonial yang diartikan sebagai “pengasuh perempuan (vrouwelijke kinderoppas) Indonesia /pribumi atau pembantu (bediende) yang dipekerjakan oleh orang Eropa dan Indo-Eropa. Dia biasanya memiliki tugas yang sama sebagai pengasuh (kinderjuffrouw) (https://nl.wikipedia.org/wiki/Kinderjuffrouw).
Tidak ada indikasi bahwa penggunaan istilah baboe terkandung muatan negatif dan merendahkan. Berbagai kamus bahasa Belanda dari edisi tahun 1800-an seperti Van Dale, Groot Wordenboek Der Nederlandsche Taal, 1898 memberikan definisi singkat yaitu: Indische kindermeid, oppasster, of huismeid (Pengasuh India, pengasuh bayi, atau pembantu rumah tangga - https://www.ensie.nl/vandale1898/baboe).
Bahkan kata “baboe” sudah masuk dalam perbendaharaan bahasa Belanda sebagaimana Kramer’s Wordenboek Engels oleh DR. F.P.H Prick Van Welly (Den Haag: 1970) mendefinisikan sebagai “native nurse or servant” (pengasuh pribumi atau pembantu).
Dalam sebuah berita iklan oleh surat kabar Dagblad van Zuidholland en 's Gravenhage (19 Februari 1885) disebutkan perihal kebutuhan seorang pembantu dengan istilah baboe sbb:
BABOE.
MEN VRAAGT, om tegen half Maart eene Familie naar Indië te vergezellen, een Baboe of Indische Jongen.
Franco brieven, onder motto «Baboe”, aan het Bureel van het Dagblad
BABOE.
DIBUTUHKAN (SESEORANG MEMERLUKAN) untuk menemani Keluarga ke India pada pertengahan Maret, seorang Babu atau Bocah India.
Prangko surat, di bawah moto "Baboe", ke Kantor Dagblad
Tahun 2019 lalu beredar sebuah film pendek karya Sandra Beerends berjudul Ze Noemen Me Baboe (Mereka Memanggil Saya Baboe). Film ini merupakan kisah fiksi yang mengangkat kisah seorang pembantu dan pengasuh anak bernama Alima yang seakan menikmati kehidupannya di dunia kolonial, yang belum pernah ia ikuti sebelumnya.
Film dokumenter ini berkisah mengenai perubahan kekuasaan pada periode 1939-1949, dari sudut pandang seorang baboe yaitu pengasuh Hindia dalam melayani keluarga Belanda. Beerends menunjukkan perspektif Hndia atas dasar cerita fiksi, yang seluruhnya didasarkan dari bahan arsip.
Namun The Jakarta Post memberikan komentar, “Oddly enough, though, the film seems to evade the pejorative term inlander — the native world of which baboe is part and parcel” (Anehnya, film tersebut tampaknya menghindari istilah merendahkan inlander - dunia pribumi dimana baboe merupakan bagian tak terpisahkan - https://www.thejakartapost.com/life/2020/03/01/they-call-me-baboe-how-a-domestic-helper-saw-the-colonial-world.html).
Terlepas bahwa istilah “baboe” memang lahir dari rahim kolonial namun dari pelacakkan istilah “baboe” yang telah dipergunakan sejak tahun 1800-an sebagaimana dijelaskan sebelumnya tidak memperlihatkan sebuah karakter perendahan atau pelecehan. Malah film karya Sandra Beerends ini memberikan sebuah dugaan asal usul istilah “baboe” dari istilah “ba van mejuffrouw” (mbak dari kata saudara perempuan) dan “bu van moeder” (bu dari kata ibu). Jadi menurut film ini istilah baboe dari kata “mbak ibu” yang disingkat “babu” (baboe).
Bahkan Flora Davidson (87), yang sebagian kisahnya mendasari pembuatan film dokumenter, Ze Noemen Me Baboe dengan bersemangat dia menceritakan mengena babu "miliknya" dengan berkata, “Ya, Sukina! Dia adalah wanita cantik, sangat beradab dan manis." Keluarga Yahudi Davidson melarikan diri ke Hindia Belanda pada tahun 1940, di mana mereka memulai bisnis perhiasan. “Tentu saja gila bagi kami sebagai anak-anak untuk tiba-tiba ditanam di negara yang sama sekali berbeda. Berkat Sukina, semuanya berjalan dengan damai. Dia mengajari kami budaya Hindia. Kupikir dia sangat manis sehingga ibuku terkadang berkata, sedikit cemburu, "Siapa yang lebih kau cintai?" Lalu aku menjawab: keduanya pada saat yang sama” (https://javapost.nl/2020/06/28/ze-noemen-me-baboe/).
Tidak bisa dipungkiri, bagi sebagian orang Belanda di era kolonial seorang “baboe” kerap dipandang sebelah mata. Dalam sebuah berita berjudul, De Indische Baboe (Baboe Hindia Belanda) dilaporkan perihal terbunuhnya seorang baboe bernama Samirah yang telah mengabdi selama 2, 5 tahun pda seorang keluarga Belanda. Dia sangat disayangi namun hanya dikarenakan keputusan Samirah yang tidak mematuhi keinginan keluarga Belanda untuk pergi ke Cirebon dan memilih kembali ke kampung halamannya di Magelang justru berbuah kemarahan dan petaka dari sang nyonya yang berakibat pembunuhan dirinya.
Sekalipun pembunuhan tidak sengaja ini disidangkan di pengadilan media surat kabar tetap menganggap baboe sebaga seorang pelayan yang patuh tanpa kemauan sebagaimana dikatakan, “Karena babu tidak harus menginginkannya; dia harus patuh secara membabi buta, seperti yang selalu dilakukannya” (Het Vaderland, 15 April 1914). Tentu pandangan semacam ini tidak berlaku untuk semua orang Belanda yang memiliki baboe.
Perlakuan semena-mena terhadap seorang baboe atau djongos (oleh beberapa keluarga Belanda di era kolonial dan bersifat kasuistik) inilah yang membawa stigma negatif terhadap penggunaan istilah ini di era pasca kolonial sekalipun istilah baboe dan djongos tidak bermuatan negatif.
Pandangan pasca kolonial memang memberikan penilaan negatif terhadap istilah baboe. Menurut Hairus Salim dalam esainya Dari Babu ke Pekerja Rumah Tangga, kata jongos maupun babu banyak digunakan sebelum perang kemerdekaan 1945. Dua kata ini merupakan peninggalan masa kolonial. Hairus Salim menyebutnya ada kesan feodalistik dalam penggunaan kata ini. Wajar jika jongos dan babu, walau pun kata yang resmi dalam kamus, namun nada diskriminatifnya masih sangat terasa—bahkan sekalipun kata-kata ini dilepaskan dari konteksnya (https://tirto.id/terminologi-budak-kuli-dan-babu-chF1).
Bisa jadi karena pekerjaan domestik ini lebih banyak dilakukan perempuan pribumi (disebut baboe) sebagaimana laki-laki pribumi (disebut djongos) dan lahir di era kolonial maka ada nuansa yang dianggap diskriminatif sekalipun tidak dapat dibuktikan bahwa asal-usul istilah ini (baboe dan djongos) berasal dari bentuk ejekan.
Wajar jika pasca kolonial istilah ini diganti dengan istilah lain seperti, “pembantu”, “pelayan” yang sebenarnya tetap saja memperlihatkan unsur perbedaan kelas yang tidak bisa dihindari. Hanya berganti istilah saja dan yang menjadi tuannya adalah bangsa sendiri bukan bangsa asing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar