Sebuah bangunan megah berbentuk candi berdiri di Kelurahan
Wonokriyo, Kecamatan Gombong. Tidak jauh dari lokasi tersebut berdiri patung seorang
lelaki berpakaian tradisional Jawa dengan mengenakan blangkon.
Tanggal 26 November 2013 silam, penulis berkesempatan untuk
menyambangi bangunan tersebut dan berbincang dengan tuan rumah bernama Bapak
Adji Tjaroko dan mendapatkan sejumlah keterangan menarik perihal fungsi, makna
dan latar belakang bangunan peribadatan komunitas kepercayaan tersebut.
Dari perbincangan tersebut Bapak Adji Tjaroko memberikan
penjelasan perihal nama mendiang kakeknya yang bernama Ki Bagus Hadi Kusumo
yang melatarbelakangi keberadaan rumah peribadatan dan sekaligus patung seorang
lelaki berpakaian Jawa menggunakan blangkon tersebut.
Sejak tahun 1917 beliau telah menyebarluaskan ajaran dan
kawruh Jawa yang dinamakan Kawruh Naluri.
Ki Bagus Hadi Kusumo tidak hanya menyebarluaskan kepercayaannya sehingga
memiliki ribuan pengikut, namun beliau juga terlibat dalam menentang arogansi
pemerintahan Belanda di wilayah Gombong pada zamannya. Menurut pemaparan Bpk
Adji Tjaroko, pada tahun 1920-an Belanda menuntut pajak per kepala penduduk
pribumi. Namun Ki Bagus Hadi Kusumo menentang dan melawan dengan menolak
pembayaran pajak bahkan dengan berani mengatakan, “Ini bumi kami. Mestinya kamilah yang menarik pajak pada kalian yang
pendatang!”. Dalam usahanya menentang kebijakkan pemerintahan kolonial,
beliau tidak pernah membawa pengikut atau mengerahkan kekuatan fisik namun
melakukannya secara individual. Dikarenakan Ki Bagus Hadi Kusumo kerap
melakukan berbagai tindakan yang menimbulkan kemarahan Belanda, maka beliau
sering berurusan dengan polisi Belanda dan di penjara berulang kali (Teguh
Hindarto, “Bukan Candi tapi Sanggar
Meditasi” – historyandlegacy-kebumen.blogspot.com, 2013)
Jika tahun 2013 lalu penulis menyajikan sudut pandang
keluarga mengenai sosok bernama Ki Bagus Hadi Kusumo maka kali ini penulis
ingin menyajikan sejumlah pemberitaan media massa pada zamannya yaitu di tahun
1920-an dan 1930-an mengenai sosok Ki Bagus Hadi Kusumo. Dengan penyajian
melalui media massa pada zamannya kita akan melihat sebuah perspektif (sudut
pandang) berbeda mengenai sosok bernama Ki Bagus Hadi Kusumo. Cara melihat yang
berbeda ini akan membantu kita melihat tokoh dan peristiwa dengan sedikit lebih
netral dan obyektif serta mendekati keutuhan.
Dalam laporan koran dan laporan surat dari lembaga resmi yang
menangai beberapa kasus kriminal atau pengerahan massa yang dicurigai mengancam
stabilitas keamanan pada waktu itu, nama Ki Bagus Hadi Kusumo muncul namun
dengan sebutan yang lebih pendek “Mashadi” atau “Mas Hadi” dan dihubungkan
dengan sorang Kiai bernama Mohammad Sirad. Dalam laporan tersebut “Raden
Mashadi” disebut sebagai “schoonzoon” (anak
menantu).
Laporan Pemerintahan Kolonial
Dalam laporan yang ditulis Residen Banyumas (M. van Zanveld)
kepada Gubernur Jendral (J.P. Graaf van Limburg Stirumm) bertanggal 28 Januari
1920 perihal gerakan keagamaan di Gombong dituliskan sbb:
“Ik heb de eer Uwe
Excellentie beleef mede te deelen dat door verspreiding voornamelijk in het
Zuidelijk deel van dit gewest van een nieuwe godsdienstige ler enige onrust
onder de bevolking valt waar te nemen
De voornamste
verspreiders van die leer zijn mohamad Sirad en zijn schoonzoon Raden Mashadi
beiden uit het gehuct Goemeng, desa Brangkal, district Gombong, residentie
Kedoe en Santara uit de Desa Tlagasari district Gombong, residentie
Kedoe...Raden Mashadi zou Ratoe Adil worden onder den naam van hadikoesoemo
alias Pangeran Heroe Cokro...” (Laporan-Laporan
Tentang Gerakan Protes di Jawa Pada Abad XX, 1981:165)
Terjemahan bebas:
“Saya mendapat
kehormatan untuk memberi tahu Anda, Yang Mulia, bahwa penyebaran di Wilayah
Bagian Selatan, oleh seorang guru agama baru-baru ini dapat menyebabkan
keresahan di antara penduduk.
Penyebar utama doktrin
itu adalah Mohamad Sirad dan menantunya Raden Mashadi keduanya berasal dari Dusun Goemeng, Desa Brangkal, Distrik
Gombong, Karesidenan Kedoe dan Santara dari Distrik Gombong Desa Tlagasari, Karesidenan Kedoe ...
Raden Mashadi akan menjadi Ratoe Adil dengan nama Hadikoesoemo alias Pangeran
Heroe Cokro”.
Tidak ada keterangan lanjutan perihal nama “Raden Mashadi”
yang dihubungkan dengan tuduhan sebagai “Ratu Adil” tersebut. Jika laporan
kepolisian menyebutkan nama “Raden Mashadi” dengan “Ratu Adil” berbeda dengan
beberapa laporan koran yang beredar di tahun 1920-an dan 1930-an tidak
menyebutkan dan menghubungkan “Raden Mashadi” dengan pergerakan “Ratu Adil”
melainkan semacam tuduhan melakukan sejumlah tindakan yang dianggap “de demoralisatie der maatschappij” (menimbulkan demoralisasi masyarakat) Rotterdamsch Nieuwsblad (07-04-1922)
dan tindakan “oplichting” (penipuan) De
Locomotief (25-01-1933). Kita tinjau alasan laporan koran tersebut
menggatakan demikian.
Berita Koran 1922
Dalam laporan berita berjudul “Een belangrijke vangst” (Sebuah Tangkapan Penting) yang dilaporkan
koran Rotterdamsch Nieuwsblad (07-04-1922)
dikatakan bahwa Wedana Adiredja dari afdeling Tjilatjap, dibantu oleh polisi
lapangan Maos, berhasil menangkap seorang bernama Mas Hadi pada Sabtu malam di
Kroja. Berikut ringkasan beritanya:
Mas Hadi dikenal sebagai orang yang tidak bisa dilacak (Mas Hadi staat bekend als de onvindbare)
dan telah melarikan diri dari penjara Banjoemas pada waktu sebelumnya karena tuduhan
menjual berbagai jimat dan telah dicari oleh polisi selama lebih dari setahun. Namun,
ia selalu berhasil membuat dirinya tidak dikenali dengan terus berganti
pakaian. Dia lebih suka memakai topi dalam kostum Bawean.
Setelah melarikan diri, Mas Hadi mendirikan perkumpulan yang
dinamai "Santana" dan kemudian dikenal dengan “Suriasentana” Perkumplan
ini pertama kali didirikan di Bagelen dan segera menyebar ke Japara dan
tempat-tempat sekitarnya. Anggotanya dilarang untuk memedulikan kehidupan (Het wordt den leden verboden zich zooveel
zorgen voor het leven op den hals te halen).
Karena itu mereka harus menjalani kehidupan yang bebas. Moto
mereka adalah: "Di mana ada kehidupan, di situ ada makanan” (Waar leven
is, daar is eten). Akibatnya, para pengikut Santana berhenti bekerja dan
menyerahkan hidup mereka kepada Tuhan. Mereka menghabiskan hari-hari dengan
berjalan-jalan, minum dan menghisap opium, dll, singkatnya, semua pelajaran,
yang menurut mereka dapat membuat hidup lebih menyenangkan.
Ketika diperiksa oleh Wedana, Mas Hadi menyatakan bahwa dalam
waktu dua puluh satu hari para pengikutnya yang bersemangat dapat melihat Gusti
Allah muncul di dadanya sebagai cahaya yang menyilaukan. Karena itu dirinya
dipanggil Goesti Mas Hadi oleh ribuan anggotanya.
Demikianlah menurut laporan koran Rotterdamsch Nieuwsblad (07-04-1922) hingga sampai pada kesimpulan
perihal penangkapan dirinya dihubungkan dengan gerakan Santana yang berhasil
merekrut banyak orang namun memiliki prinsip dan gaya hidup yang
berlawanan dengan tata tertib yang
diterapkan oleh pemerintahan kolonial sehingga dituding melakukan dan menjadi “groote misleider” (penipu besar) dan “de demoralisatie der maatschappij” (demoralisasi
masyarakat).
Nampaknya Ki Bagus Hadi Kusumo atau “Mashadi”/”Mas Hadi”sering
berurusan dengan pemerintahan kolonial dan pemerintahan lokal terkait ajaran
yang disebarluaskan dan banyaknya orang yang mengikutinya. Tercatat dalam koran
Het
Vaderland (03-08-1921) sebuah laporan berjudul “Loos Alarm?” (Peringatan Keliru?) , “Om 1 uur in den middag trapte de politie weer af, en Santana zelf,
die momenteel in de buurt van Sidaredja moet uithangen, wordt thans gezocht” (Pada jam 1 siang, polisi memulai
lagi, dan Santana sendiri, yang saat ini berada di sekitar Sidaredja, saat ini sedang
dicari).
Berita Koran 1933
Kali ini kita mengikuti laporan koran dengan judul berita “De Santana-Beweging: "Raden” Mashadi en
zijn volgelingen” (Gerakan Santana: “Raden” Mashadi dan Para Pengikutnya)
yang dimuat De Locomotief (25-01-1933).
Sebagaimana laporan koran tahun 1921, 1922 demikian pula laporan koran 1933 menisbatkan tuduhan negatif terhadap “Mas Hadi”. Koran tersebut dibuka dengan laporan sbb:
Sebagaimana laporan koran tahun 1921, 1922 demikian pula laporan koran 1933 menisbatkan tuduhan negatif terhadap “Mas Hadi”. Koran tersebut dibuka dengan laporan sbb:
“Sedert eenigen tijd
houdt in Gombong verblijf een zekere Mashadi, die zich ten onrechte Raden
Mashadi of Raden Mas Hadikoesoema noemt. Mashadi beweert een afstammeling te
zijn van een of anderen pangeran en hij heeft op allerlei handige wijzen een
talrijke schare goedgeloovige volgelingen weten te imponeeren. Zelfs uit
Klampok, Bandjarnegara en Soempioeh komen de menschen tot hem. Zijn grootste
liefhebberij is het schrijven van allerlei gewichtige stukken, die gericht zijn
aan den G. G. en andere hooge autoriteiten. Het doel dat bij het schrijven van
deze epistels voorzit is blijkbaar indruk maken op hen die zijn raad inwinnen.
Een onbekende in deze streken is Mashadi niet. Reeds in 1919 liet hij van zich
spreken als leider van de zoogenaamde Santana-beweging, die heel wat
slachtoffers onder de eenvoudige desa lieden heeft gemaakt en waardoor de
bevolking plaatselijk sterk verarmd is”
Terjemahan bebas:
“Untuk beberapa waktu (pernah
ada seorang bernama) Mashadi yang tinggal di Gombong, yang secara salah
menyebut dirinya Raden Mashadi atau Raden Mas Hadikoesoema. Mashadi mengklaim
sebagai keturunan beberapa Pangeran, dan ia telah mengesankan banyak pengikut yang
mudah tertipu dengan banyak cara yang bermanfaat. Orang-orang datang kepadanya
bahkan dari Klampok, Bandjarnegara dan Soempioeh. Kegemaran terbesarnya adalah
menulis semua jenis karya penting yang ditujukan kepada Gouvernour General dan
otoritas tinggi lainnya. Nampaknya, tujuan penulisan surat-surat ini adalah
untuk mengesankan orang-orang yang mencari nasihatnya. Mashadi bukan tidak
dikenal di wilayah ini. Pada awal 1919, menyebut dirinya sebagai pemimpin yang disebut gerakan Santana, yang telah menyebabkan banyak korban di kalangan penduduk desa sederhana dan yang telah sangat memiskinkan penduduk setempat.”.
Dari laporan berita tahun 1933 nampak perkembangan dan
pertumbuhan pengikut ajaran “Mashadi” / “Mas Hadi” semakin banyak karena diikuti
dari sejumlah wilayah seperti “Klampok,
Bandjarnegara dan Soempioeh”. Baik laporan koran 1921 dan 1922 serta 1933
ini tidak menyebutkan aktivitas “Mashadi” / “Mas Hadi” sebagai pemimpin dari “Ratoe
Adil Beweging” melainkan “Santana Beweging”. Abad 19 memang banyak bermunculan
gerakan Ratu Adil di sejumlah tempat di Jawa termasuk di Prembun pada tahun
1939 (Teguh Hindarto, “Gerakan Ratu Adil
di Prembun 1939-1940” – historyandlegacy-kebumen.blogspot.com, 2019).
Masih menurut laporan koran 1933 tersebut “Mas Hadi” mulai
mendirikan nama organisasi yang dinamai PKN (Perkoempoelan Kawoelo Ngajogjakarta) namun
yang menurut laporan koran tersebut ditafsirkan secara berbeda (anders
uitgelegd) oleh Mas Hadi menjadi “Perkoempoelan Kawoela Naloeri” untuk menyebarluaskan
keyakinannya.
Apakah ketiga laporan berita di surat kabar berbahasa Belanda di tahun 1921, 1922, 1933 memberikan keadaan yang sebenarnya ataukah hanya didasarkan informasi yang belum jelas diketahui oleh penulis berita, sulit dipastikan. Saya sendiri selaku penulis artikel ini hanya menjadikan laporan surat kabar itu sebagai pembanding saja tanpa memberikan penilaian benar salahnya isi berita tersebut.
Bahkan dalam surat kabar 1933, sekalipun "Mas Hadi" mendapatkan tuduhan sedemikian namun sejumlah bukti yang mengarah pada tuduhan belum dapat dibuktikan sekalipun ada indikasi demikian sebagaimana dilaporkan demikian:
"Dat de gelden aan de leiders werden afgedragen, is indertijd nimmer bewezen kunnen worden, wel waren er aanwijzingen doch de betrokkenen zelf bewaarden het stilzwijgen, zoodat het niet mogelijk was om iets te bewijzen"
Terjemahan bebas:
"Tidak pernah mungkin untuk membuktikan bahwa uang itu dibayarkan kepada para pemimpin pada saat itu, walaupun ada indikasi, tetapi orang-orang yang terlibat tetap diam, sehingga tidak mungkin untuk membuktikan apa pun"
Apakah ketiga laporan berita di surat kabar berbahasa Belanda di tahun 1921, 1922, 1933 memberikan keadaan yang sebenarnya ataukah hanya didasarkan informasi yang belum jelas diketahui oleh penulis berita, sulit dipastikan. Saya sendiri selaku penulis artikel ini hanya menjadikan laporan surat kabar itu sebagai pembanding saja tanpa memberikan penilaian benar salahnya isi berita tersebut.
Bahkan dalam surat kabar 1933, sekalipun "Mas Hadi" mendapatkan tuduhan sedemikian namun sejumlah bukti yang mengarah pada tuduhan belum dapat dibuktikan sekalipun ada indikasi demikian sebagaimana dilaporkan demikian:
"Dat de gelden aan de leiders werden afgedragen, is indertijd nimmer bewezen kunnen worden, wel waren er aanwijzingen doch de betrokkenen zelf bewaarden het stilzwijgen, zoodat het niet mogelijk was om iets te bewijzen"
Terjemahan bebas:
"Tidak pernah mungkin untuk membuktikan bahwa uang itu dibayarkan kepada para pemimpin pada saat itu, walaupun ada indikasi, tetapi orang-orang yang terlibat tetap diam, sehingga tidak mungkin untuk membuktikan apa pun"
Benarkah Gerakan Santana Adalah Gerakan Ratu Adil?
Terlepas dari sejumlah penilaian dan laporan negatif sejumlah
media massa di era kolonial terhadap “Mas Hadi” atau “Mashadi” atau “Ki Bagus
Hadi Kusumo”, pertanyaan akhirnya adalah apakah yang Gerakan Santana (Santana
Beweging) atau aktivitas “Mas Hadi” termasuk Gerakan Ratu Adil (Ratoe Adil
Beweging)? Sartono Kartodirjo dalam bukunya berjudu,l Ratu Adil yaitu sebuah gerakan perlawanan di Jawa pada Abad 18 dan
19 memberikani beberapa karekteristik penanda yaitu “ciri messianistic, millenaristic, nativiastic serta segi ramalan, ide
tentang perang suci, kebencian terhadap apa saja yang bersifat asing,
magico-mysticism dan pujaan kepada nenek moyang” (1984:27).
Sekalipun beberapa ciri itu ada dalam “Gerakan Santana” namun
dari tiga laporan koran (1921, 1922, 1933) tidak menunjukkan kecenderungan
adanya mobilisasi massa untuk melakukan pemberontakan atau perlawanan langsung
yang bersifat fisik. Sebaliknya kalaupun ada perlawanan bersifat non fisik
yaitu menolak mematuhi tatanan hidup yang dibentuk pemerintahan kolonial.
Sebagaimana telah dilaporkan dalam koran Rotterdamsch Nieuwsblad (07-04-1922) bahwa, “Anggotanya dilarang untuk memedulikan kehidupan (Het wordt den leden
verboden zich zooveel zorgen voor het leven op den hals te halen). Karena itu
mereka harus menjalani kehidupan yang bebas. Moto mereka adalah: "Di mana
ada kehidupan, di situ ada makanan” (Waar leven is, daar is eten)”.
Karakteristik ini justru sangat dekat dengan karakteristik masyarakat Sedulur Sikep atau Orang Samin di Blora.
Gerakan Samin berpusat pada nama Samin Surosentiko atau disebut
dengan Raden Kohar (1859) yang menyebarkan
pandangan hidup dengan menolak represi Kolonial pada pergantian abad ke-19-20.
Samin kemudian menjadi ideologi dan identitas gerakan bagi petani pada zaman
Kolonial. Pengikutnya berada di wilayah Blora, Pati, Kudus, Bojonegoro, Madiun dan beberapa kawasan terdekat.
Sampai di sini tulisan ini diakhiri. Dengan melacak jejak
dinamika kehidupan sosial di era kolonial di kota kita (termasuk wilayah
Gombong di saat masih menjadi salah satu distrik (kecamatan) Karanganyar
sebelum dihapuskan statusnya sebagai Kabuipaten pada 1 Januari 1936) kiranya
dapat semakin melengkapi keutuhan gambaran sejarah sosial kota di masa silam
dan bermanfaat untuk membaca persoalan di masa kini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar