Sabtu, 07 Maret 2020

PENYAKIT XEROPHTALMIA DI KEBUMEN TAHUN 1935 DAN PENTINGNYA KEBIJAKAN BERBASIS RISET


Xerophthalmia, mungkin sebuah istilah yang jarang didengar dalam percakapan sehari-hari. Istilah xerophthalmia merujuk pada sebuah penyakit mata akibat kekurangan vitamin A yang ditandai dengan mata kering.

Tanpa pengobatan yang seksama, penyakit ini cenderung berkembang semakin parah seiring berjalannya waktu, bahkan hingga menyebabkan kerusakan serius pada kornea mata. Ketika xerophthalmia semkin akut, maka akan muncul jaringan kornea mata yang melepuh atau disebut dengan bintik Bitot. Jika dibiarkan, kondisi mata penderita dapat menjadi semakin parah, ditandai dengan munculnya luka memborok atau ulkus kornea. Hal tersebut berbahaya karena bisa menimbulkan kebutaan permanen pada penderita.

Di Kabupaten Kebumen tahun 1935 tercatat penyakit Xerophthalmia menjadi sebuah wabah yang menyebar luas dan menyerang anak-anak. Oey Djoen Hoat, seorang dokter yang diperbantukan di Kebumen  menulis sebuah artikel dengan judul, “Het Voorkomen Van Xeropthalmie In eenige Desa’s Van Het Regentschap Kebumen” (Mencegah Xeropthalmie di Beberapa Desa di Kabupaten Kebumen) yang dimuat dalam Geneeskundig Tijdschrift Voor Nederlandsch Indie (Majalah Medis Untuk Hindia Belanda) Vol 76 Ed 18, Tanggal 5 Mei 1936.



Artikel ini memberikan sebuah laporan, deskripsi, analisis mengenai sebaran penyakit Xerophthalmia di Kabupaten Kebumen. Beberapa gejala yang teramati sebagai Xeropthalmie menurut Dr. Oey adalah sbb:

(a) bintik-bintik putih di kedua sisi kornea, yang dianggap sebagai kotoran cacing;
b) hemeralopia (kotok ajam; kotok = penglihatan kabur; kotok ajam = karakteristik ayam bahwa mereka tidak melihat pendekatan seorang pria di malam hari, hanya merespons ketika disentuh).
c) "silo", alias sensitif pada cahaya, anak berkedip dengan kelopak mata dan menjaga kelopak mata setengah tertutup.
d) Anak tetap menutup mata dan wajah menghadap ke dada ayah atau ibunya

Menurut Oey Djoen Hoat, Ayah atau ibu dari anak yang terjangkit  Xerophthalmia tidak datang ke dokter atau mantri untuk dilakukan perawatan melainkan meminta “obat cacing”, dan juga untuk penderita impetigo (infeksi kulit yang menyebabkan terbentuknya lepuhan-lepuhan kecil berisi nanah) berupa “suntik”. Dr. Oey Djoen Hoat memilih memberikan terapi dengan minyak ikan kod (levertraan, Belanda)) tinimbang memberikan santonin. Jika dalam 3 hari tidak ada perubahan barulah akan diberikan santonin (Santonin adalah obat yang banyak digunakan di masa lalu sebagai anthelminthic, obat yang mengusir cacing parasit (cacing) dengan melumpuhkan mereka, saat ini tidak lagi terdaftar sebagai obat di sebagian besar negara).

Dr. Oey membuat sebuah tabel yang memperlihatkan bahwa penyakit ini menjadi gejala umum pada waktu itu (Tabel I). Dari total 8127 anak yang diperiksa, terdapat 108 anak menderita xerophthalmia, yaitu lebih dari 1%. Distribusinya agak tidak merata dan persentase yang tinggi berada di distrik (kecamatan) Kutowinangun dan sub-distrik Ambal sementara presentasi yang lebih rendah berada di sub-distrik Alian dan Sadang di wilayah utara dengan pola makan yang sedikit berbeda.


Berdasarkan distribusi gender, ditemukan sebanyak 88 anak laki-laki dan 20 anak perempuan, sementara anak laki-laki dan perempuan yang diperiksa masing-masing adalah 4532 dan 3595 orang; jadi lebih banyak anak laki-laki. Sementara untuk anak di bawah tahun ditemukan sebanyak 1 orang; untuk anak 1 - 4 tahun ditemukan sebanyak 71 orang dan di atas 4 tahun sebanyak 36 orang. Di antara 108 kasus ini ditemukan 10 dengan gangguan kornea yang masih aktif.

Setelah melakukan pendataan asupan makanan dari semua desa-desa di Kabupaten Kebumen (Tabel II), Dr. Oey berkesimpulan, “dat het A-vitamine althans voor de jonge kinderen niet in voldoende mate in de Inheemsche voeding in dit regentschap aanwezig is, hetzij door onkunde of andere oorzaak” (bahwa setidaknya untuk anak-anak, vitamin A tidak cukup terkandung dalam makanan penduduk pribumi di kabupaten ini, baik dikarenakan ketidaktahuan atau penyebab lainnya, 1936:1103)


Kasus xeropthalmia mungkin sudah berlalu seiring dengan kemajuan zaman dan perubahan gizi masyarakat di wilayah Kebumen pasca kolonial. Namun sejumlah tantangan baru baik berupa penyakit yang disebabkan oleh karena problem gizi atau problem sosial (HIV, ODGJ alias Orang Dengan Ganguan Jiwa, kasus bunuh diri) di masa kini tentu harus menjadi perhatian dan skala prioritas.

Dibutuhkan keterlibatan para peneliti lokal untuk memetakan sejumlah problem medikal maupun problem sosial agar mengetahui skala ancaman dan bagaimana melakukan treatment yang tepat khususnya bagi para pemangku kepentingan terkait.

Adalah lebih baik jika setiap keputusan dan kebijakan yang dikeluarkan sebuah institusi didasarkan bukan hanya dari opini dan pengalaman (experience and opinion-based policy), namun juga berdasarkan bukti kuat di lapangan (evidence-based policy) melalui sebuah kajian dan riset mendalam. Tanpa adanya riset, setiap langkah-langkah kebijakan menjadi tidak efektif dan sporadik. Pendataan penyakit xeropthalmie di Kebumen tahun 1935 dapat menjadi sebuah rujukan bahwa sebuah treatment membutuhkan sebuah riset.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar