Jumat, 27 Maret 2020

ANYAMAN PANDAN DESA GRENGGENG DAN PENDOKUMENTASIAN PENGETAHUAN MASYARAKAT


Buku dengan judul, Gemrenggeng: Dokumentasi Ekosistem Anyaman Pandan Grenggeng karya Annisa Quraini dan diterbitkan oleh Yayasan Warisan Budaya Gombong (tanpa tahun) merupakan sebuah upaya untuk menelusuri aspek historis perkambangan industri anyaman pandan sekaligus mendokumentasikan pengetahuan masyarakat mengenai teknologi tradisional pengolahan anyaman pandan di desa Grenggeng, Karanganyar khususnya.

Sebagaimana dituliskan dalam kata pengantar, “Kita tidak lagi hanya memandang anyaman pandan dari produk hasil akhirnya saja namun juga sebagai bentuk pengetahuan yang sangat menarik” (hal 1). Pencatatan pengetahuan masyarakat bisa terkait perihal peristiwa tertentu yang belum tercatat dalam sejumlah literatur, sistem sosial budaya bahkan teknologi tradisionil yang dimiliki oleh masyarakat tertentu.

Melalui buku kecil ini, kita mendapat beberapa sejumlah informasi menarik perihal genealogi (asal usul) perkembangan awal wilayah Grenggeng dan sekitarnya menjadi pusat penyedia bahan baku yang dibutuhkan oleh industri anyaman pandan di Tasikmalaya (hal 3-5). Luas wilayah Desa Grenggeng yang 440 hektar ini sebagian besar dijadikan pemukiman. Adapun 14 hektar digunakan untuk perkebunan dengan 2-3 hektar ditanami pandan (hal 12). Namun demikian kegiatan anyaman pandan bukan pendapatan utama masyarakat melainkan sumber pendapatan alternatif saja (hal 13). Desa Grenggeng bisa memproduksi 12.544 complong per bulan dan menghasilkan perputaran uang sebesar 87.808.000,- (hal 15). 

Tahun 2001-2008 kegiatan produksi anyaman pandan di Desa Grenggeng mengalami penurunan akibat penggunaan produk berbahan tekstil yang murah, awet dan bisa dengan cepat diproduksi massal (hal 18). Kita bisa mengetahui sejumlah pemain lokal yang berkontribui memutar roda ekonomi anyaman pandan di Grenggeng al, KUB “Pandan Sari” dll (hal 23-34).

Klimak buku (sekalipun bukan genre sastra) sebagaimana maksud dituliskannya buku kecil ini adalah untuk mendokumentasikan pengetahuan masyarakat mengenai proses anyaman pandan, maka kita akan mendapati sebuah alur bertahap yang disebut “magas” (memetik panda), “mengiras” (membuang duri), “merebus”, “menjemur”, mbesuti” (menghaluskan hasil yang dijemur), “menganyam (hal 43-55).

Yang tidak kalah menarik, ternyata anyaman pandan pun memiliki sejumlah motif. Bukan hanya batik yang memiliki motif melainkan anyaman pandan al., “menyan kobar”, “lemud jengking”, “blarak sinere’, “kaloran” (hal 62-7).

Sayangnya dalam buku kecil ini tidak diulas mengenai perkembangan anyaman pandan di wilayah Kebumen sejak era kolonial. Namun ini bisa dimaklumi dikarenakan minimnya data yang dapat dilacak dan sifat tujuan buku ini bukan sebuah tulisan bertema “historical text”.

Kegiatan anyaman pandan tercatat dalam sebuah artikel berjudul, De Aspecten der Klein-Industrie op Java (Aspek Industri Mikro di Jawa) oleh Ir. R. Soepardi (Kepala Kantor Konsultasi Industri, Jawa Tengah Selatan) yang dimuat koran Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië bertanggal 21 September 1936. 

Dalam sub judul artikelnya, “Hoeden industrie” (Industri Anyaman Topi) dijelaskan peranan Karanganyar - sebuah kabupaten yang baru saja disatukan dengan Kabupaten Kebumen – dalam menopang industri anyaman topi. Perlu diketahui bahwa Karanganyar baru menjadi bagian wilayah Kabupaten Kebumen 1 Januari 1936. Sebelumnya adalah sebuah Kabupaten tersendiri membawahi distrik, Karanganyar, Gombong, Sokka, Petanahan, Puring, Karangbolong (De Locomotief , 21 Maret 1874)

Dalam artikel di atas dijelaskan sbb: “Belangrijk uit een economisch oogpunt is ook de vervaardiging van pandanhoeden in het regentschap Karanganjar, thans toegevoegd aan het regentschap Keboemen, en ook in het regentschap Wonosobo” 

Terjermahan bebas:

“Juga penting dari sudut pandang ekonomi adalah produksi topi pandan di Kabupaten Karanganyar - saat ini telah menjadi bagian dari Kabupaten Kebumen - dan juga di Kabupaten Wonosobo”

Nama “Karanganyar” dan “pandan” sudah disebutkan, sekalipun tidak menyebutkan nama “Grenggeng” sebagai desa tempat produksi anyaman pandan. Industri sudah disebut dengan istilah, “inheemsche nijverheid” (industri penduduk asli atau industri tradisional) namun hasil produksi telah dikirim ke luar negeri alias ekspor. 

Dalam artikel ini disebutkan bahwa tahun 1935 geliat industri ini mengalami penurunan akibat ekspor murah dari Cina dan Jepang ke Amerika. Produk anyaman pandan Karanganyar telah diekspor hingga Amerika sebagaimana dikatakan: “De regeering verklaarde ten deze zoojuist in den Volksraad het volgende: Een gunstige factor is echter de aanzienlijke verlaging van het invoerrecht van de specifieke Indische hoeden, welke in het laatste handelsverdrag met de Vereenigde Staten is overeengekomen”

Terjemahan bebas:

“Pemerintah baru saja menyatakan hal berikut dalam Volksraad: Bagaimanapun, faktor yang menguntungkan adalah pengurangan yang cukup besar dalam bea masuk anyaman topi Hindia, yang disepakati dengan Amerika Serikat dalam perjanjian perdagangan terakhir”

Selain anyaman pandan (houdenindstrie), industri anyaman dari bambu (bamboehoedennijverhèid) berkembang menjadi pasar domestik di Kebumen. Beberapa bagian di ekspor ke negara-negara Timur (Oostersche landen) namun lebih banyak dipasarkan ke Jawa Tengah (Midden-Java) dan Jawa Barat (Oost-Java). Anyaman bambu yang dihasilkan untuk keperluan “tudung” dan “topi pelindung matahari” (zonnehoeden)

Kiranya sejumlah informasi historis dan pendokumentasian pengetahuan teknologi tradisional masyarakat Desa Grenggeng dan sekitarnya yang digarap apik dalam buku kecil karya Annisa Quraini ini mendorong sejumlah penulis lainnya untuk mendokumentasikan dan menganalisis aspek-aspek kehidupan sosial budaya dan sosial ekonomi di wilayah Kebumen secara informatif, metodologis serta populer.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar