Minggu, 09 Februari 2020

ANTARA INVESTASI DAN KONSERVASI



Kota Kebumen bukan “Kota Tanpa Masa Lalu” (meminjam judul kumpulan essay Albert Camus). Di setiap nama kecamatan, desa, areal pekuburan, perbukitan, kawasan pantai, bangunan kuno yang tersisa menyimpan sejumlah kisah yang menarik yang pernah terjadi di era Perang Jawa (1825-1830).

Sejumlah wilayah Bagelen Barat yang disebutkan dalam buku De Java Oorlog van 1825-1830 karya E.S. Klerk (1905) menyebutkan sejumlah nama al., Panjer, Kutowinangun, Karang Bolong, Urut Sewu, Sruni, Kemit, Petanahan, Grogol, Bocor, Roma, Ungaran (Ngaran), Kutawinangun, Wonosari dll., dengan demikian memberikan sebuah gambaran perihal konteks sosial politik yang pernah berkecamuk di wilayah yang sekarang ini disebut Kebumen.

Demikian pula saat modernisasi diperkenalkan pasca berakhirnya Perang Jawa ditandai dengan berdirinya stasiun kereta api Kebumen (1887), Pabrik minyak Insulinde (1915) yang kemudian menjadi Mexolie (1930), pembangunan pemandian air panas Krakal (1887), pembangunan Rumah Sakit "Pandjoeroeng" (1915) atau "Zendeng" (RSUD lama).

Bukti dari peristiwa di atas dapat dilihat dari keberadaan sejumlah gedung tua saat ini masih difungsikan namun sebagian tidak difungsikan lagi. Sebagian gedung yang difungsikan beberapa ada yang dialihfungsikan (pabrik minyak Insulinde dan Mexolie menjadi hotel berbintang dan gedung Makodim) sementara gedung yang sudah tidak difungsikan adalah RSUD lama. Adapun kawasan yang masih difungsikan adalah pemandian air panas Krakal.

Bisa dibayangkan jika gedung-gedung tua di era kolonial di Kebumen semua diratakan dengan tanah dan diganti gedung baru? Kota kita akan kehilangan konteks sosiohistoris dan sosioekonomis di masa lalunya. Kota yang baik adalah kota yang memiliki kenangan tahapan pembangunan. Dengan kenangan tahapan tersebut, sejarah pembentukan kota dapat dinikmati (Wijanarka, Semarang Tempo Dulu: Teori Desain Kawasan Bersejarah, 2007:1).

Berangkat dari pemikiran tersebut dan kaitannya dengan wacana pengalihfungsian gedung Makodim menjadi kawasan mall, kita memang dihadapkan pada sebuah pilihan antara investasi dan konservasi.


Hemat saya, kita tidak memilih salah satunya melainkan mensinergikan keduanya. Artinya investasi tetap jalan namun dengan tidak mengabaikan konservasi kawasan bersejarah. Sepanjang pembangunan mall tidak merusak eksistensi bangunan bersejarah, melainkan disinergikan sedemikian rupa dalam desain pembangunan sehingga masyarakat tetap dapat melihat jejak kisah maka bukan menjadi sebuah masalah.


Sebagaimana diteorikan oleh C.N. Schultz dalam Genius Loci: Toward A Phenomenology of Architecture mengenai peran arsitektur sebagai media untuk memvisualisasikan jiwa tempat sehingga manusia dapat mengidentifikasi dirinya terhadap lingkungan sekitar. Oleh karenanya, setiap kota perlu memelihara identitasnya sehingga dapat dibedakan dengan tempat lain (Konservasi Arsitektur Kota Yogyakarta, 2013:9).

Kiranya pihak-pihak terkait khususnya lembaga pemerintahan daerah dapat mempertimbangkan sebuah kebijakan pembangunan yang mensinergikan antara investasi dan konservasi sehingga jiwa dan kisah kota dapat bercerita dibalik sejumlah bangunan tua yang dipelihara.


Teguh Hindarto, S.Sos., MTh.
Peminat kajian sosial dari Braindilog Sosiologi Indonesia
Opini ini dimuat di Koran Kebumen Ekspres, 5 Februari 2020

2 komentar:

  1. Thanks u into nya saya mau ziarah ke Kebumen berencana April 2020 ternyata di Jakarta sedang ada Pandemik Covid-19.

    Mungkin kalau saya ke sana bisa ketemu dengan mas Teguh ?

    Terima kasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bisa sekali. Nanti jika semua sudah membaik bisa memberikan nomor kontak di sini. Nanti kalau sudah saya save akan saya hapus untuk alasan privasi panjenengan

      Hapus