Selasa, 21 Januari 2020

PERTANIAN DAN SENTUHAN TEKNOLOGI



Ee ibo senenge
Konco tani yen nyawang tandurane
Nyambut gawe
Awak sayah seneng atine


Parine lemu-lemu
Polowijo lan uga sak wernane
Katon subur kabeh tuwuh
Kang sarwo kinandur

Panyuwunku tinebehno saking sambikolo
sih ing gusti mugi-mugi lestari widodo

Sayuk rukun rame-rame
Gotong-royong kang dadi semboyane
Konco tani saka guru tumerap negarane

Demikianlah penggalan syair langgam Jawa buah karya Ki Narto Sabdo yang sudah banyak lantunkan oleh biduan/biduanita (termasuk Waljinah). Sebuah lagu yang melukiskan kegembiraan para petani dalam mengerjakan penanaman dan pemanenan padi yang disebut sebagai "soko guru negara" (di bidang ekonomi).

Sistem produksi pangan melalui pertanian bukan hanya menciptakan kelas sosial yaitu petani namun melahirkan kebudayaan dan teknologi pertanian baik berupa "pranatamangsa", upacara ritual pra tanam maupun pasca tanam (brokohan dan wiwitan/jabelan) bahkan sistem transaksi ekonomi tradisional berupa jual beli dengan membayar "panjer" (uang muka).

Sebuah disertasi telah diterbitkan menjadi buku di tahun 1925 karya Soebroto dengan judul, Indonesische Sawah Verpanding yang menjelaskan secara panjang lebar mengenai sistem produksi pertanian termasuk istilah "panjer".

Sistem produksi pangan berupa pertanian di Nusantara telah berkembang sejak Abad 5 Ms sebagaimana disitir N.C. van Setten van der Meer dalam bukunya, Sawah Cultivation in Ancient Java: Aspects of Development During the lndo-Javanese Period, 5th to 15th century (1979).


Dalam buku berjudul, The Third Wave, Alvin Toffler menjelaskan bahwa terdapat 3 gelombang peradaban manusia, yaitu: Gelombang Agraris (800 sM-1500 Ms), Gelombang Industri (1500 Ms-1970 ), Gelombang Informasi (1970-2000-an).

Di era teknologi informasi, haruskah sistem pertanian tetap mempergunakan teknologi tradisional demi mempertahankan identitas kultural? Inovasi teknologi pertanian adalah sebuah keniscayaan karena berperan penting dalam meningkatkan produktivitas pertanian.
Sistem Subak yang sudah diteliti oleh N.C. van Setten van der Meer, bukan sekedar sistem irigasi pertanian kuno di Bali yang telah di kenal sebelum Majapahit ada melainkan sistem pengairan yang membawa keuntungan signifikan baik secara material, sosial bahkan keagamaan (1979:42-43). Di dalamnya terkandung “irrigation administration” (pengaturan pengairan) dan “irrigation system” (sistem irigasi). Sistem ini tentu mencerminkan teknologi pada masanya yang masih relevan dipergunakan sampai hari ini.

Namun demikian kita tidak hanya menerima dan melestarikan teknologi pertanian pada masanya yang tentunya sudah tidak relevan dipergunakan di era yang semakin berkembang. Bukankah setiap fase jaman menuntut jawaban dan respon manusia secara berbeda? Inovasi teknologi (termasuk pertanian) adalah bagian dari kebudayaan dan cara manusia menjawab fase zaman. Sebagaimana dijelaskan Van Peurseun bahwa setiap zaman membutuhkan strategi kebudayaan dan respon manusia yang berbeda, dimulai dari fase mitis, fase ontologis hingga saat ini memasuki fase teknis (Strategi Kebudayaan, 1988:18-19).

Istilah “fase teknis” atau “gelombang informasi” pun saat ini sudah lebih kompleks dari sebelumnya. Kita disebut memasuki fase “revolusi industri 4.0” dimana telah terjadi sinergi luar biasa antara teknologi digital dengan dunia usaha atau produksi di sebuah industri.



Kita berkaca dari bangsa lain mengenai inovasi teknologi pertanian. Jepang, selain menggunakan peralatan-peralatan pertanian canggih, petani di Jepang kini telah mengembangkan pertanian tanpa lahan. Revolusi pertanian tanpa lahan dilakukan para ahli agroteknologi di Jepang untuk menyikapi lahan tanah yang semakin berkurang (Band. 10 Teknologi Pertanian Modern Paling Canggih Terbaru - https://www.youtube.com/watch?reload=9&v=H6LU2itMl1I).

Israel, dengan negara tandusnya dianggap berhasil mengembangkan teknologi pengairan terbaik di dunia. Sistem Teknologi Air Buatan Israel mampu mendaur ulang air dengan efektif, murah dan efesien. Teknologi hidroponik yang dimiliki Israel bahkan telah membantu sejumlah negara al,mAmerika Serikat, Spanyol, Turki, India, Vietnam, Thailand, Africa, Autsralia, dll dalam memecahkan masalah menanam sayuran di saat musim kemarau. Melalui teknologi green house yang canggih dengan sistem pemantauan terintegrasi dengan komputerisasi membuat lahan perkebunan Israel menjadi yang terbaik (Band. Green Revolution in Deserts of Israel -https://www.youtube.com/watch?v=UDQ5W0gV5sA&list=PLyvYBWjnz4f6AMqeNMestLLHzHAvEGn-u&index=2&t=0s).

Di Indonesia khususnya Aceh belum lama ini ramai dibicarakan di media televisi maupun media elektronik perihal penggunaan drone untuk melakukan penyemprotan tanaman (Band. Inovasi Drone Pertanian Karya Anak Bangsa - https://www.metrotvnews.com/play/NnjCdvmy-inovasi-drone-pertanian-karya-anak-bangsa).

Semua contoh ini membuktikan bahwa produktifitas pertanian tidak akan terjadi tanpa inovasi teknologi. Inovasi teknologi adalah hasil sebuah produk kebudayaan. Fase zaman yang berbeda membutuhkan teknologi pertanian yang berbeda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar