Rabu, 22 Januari 2020

MENGENAI KATA "BINI"



Lukisan Wanita Solo Karya Basoeki Abdoelah - Pinterest.com

Dalam beberapa tulisan sebelumnya, penulis telah membuat ulasan sejumlah istilah yang sudah dikenal di era kolonial dan masih dipergunakan di masa kini sebagaimana dalam artikel, “Perkara ‘Mata Gelap’ di Cilacap Tahun 1932: Mempelajari Situasi Sosial dan Munculnya Istilah-Istilah Hasil Pertemuan Bahasa Belanda dan Melayu (Indonesia)” (https://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com).

Kali ini kita akan melacak perihal kata “bini” dalam sebuah laporan berita. Sebuah kisah menarik yang terjadi di desa Sadang tahun 1903. Dalam sebuah koran yaitu De Preanger Bode bertanggal 22 Mei 1903 dikisahkan mengenai seorang haji bernama Wahab yang sedang kecurian. 

Tidak ada judul khusus yang dituliskan dalam koran tersebut. Saya lebih senang membuat judul, “Een Leuke Hadji” (Seorang Haji Yang Baik). Mengapa saya memberi judul tersebut? Karena laporan pendek tersebut dimulai dengan frasa, “Een leuke hadji is de hadji Wahab in de dessa Sadang” (Haji yang baik adalah Haji Wahab di dessa Sadang). Dan jika menyimak isi berita, maka akan terlihat mengenai kebaikan yang diperlihatkan seorang haji bernama Wahab yang justru memberi makan seorang pencuri di rumahnya.

Tidak diberikan keterangan Desa Sadang di wilayah Jawa Barat (Karesidenan Priangan) atau di wilayah Jawa Tengah (Karesidenan Bagelan) namun menilik nama korannya yaitu De Preanger Bode, mungkin saja Desa Sadang yang dimaksudkan adalah di kawasan Karesidenan Priangan. 


Demikian isi berita dalam koran tersebut:

Een leuke hadji is de hadji Wahab in de dessa Sadang. Vrijdagavond kreeg hij, terwijl hij en zijn gezin zich reeds ter ruste hadden begeven, bezoek van een dief

Toen deze bezig was, de etenskast open te maken, werd de hadji daarvan wakker, wekte zijn gezin en ging toen naar den dief, dien hij uitnoodigde voor hem plaats te remen.

De dief geheel verbouwereerd door deze hartelijke ontvangst, hurkte neder en Wahab beval zijn bini een kopje koffie den nachtelijken bezoeker in te schenken.

Zoo vertrouwelijk tegenover den schelm zittend, vroeg Wahab hem nu de reden van zijn komst en de verraste inlander vertelde hem, dat hij door den nood gedrongen tot diefstal was overgegaan.

Wahab gaf den dief een gulden en 10 gendeng rijst en de dankbare inbreker beloofde den hadji, dat hij zijn misdadig leven zou opgeven en weer zou trachten te worden een nuttig lid der maatschappij. Wij helpen het hem wenschen !”

Terjemahan bebas:

“Haji yang baik adalah Haji Wahab di desa Sadang. Pada Jumat malam, ketika dia dan keluarganya pergi tidur, dia dikunjungi oleh seorang pencuri.

Ketika si pencuri sibuk membuka lemari makanan, haji itu terbangun kemudian membangunkan keluarganya serta menemui si pencuri, yang kemudian dia panggil unuk meninggalkan (lemari itu).

Si pencuri sungguh bingung dengan sambutan yang hangat ini kemudian berjongkok dan Wahab memerintahkan bininya untuk menuangkan secangkir kopi kepada pengunjung malam itu.

Duduk dengan penuh percaya diri di seberang bajingan itu, Wahab sekarang menanyakan alasan kedatangannya, dan pribumi yang terkejut tersebut mengatakan bahwa ia telah melakukan pencurian.

Wahab memberi si pencuri tersebut guilden dan 10 g beras dan pencuri yang bersyukur tersebut berjanji pada haji bahwa dirinya akan berhenti dari kegiatan kriminalnya dan mencoba menjadi anggota masyarakat yang berguna lagi. Kami berharap demikian!”

Kita tinggalkan sejenak kisah kebaikan Haji Wahab di desa Sadang ini. Kita menggeser perhatian pada sebuah frasa yang menarik yaitu “zijn bini”. Saya hanya menerjemahkannya “bininya”. Jika membuka beberapa kamus bahasa Belanda, kita akan mendapatkan keterangan bahwa kata “bini” bisa bermakna “dua” namun juga bermakna “suku Negro di Afrika Barat” (enclylo.nl). Jika kata “bini” dalam laporan koran tersebut diartikan sebagaimana dalam kamus sungguh tidak masuk akal.

Sekalipun istilah “bini” lebih banyak kita dengar dalam ekspresi bahasa dan budaya Betawi namun ternyata dalam sejumlah laporan koran berbahasa Belanda sudah menjadi istilah umum yang dimaknai sebagai “istri”.

Ada sebuah laporan menarik dari koran Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië bertanggal 1 November 1935 sbb:


“Geneugten van Polygamie

Bini toewa tracht Bini moeda te Vergiftigen.

ANIP-Aneta meldt ons uit Djokja, dat zich in een desa in het Bantoolsche bij Djokja een drama heeft afgespeeld, waarbij een „bini toewa" haar rivale, de „bini moeda" eenige malen een dosis rattenkruid toediende. Het slachtoffer is gelukkig nog in leven.

De giftmengster heeft een bekentenis afgelegd”

Terjemahan bebas:

“Kenikmatan Poligami

Bini Toea encoba meracuni Bini Moeda.

ANIP-Aneta memberi tahu kami dari Yogya bahwa sebuah drama telah terjadi di desa di Bantukl dekat Yogya, di mana seorang "bini toewa" memberikan saingannya, "bini muda" beberapa kali dosis ramuan tikus. Untungnya, korban masih hidup.

Si pemberi campuran tersebut telah membuat pengakuan”

Mempertimbangkan penggunan kata “bini” dalam laporan koran tahun 1935 maka kata “bini” dalam laporan koran 1903 memang bermakna “istri”. Dalam hal ini, frasa “zijn bini” bermakna “istri Hadji Wahab”. Hanya yang menjadi persoalan, mengapa laporan dalam bahasa Belanda tersebut tidak menggunakan istilah “mevrouw” (nyonya)? Mungkin dikarenakan Hadji Wahab bukan orang Belanda dan si pencuri juga seorang “inlander” (pribumi) maka dipergunakan pilihan kata “bini” yang sudah familiar pada zamannya bermakna “istri”.

Sungguh menarik melacak asal-usul dan dinamika sebuah kata, istilah, nama dan perubahannya dari era yang telah berlalu hingga masa kini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar