Gombong, bukan hanya kota yang
menjadi melting pot (titik pertemuan) keragaman etnis dan dinamika ekonomi
melainkan menjadi kota yang penuh dengan jejak-jejak kolonial yang terpajang
dalam bentuk bangunan warisan Belanda, bangunan bergaya Indisch yang dimiliki
sejumlah etnis Tionghoa serta benteng yang dibangun di era pasca Perang Jawa
bernama Fort Cochius yang sejak tahun 2000 lebih dikenal dengan nama Benteng
Van Der Wijk.
Dalam sebuah artikel berjudul, Hotel
Para Meneer dan Mevrouw di Gombong Era Kolonial (http://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com)
yang ditulis oleh Teguh Hindarto, seorang peneliti sosial dan sejarah
dijelaskan bahwa di Gombong sejak tahun 1800-an telah terlacak keberadaan
sejumlah hotel melalui “advertentie” (iklan) di surat-surat Kabar. Nama
sejumlah hotel tersebut al., Hotel Gombong milik M. Pellen terlacak dalam iklan
De
Locomotief bertanggal 5 Mei 1880.
Hotel Richter milik A.A. Richter tercatat dalam iklan koran De
Preanger-bode bertanggal 07
November 1898.
Kemudian Hotel dan Toko Limun dan Mineral milik Ch. Rapaport
tercatat dalam iklan surat kabar De Preanger-bode bertanggal 1 November 1915. Bisnis air
mineral dan limun Ch. Rapaport sudah dimulai sejak tahun 1894 sebagaimana
terlacak dalam iklan yang dimuat surat kabar De Locomotief bertanggal
3 Desember 1895.
Artikel di atas telah menarik
perhatian seseorang bernama Uri Rapaport - seorang buyut dari keturunan Ch.
Rapaport yang tinggal di Belanda – karena nama leluhurnya disebutkan.
Ketertarikannya menghantarnya untuk menelusuri jejak pekerjaan dan tempat
tinggal buyutnya.
Pada tanggal 29 Juli 2019
akhirnya Uri Rapaport ditemani seorang wanita dari Yogya bernama Nuning
berhasil bertemu dengan Teguh Hindarto, penulis artikel tersebut dengan
didampingi teman-teman dari Komunitas Pusaka Gombong (KOPONG) di Rumah Martha
Tilaar. Percakapan berlangsung dengan hangat dan saling bertukar informasi dan
data terjadi.
Pertemuan diakhiri dengan
menelusuri sejumlah tempat yang diduga bekas bangunan toko dan hotel dengan
bantuan peta Gombong yang dibuat oleh orang Belanda yang memberi nama beberapa
lokasi penting dengan penomoran yang terpajang di Rumah Martha Tilaar.
Hotel Rapaport saat ini telah
menjadi kawasan rumah dengan lahan yang sangat luas karena saat dibeli tahun
1950 terbagi menjadi 17 kapling. Rumah itu saat ini dihuni oleh keluarga ibu
Sukardi. Lokasinya di samping kiri Gereja Kristen Indonesia (GKI) Gombong. Sementara pabrik dan depot limun dan air
mineral saat ini telah menjadi rumah milik Ibu Supini.
Kedua belah pihak nampak puas.
Uri Rapaport nampak puas telah berhasil menemukan lokasi bekas leluhurnya
pernah tinggal dan membuka usaha. Penulis artikel dan juga teman-teman
Komunitas Pusaka Gombong mendapatkan sejumlah informasi yang melengkapi narasi
yang selama ini masih teka-teki.
“The past in the key to the present” (masa lalu menjadi kunci
memahami masa kini), demikian ungkap Teguh Hindarto. Melalui pelacakkan
sejumlah dokumen kuno (past) baik berupa surat kabar, surat perjanjian, jurnal
- khususnya yang berbahasa Belanda – maka keberadaan sebuah bangunan di masa
kini (present) dapat dipahami konteks sosial politik dan sosial budaya yang
melatarbelakanginya.
**Artikel ini dimuat di Koran Kebumen Ekspres, 31 Juli 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar