Jumat, 05 April 2019

FOLKLORE SITUS KUNO LURAHKARSA DI DESA GIYANTI, ROWOKELE


Setiap desa yang berusia tua selalu memiliki dua hal yaitu folklore dan situs keramat, entah dalam bentuk makam punden/danyang desa maupun petilasan yang dianggap memiliki kekuatan magis tertentu. Sebagaimana dikatakan oleh Koentjaraningrat yang pernah melakukan riset di berbagai pedesaan di Jawa tahun akhir tahun 60-an mengatakan bahwa dimakam para pendiri desa dan tjakal bakal, makam mereka akan menjadi pusat peribadatan masyarakat sebagaimana dikatakan, “their graves are frequently the centers of local public worship” (Tjelapar dalam Village in Indonesia, 2007:168).



Folklore didefinisikan sebagai, “the traditional stories and culture of a group of people” (kisah-kisah dan budaya tradisional sekelompok orang  - dictionary.cambridge.org). Definisi lain menjelaskan: “(1) the unwritten literature of a people as expressed in folk tales, proverbs, riddles, songs, etc (2) the body of stories and legends attached to a particular place, group, activity, etc” (literatur tidak tertulis dari orang-orang sebagaimana diungkapkan dalam dongeng, amsal, teka-teki, lagu, dll. (2) kumpulan cerita dan legenda yang melekat pada tempat, kelompok, aktivitas, dll -www.collinsdictionary.com).


Setiap negara dan wilayah di dalam negara tersebut tentu memiliki sejumlah folklore. Foklore telah ada sebelum modernisasi melanda dan membentuk wajah suatu negara. Folklore sebagai bagian dari fakta sosial memiliki sejumlah fungsi dalam kehidupan sosial. James Dananjaya menyebutkan sejumlah fungsi folklore (Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng dll, 1981: 32-33) yaitu: (1) Sebagai alat pengesahan penata-penata dan lembaga-lembaga kebudayaan (2) Sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya. (3) Sebagai alat pendidikan anak (pedagogical device). (4) Sebagai sistem proyeksi (projective sytem), yakni sebagai alat pencerminan angan-angan kolektif.

Di sebuah desa yang sunyi dan dirimbuni pepohonan menahun dengan jalanan menaik menurun serta mengelok namun telah diaspal dan dipelur tepatnya di dukuh Lurahkarsa, Desa Giyanti, Kecamatan Rowokele berdiam sebuah situs yang dikeramatkan oleh warga sekitar beserta folklore yang mengitarinya.

Ketika penulis mengunjungi lokasi tersebut, hanya berupa gundukkan batu dan ada bekas menyan dibakar serta plang bertuliskan Komplek Punden Lurahkarsa. Tidak ada yang bisa dimintai keterangan dari penduduk sekitar karena beberapa orang memberikan keterangan tidak memadai dan saling kontradiktif. Bahkan tidak menduga jika di tempat saya berdiri di mana plang berada ternyata masih ada sejumlah situs kuno lainnya.

Akhirnya saya berhasil menemui Bapak Miryadi atas rujukkan penduduk sekitar situs kuno. Beliau semacam Juru Kunci yang dianggap lebih mengetahui keberadaan dan fungsi situs tersebut. Ada percakapan menarik saat saya menunggu di rumah Bapak Miryadi karena beliau sedang berada di luar rumah dan disusul oleh salah satu menantunya. Ibu Miryadi bertanya pada saya, “Bade Nyaleg napa pak?” Kontan saya tersenyum dan lekas-lekas memberi penjelasan bahwa kedatangan saya hendak melakukan riset sosial dan menulis. Pertanyaan tersebut memberi saya sedikit gambaran perihal status sosial dan peran Bapak Miryadi dan juga fungsi situs kuno yang hendak saya ketahui lebih banyak kisah dibaliknya dan perannya di dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Apalagi situs ini masuk dalam daftar kawasan Geopark karena dilalui rute singkapan geologis. Bahkan tidak jauh dari situs kuno tersebut terdapat aliran sungai dan batu-batu bear berserakkan di areal sawah warga.

Dari hasil wawancara singkat baik di rumah dan di lokasi situs kuno, saya mendapatkan sejumlah keterangan menarik bahwa ternyata ada empat situs kuno yang tersebar di sekitar kawasan. Situs pertama bernama Sironggeng, situs kedua bernama Lurahkarsa, situs ketiga Watu Belah serta situs keempat bernama Sibuda.


Sembari berjalan mengitari dan mendatangi sejumlah situs saya mendengar penuturan Bapak Miryadi. Keberadaan situs kuno ini bukan komplek pemakaman sekalipun ada tumpukkan batu-batu berbahan andesit yang disusun dengan pola tertentu. Memasuki lokasi seperti lorong yang di kelilingi sejumlah pohon besar dan berusia tua, al., Nagasari dan Wit Rah (Jika ditebang mengeluarkan cairan berwarna merah seperti darah), ada areal luas tanpa struktur bangunan tertentu namun sejumlah tumpukkan batu andesit membentuk seperti pagar dan di tengah terdapat beberapa penampakkan batu andesit yang di susun dengan pola tertentu seakan terlihat seperti kuburan. Penampakkan bekas pembakaran menyan terlihat di salah satu susunan batu.

 

Bapak Miryadi menghubungkan petilasan Mbah Agung Kanjeng Lurahkarsa ini dengan nama seorang tokoh wali bernama Sunan Bonang. Ketika saya tanyakan darimana sumber kisah ini, beliau yang lahir di tahun 1932 ini hanya mengatakan bahwa kisah ini didapatnya dari orang tuanya sejak masa mudanya dahulu. Entah mengapa Sunan Bonang menggunakan atau disebut Lurah Karsa dan bagaimana beliau sampai ke tempat ini, karena Bapak Miryadipun tidak dapat menjelaskannya.


Situs bernama Lurahkarsa ini kerap dijadikan tempat untuk memohonkan sesuatu yang berkaitan dengan hajat keekonomian, kedudukan, pekerjaan. Mereka yang datang ke tempat ini rata-rata dari wilayah sekitar desa Giyanti maupun lokasi di luar Giyanti seperti Cilacap. Bapak Miryadi akan menjalankan peran sebagai perantara yang menghantarkan doa-doa. Apabila apa yang dimintakan telah dikabulkan, mereka diminta untuk “menebus” dengan membagikan makanan berupa nasi penggel dan sayuran yang dimakan bersama di tempat tersebut.


Beralih ke situs lainnya yang bernama Sironggeng. Menurut penuturan Bapak Miryadi, saat itu Sunan Bonang sedang melihat seseorang sedang berkerumun melaksanakan kenduren. Ketika melihat nasi tumpengnya seperti batu, Sunan Bonang berkata, “Dening tumpenge kaya watu?” (Khoq tumpengnya seperti batu?). Tiba-tiba tumpeng tersebut berubah menjadi batu. Entah menggapa dan bagaimana hubungan nama Sironggeng dengan batu berbentuk tumpeng kecil tersebut. Penulispun tidak mendapatkan keterangan yang memadai.

Situs berikutnya bernama Watu Belah. Konon saat Sunan Bonang mencuci lancingan (kain ketat untuk celana dalam) dan mengeringkan di atas batu. Saat sudah kering dan hendak diambil, nampak hewan kecil yaitu tuma alias kutu. Ketika tuma atau kutu tersebut dipithes (ditekan agar mati), batunya ikut terbelah dua. Bagi Mbah Miryadi, ucapan dan tindakkan orang dahulu kala yang dianggap memiliki pengetahuan tinggi di bidang keagamaan sangat sakti dan manjur serta berdampak seketika.

Situs terakhir bernama Sibudha. Mbah Maryadi tidak bisa memberikan keterangan selain keberadaan batu ini diyakini sebagai punden bagi orang-orang Budha. Di Desa Giyanti terdapat umat Budha dan vihara bernama Marga Giri Dharma dan vihara Giri Pura Kalibatur. Jika naik terus ke atas pedukuhan ini maka akan sampai di Dukuh Temetes Desa Wonoharjo dimana tinggal sejumlah umat Budha dengan vihara bernama Vanna Metta Bhumi. Nampaknya nama Giri (gunung), Kalibatur (sungai berbatu), Bhumi (tanah) yang disematkan pada sejumlah vihara tersebut berkaitan dengan kontur wilayah yang di aliri sungai-sungai berbatu besar dan berlokasi di wilayah perbukitan tinggi.


Itulah sekelumit folklore yang mengitari situs kuno bernama Lurahkarsa, Sironggeng, Watu Belah dan Sibudha diDukuh Lurahkarsa Desa Giyanti. Sesuai dengan salah satu ciri folklore yaitu, “Bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum. Ciri ini terutama berlaku bagi folklor lisan dan sebagian lisan” (Dananjaya, 1981-5-6), demikian pula kisah-kisah di atas tidak dapat dipastikan historisitasnya dan selayaknya ditempatkan sebagai sebuah folklore masyarakat yang salah satunya menjalankan fungsi pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya (Dananjaya, 1981:32-33).


Angin sore yang lembab seusai gerimis mengakhiri percakapan dan penelusuran situs kuno kali ini. Menunggu angin berikutnya membawa perjalanan dan penelusuran menyibak rimbun pepohonan pedesaan untuk mengisahkan cerita, sejarah dan sitz im leben alias konteks sosial sebuah kisah bermula.


2 komentar:

  1. Terima kasih sudah mampir dan menulis yang sangat bermanfaat buat pengetahuan,saya sendiri lahir di lurakarsa,dan hampir hari hari lewat punden itu.

    BalasHapus
  2. Sangat bagus dan menarik sejarah desa Giyanti rowokele kebumen

    BalasHapus