Sabtu, 03 November 2018

DARI ARGOPENI KE SRATI: INTERPRETASI PENEMUAN KOIN KUNO DAN PELURU HINGGA KUBURAN KUNO


Siang itu penulis mengunjungi untuk kesekian kali lokasi bekas peninggalan Jepang di bukit Gajah, Argopeni, Kebumen yaitu sebuah bangunan yang tersebar di beberapa titik yang jumlahnya ada sembilan.


Peninggalan bekas tentara Jepang ini lebih pada sebuah tempat pengintaian yang terbuat dari beton namun nampaknya belum sempat dipergunakan. Nampak di dalamnya tempat menaruh senjata yang diarahkan ke pantai di bawahnya. Masyarakat menyebutnya dengan beberapa nama al., “benteng pendem” dan “gua jepang” serta “bunker”.

Sejak kunjungan pertama dan menuliskannya di blog ini (Januari 2018), lokasi ini menjadi tempat berkunjung sejumlah siswa sekolah dan wisatawan. Tidak ada yang berbeda dari kunjungan pertama hanya lebih bersih dan terawat dengan semak belukar yang kerap dibakar.

Tidak jauh dari lokasi situs yang penulis kunjungi, sebuah warung kopi bernama “Warunk Kopi Benteng” milik Jaeni menjadi jujugan beberapa orang yang ingin menikmati segelas kopi dan dawet serta sejumlah camilan khas lainnya yaitu mendoan. Beberapa pembeli meminum kopi sembari memanfaatkan berfoto di samping lukisan yang sengaja disediakkan Jaeni untuk lokasi berfoto.

Siang itu, penulis memenuhi janji untuk menemui Jaeni untuk melihat beberapa barang temuan yang didapatkan pamannya yang bernama Siran saat berada di sungai Gemulung yang ada di Desa Srati. Barang temuan tersebut ternyata 11 koin mata uang dari periode waktu yang berbeda (era Tiongkok, era kolonial Belanda dan era pemerintahan Republik Indonesia masa pemerintahan Sukarno) serta sejumlah proyektil peluru aktif. Sayangnya Siran yang menemukkan sejumlah barang ini tidak mampu mengingat dengan jelas kapan dia menemukkan. Namun lebih dari satu tahun nampaknya.


Mata Uang Tiongkok

Tidak jelas bagaimana mata uang era Tiongkok ini bisa berada di sungai Srati ini. Mata uang Tiongkok yang lazim disebut Picis atau Kepeng sudah dipergunakkan di era Majapahit (Abad 15 Ms). Mata uang Tiongkok inipun belum dapat dipastikkan dari era dinasti mana. Namun tidak semua koin berlubang merujuk pada mata uang Tiongkok. Di Nusantara dikenal istilah Gobog yang bisa merujuk pada mata uang Tiongkok namun bisa merujuk beberapa wilayah lokal di Nusantara baik di Bali, Banten dll. Bedanya mata uang Gobog memiliki motif hiasan yang bukan berhuruf kanji.



Mata Uang Belanda

Selain penemuan mata uang Tiongkok juga ditemukkan mata uang era kolonial Belanda yang biasa disebut Benggol dengan penampakkan mahkota dijunjung singa bertarikh 1921. Mata uang era kolonial terdiri dari Bil (0,5 sen), Sen (2 Bil), Benggol/Gobang (2,5 sen), Kelip (5 sen), Ketip (10 sen), Stalen (25 sen), Perak (100 sen), Ringgit (2,5 rupiah).

Mata uang Benggol sudah ada sejak tahun 1800-an hingga tahun 1945. Yang bertarikh 1945 biasanya dipergunakan oleh masyarakat pedesaan untuk kerokkan jika seseorang mengalami “masuk angin”.



Mata Uang Republik Indonesia

Mata uang Republik Indonesia era pemerintahan Presiden Sukarno yaitu sebesar 50 sen dengan gambar Pangeran Diponegoro dengan hiasan bahasa Arab di sekeliling wajah Diponegoro. Wajah Diponegoro adalah tokoh nasional yang diabadikkan dalam bentuk uang logam setelah Sukarno. Tahun 1966, uang logam 50 sen bergambar Diponegoro ditarik dari peredaran.


 

Alat Putar Lampu Teplok

Sebuah benda yang semula diduga koin dengan hiasan bintang segi lima dengan tertulis nama Asahi dan dibaliknya tertulis kalimat Made in Japan. Ternyata ini adalah hiasan pada alat putar mematikkan dan menghidupkan lampu teplok yang menggunakan semprong di era kolonial maupun era pasca kolonial. Tidak jelas alat pemutar merk Asahi ini dibuat tahun berapa.


 

Tiga butir peluru aktif

Selain koin mata uang dari berbagai era yang berbeda juga ditemukkan proyektil peluru (mata peluru, anak peluru) tajam sebanyak 3 butir yang belum sempat dipergunakan. Dua diantaranya tertulis kode PIN dan yang lebih kecil tertulis kode W. Belum dapat dipastikkan apakah keberadaan peluru-peluru tersebut dari era kolonial Belanda dan Jepang saat melakukan pertempuran dengan tentara Indonesia atau dari periode setelah itu.


  

Dalam perbincangan perihal penemuan tersebut di Sungai Gemulung Desa Srati, percakapan bergeser ke lokasi makam tua yang dikeramatkan di Desa Srati. Penulis tidak terlalu tertarik dengan kata “keramat” yang dilekatkan dengan keberadaan makam tua tersebut namun lebih kepada kekunoan, model nisan dan siapa yang terbaring di sana.

Keberadaan makam kuno di suatu wilayah biasanya dihubungkan nama tokoh tertentu sebagai pendiri desa, penguasa wilayah, bupati. Di wilayah Kebumen sendiri tersebar belasan makam kuno yang dihubungkan dengan ketokohan tertentu dan kerap disambangi banyak orang dengan berbagai keperluan. Beberapa maka tersebut al.,
  1. Makam Panembahan Agung Kajoran/mBah Agung di Ds.Kajoran Karanggayam
  2. Makam Panembahan Eyang Sepuh Purnomo Sidik, Candi, Karanganyar
  3. Makam Panembahan Duryudana, Sempor
  4. Makam Panembahan Eyang Tumenggung Singa Taruna, Tresnorejo, Petanahan
  5. Makam Panembahan Eyang Tumenggung Singa Ndanu, Puring
  6. Makam Panembahan Eyang Tumenggung Carangnolo, Puring
  7. Makam Panembahan Eyang Tumenggung Wono Salam, Sekarteja, Adimulyo
  8. Makam Panembahan Eyang Dipawetjana, Sidomulyo, Adimulyo
  9. Makam Panembahan Eyang Sepuh Joko Puring, Puring
  10. Makam Syaikh Abbas, Dorowati, Klirong
  11. Makam Syaikh Pandan Arum, Karangreja, Petanahan
  12. Makam Panembahan Kalang Kadirja, Braja, Karangduwur, Petanahan
  13. Makam Syech Bagus ‘Ali (Panggel, Panjer, Kebumen)
  14. Makam Syech Sirnoboyo (Kuwarisan, Panjer, Kebumen)
  15. Makam Syech Gesing (Gesing, Adikarso, Kebumen)
  16. Makam Syekh Ibrahim Asmorokondi Kuwarisan Panjer Kebumen
  17. Makam R. Joko Murtani makamnya di Gunung Tumpeng
  18. Makam Syeh Abdul Qodir Ad-Daratan, Syeh Bledug Jagung, Syeh Abdul Qodir An-Daratany, Mbah Kyai Sodri, Eyang Doro Bei, Kradenan Ambal
  19. Makam Arung Binang I, (Joko Sangkrib),di Kalibejen, Kutawinangun
  20. Makam Bumidirjo di Kutowinangun
  21. Makam Tumenggung Kolopaking di Kalijirek
  22. Makam Tan Peng Nio, di desa Jatimulyo
Beberapa kilometer menuruni Desa Argopeni sampailah kami di Desa Srati dan mendapati areal pemakaman desa di belakang sebuah sekolah dasar dan tidak jauh dari sungai Gemulung.

Melihat penampakkan areal pemakaman cukup menarik karena banyak nisan tidak bertuliskan namanya dan menggunakan batu kali sebagai nisan. Di sudut areal pemakaman di bawah pohon yang cukup besar terbaring empat makam yang dibatasi dengan pagar tembok oleh masyarakat desa.






Sangat menarik melihat penampakkan makam ini karena bentuknya yang panjang melebihi makam pada umumnya dan tumpukkan batu-batu andesit yang lazim dipergunakkan untuk membuat candi dan berada di kawasan tinggi dan keberadaan gunung purba.

Keunikkan lainnya adalah salah satu makam berisikkan tumpukkan batu andesit yang dibentuk seperti batu persegi dan ditumpangkan begitu saja di atas gundukkan tanah tersebut. Sementara dua yang lain berisikkan batu andesit yang belum dibentuk sama sekali. Dan yang dekat pintu masuk makam dengan bentuk memanjang dikelilingi oleh batu-batu andesit. Entah mengapa bentuknya sangat panjang melebihi ukuran makam di sekitarnya.
Nisannya yang terbuat dari batu andesit tidak menuliskan nama namun nampaknya ada sejumlah motif ukir yang tidak begitu jelas bentuknya apakah motif bunga ataukah yang lain. Menurut beberapa sumber, nama keempat orang yang terbaring tersebut adalah Mbah Suryadikesumo, Mbah Bekel, Den Bagus Sosro dan Den Bagus Cemeti.



Makam dan nisan ini nampaknya bercorak Islam yang dipengaruhi tradisi Hindu dalam penggunaan batu andesit dan motif pada nisan. Nisan, merupakkan peninggalan kebudayaan terkait dengan sistem penguburan yang banyak ditemukkan pada sejumlah situs arkeologi dari era Islam.

Sejumlah pengaruh Islam pada tradisi penguburan di Abad ke 11 Ms dapat terlihat di daerah Lobu Tua, Barus, Sumatra Utara dan Makam Fatimah binti maimun di Leran, Gresik, Jawa Timur. Nisan-nisan kuno di Nusantara memiliki pola tertentu yang menjadi karakteristik suatu daerah sebagaimana pernah dilakukan oleh Hasan Muarif Ambary dalam bukunya, Menemukan Peradaban, Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998).

Dalam bukunya, Ambary membagi tipo-kronologi nisan di Nusantara menjadi empat tipe yaitu Aceh, Demak-Troloyo, Bugis-Makasar dan Ternate-Tidore. Tiap tipe nisan di suatu daerah masih terbagi dalam beberapa bentuk nisan, sebagaimana penelitian Muhammad Nur yang mengelompokkan bentuk-bentuk nisan di Makam Mattako, Maros, Sulawesi Selatan menjadi bentuk pedang, bentuk gada, bentuk phallus, bentuk menhir, bentuk arca menhir dan bentuk Aceh jenis K (Unsur Budaya Prasejarah dan Tipo-Kronologi Nisan di Kompleks Makam Mattakko, Maros, Sulawesi Selatan dalam Jurnal Papua, Vol 9 No 1 Juni 2017, hal 63).

Merujuk penjelasan literatur di atas, sangat mungkin empat makam dengan nisan terbuat dari batu andesit ini bercorak Islam dengan sejumlah pengaruh Hindu dengan model nisan Demak-Troloyo, sekalipun keempat orang yang terbaring tersebut belum tentu berasal dari Demak.

Sekalipun bentuk makam hanya berupa gundukkan tanah ditutupi batu-batu andesit berbentuk segi empat ataupun hanya gumpalan batu tidak beraturan, keberadaan makam ini sangat rapih dan bersih. Dari penampakkan menyan yang dibakar, nampaknya makam ini kerap dikunjungi oleh orang-orang tertentu yang hendak berziarah dan memiliki kepentingan tertentu.

Dari penelusuran dan pemaparan berbagai temuan maupun lokasi pemakaman kuno khususnya Desa Srati, nampaknya wilayah-wilayah yang dekat dengan kawasan karst ini telah memiliki banyak kisah di masa lampau dari lapisan demi lapisan zaman baik di era Mataram, era kolonialisme Belanda dan Jepang.

Kiranya ulasan dan interpretasi terhadap sejumlah temuan benda-benda tertentu dan artefak berupa makam kuno dapat menjadi pendahuluan dan pembuka bagi riset-riset sejarah lokal selanjutnya.

4 komentar:

  1. Semoga ini menjadi awal yang baik untuk mengungkap sejarah di wilayah gombong selatan khususnya Argopeni,srati dan sekitarnya.

    BalasHapus
  2. Harus dapat disampaikan kepada masyarakat agar menjadi kekayaan budaya dan sejarah di Kebumen

    BalasHapus
  3. Banyak cerita yang jadi hikayat tanpa kejelasan asal usulnya. Terima kasih sudah berbagi informasi.

    BalasHapus