Kamis, 01 November 2018

MELACAK JEJAK TIGA NISAN DI KARANGDUREN GOMBONG


Pagi itu, penulis memenuhi ajakkan Pak Sigit Asmodiwongso (Kepala Rumah Martha Tilaar, Gombong) untuk melakukan sebuah penelusuran terhadap kawasan pekuburan umum Karangduren, Desa Keputihan, Kecamatan Gombong.

Di areal pekuburan umum tersebut ada satu rumah besar kuno yang menjadi kawasan pekuburan keluarga yang di dalamnya ada tiga nisan besar dan di sekitarnya ada beberapa nisan beberapa anggota keluarga lainnya. Di selatan rumah besar berisikkan tiga nisan besar, beberapa ratus meter dari rel kereta api, ada areal pemakaman keluarga yang di tembok dan agak rapat dipenuhi makam keluarga yang nampaknya masih terhubung dengan nisan yang berada di rumah besar kuno tersebut.


Ada yang menarik saat memasuki kawasan makam keluarga. Ada tiga nama tertulis masing-masing atas nama Hadji Moh Moehsin (wafat tahun 1919) dan disampingnya nisan berwarna kuning dengan nama Embok Haji Moch Moeksin (wafat tahun 1929). Pada nisan bernama Hadji Moh Moehsin berbeda dengan nisan yang lain dan masyarakat pada umumnya yaitu ditandai dengan semacam mahkota raja-raja Eropa yang terbuat dari batu dan salah satu dari nisan tersebut telah mengalami kerusakkan.

 

Sementara beberapa meter dari nisan Hadji Moh Moehsin terbaring sebuah nisan yang panjang dan agak besar dengan tiga susunan serta berlapis semacam batu marmer yang sebagiannya sudah mengelupas. Selain bentuknya yang unik dan paling berbeda dengan dua makam sebelumnya, di atas dinding tembok di utara nisan terpancang sebuah plakat yang dituliskan dalam bahasa Jawa Kawi dan terjemahan dalam bahasa Indonesia yang sudah mengusam dan terbaca sbb, “Yang ini makamnya B.M. Karso Prawiro bin B.M. Harjodinomo meninggal hari Minggu Pon jam 5.15 sore 25 -7 - 1926 atau  14 -1- 1857 terkubur Senin wage jam setengah empat siang 26-7-1926 atau 15-1-1857”. Di atas tulisan tersebut ada lambang mahkota Kerajaan Belanda namun di bawahnya bertuliskan huruf Arab yaitu “Allah” dan “Muhammad”.


Dari penampakkan nisan tersebut sudah jelas bahwa mereka bertiga yang terbaring adalah seorang yang beragama Muslim. Namun penampakkan simbol mahkota Kerajaan Belanda dan nisan berbentuk mahkota Belanda menyisakan pertanyaan menarik perihal siapakah orang yang terbaring dengan nama B.M Karso Prawiro ini?

Dari tarikh kewafatannya yaitu 1857 berarti beliau hidup di era kolonialisme Belada saat diperintah oleh Raja Willem III yang naik tahta tahun 1849 dan turun tahta karena wafat pada tahun 1890. Sebagaimana diketahui umum bahwa pada tahun 1890 Kerajaan Belanda kemudian diperintah oleh Ratu Wilhelmina dari tahun 1890 sampai 1948.

Penulis mencoba menghubungi salah satu nama yang bisa dimintai keterangan perihal siapa jatidiri tiga makam terbaring di rumah besar tersebut, sayangnya tidak sedikitpun keterangan yang dapat diperoleh dengan memuaskan.

Karena belum berhasil mendapatkan informasi dan keterangan yang memadai perihal siapa dan bagaimana, penulis hanya berusaha memperkirakan perihal status sosial tiga orang yang terbaring dalam makam yang besar tersebut khususnya pemilik nama Hadji Moh Moehsin dan B.M. Karso Prawiro.


Pemilik nisan bernama B.M. Karso Prawiro nampaknya seseorang berjabatan tinggi di era kolonial semasa Raja Wilhem III memerintah. Kemungkinan salah seorang ambtenaar (pegawai kolonial atau sekarang setara dengan Aparatur Sipil Negara (ASN). Pada tahun 1806, Daendles membawa konsep birokrasi modern yang meromabk sistem birokrasi VOC. Daendles merekrut bupati-bupati sebagai pegawainya yang diambil dari kalangan bangsawan dan priyayi. Mereka biasa disebut dengan Volkshoofden (pemimpin rakyat).

Peran mereka semakin menonjol di era Tanam Paksa (1830-1870) karena menjadi ujung tombak pemerintah kolonial untuk memperoleh hasil pertanian. Mereka mendapat tanggung jawab untuk meningkatkan produktifitas hasil agraria ekspor dan mengoordinasikan para petani pemilik tanah.


Dengan melihat tarikh kewafatan B.M. Karso Prawiro yang hidup di era Tanam Paksa dan lambang Kerajaan Belanda serta bentuk makam yang besar dan panjang serta rumah yang besar dan tinggi, patut diduga beliau adalah seseorang yang memiliki jabatan penting di pemerintahan kolonial. Apakah beliau bertugas di Gombong atau di luar Gombong kemudian saat wafat dibawa dan dikebumikan di Gombong, penulis belum bisa memastikannya.

Adapun nisan bernama Hadji Moh Moehsin lebih menarik lagi dikarenakan nisannya berbentuk mahkota kerajaan Belanda yang terbuat dari batu. Nampaknya Hadji Moh Moehsin adalah anak dari B.M. Karso Prawiro. Penulis tidak mendapatkan keterangan yang memadai untuk menjelaskan jatidiri beliau. Apakah sekedar hiasan belaka? Ataukah sekedar bersimpati dan ingin mengidentifikasi dengan kebudayaan Belanda? Ataukah beliau salah seorang yang masuk golongan “Kalang” di Gombong? Tidak dapat dipastikan.

Siapakah orang “Kalang” itu? Banyak buku diterbitkan oleh penulis Barat dan juga dalam negeri baik di era kolonial ataupun modern dalam bentuk buku, jurnal, skripsi, perihal siapa dan bagaimana mereka yang disebut “Orang Kalang”. Sebutlah Thomas Stamford Raffles dalam bukunya History of Java. Volume 1 (Kuala Lumpur:Oxford University Press,1978). Demikian pula buku tiga volume karya Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya 3 (Jakarta: Gramedia, 2008), mengulas perihal eksistensi “Orang Kalang”. Claude Guillot, yag menuliskan artikelnya berjudul, “Orang Kalang di Pulau Jawa Juru Angkut dan Pegadaian”, yang dimuat dalam buku karya Henri Chambert Loir & Hasan Muarif Ambary dengan judul, Panggung Sejarah, (Jakarta: YOI,2011).

Orang Kalang yang eksistensinya sudah sangat tua di era raja-raja khususnya era Mataram adalah kelompok sosial yang akhirnya berkembang menjadi pedagang dan pengusaha yang tersebar luas di Jawa baik di Cilacap maupun Kebumen khususnya. Mengutip Skripsi Pradita Devis Dukarno perihal kemampuan perekonomian orang Kalang, “Menurut J. Knebel, salah satu orang Kalang yang terkenal di Petanahan, Kebumen yakni Bradjasinga. Ia juga menjelaskan tentang kemampuan perempuan dan laki-laki Kalang dalam ekonomi dapat disejajarkan dengan orang-orang Tionghoa” (Sejarah Ekonomi Orang Kalang Di Cilacap dan Kebumen, 1950-an – 199-an, Skripsi 2013:51).

Kembali kepada Hadji Moh Moehsin. Apakah beliau salah satu pengusaha dari kalangan orang Kalang? Belum dapat dipastikan. Namun jika beliau berasal dari kalangan orang Kalang, sementara orang Kalang pada umumnya adalah kelas pengusaha, lantas dengan alasan apa nisan bermotif mahkota Kerajaan Belanda disematkan di atas makamnya? Dugaan yang lebih masuk akal adalah beliau – sebagaimana ayahnya, BM. Karso Prawiro adalah seseorang yang memiliki status sosial dan kedudukkan penting di era kolonial. Tahun 1919-1920-an adalah era kejayaan serikat buruh di berbagai penjuru wilayah Hindia Belanda. Menjelang tahun 1920 sudah terdapat hampir 100.000 buruh dan Vereeniging van Spoor-en Tramweg Personeel in Nederlandsch Indie (VSTP) yang dipimpin Semaoen tercatat sebagai organisasi kaum buruh yang paling militan dan berpengaruh.

Adapun nisan bernama Embok Haji Moch Moeksin yang adalah istri  Hadji Moh Moehsin yang wafat tahun 1929, tahun dimana Hindia Belanda dan dunia pada umumnya sedang mengalami dampak guncangan ekonomi yang buruk yang lazim disebut dengan Great Depression (1929-1939) atau dikenal dengan istilah Malaise. Orang-orang Hindia Belanda menyebutnya dengan istilah Zaman Meleset.

Dari analisis sosio historis keberadaan tiga makam unik di areal pekuburan Karangduren, Desa Keputihan, Kecamatan Gombong kita mendapatkan tiga orang dengan status sosial tinggi yang hidup di era kolonial yang penting yaitu era Tanam Paksa, era kejayaan buruh serta era Malaise.

Tulisan ini masih terbuka terhadap sejumlah informasi yang lebih melengkapi khususnya perihal kisah dan kedudukkan sosial mereka pada zamannya. Kiranya tulisan awal ini menjadi pembuka pada penelitian-penelitian sejarah sosial dan lokal berikutnya di wilayah Kabupaten Kebumen dan Kecamatan Gombong khususnya.

5 komentar:

  1. Ada dengar kisah seorang wedana yg ditembak Belanda bareng sama kudanya, dimakamkan nya pun bersebelahan dgn makam kudanya, ( ada di kumpulan pemakaman keturunan Arab , makam paling panjang ) ada topi di atas pemakamannya )) terima kasih

    BalasHapus
  2. Dulu ada nama di gombong h banjir punya anak bernama umar ( guru ngaji ) skitar tahun 1940 an

    BalasHapus
  3. Kata almarhum bapakku. Kakeknya bapakku melarikan diri ke Medan dari Gombong karena tidak ingin melakukan perintah Belanda dan merupakan keturunan kerajaan di Gombong. Aku hanya ingin memastikan kebenaran sejarah keluargaku.

    BalasHapus