Senin, 10 Desember 2018

URBAN FOOD DENGAN SUASANA KLASIK DAN HISTORIS


“Kopi, bukan sekedar minuman biasa tapi ajakkan untuk hidup!”, demikian ungkapan puitis Diego Valdez (seorang pemilik perkebunan kopi di Colombia yang bersikap konservatif terhadap modernisasi kopi) kepada Zoe Walker (ilmuwan makanan yang telah dikirim ke Colombia untuk mendesain cita rasa kopi yang menarik bagi generasi milenial dan bekerja untuk Star Kreme) dalam film romansa Cup of Love. Dalam penggalan percakapan sebuah film berbahasa Indonesia berjudul Filosofi Kopi, dengan tema kopi berbalut romansa kita mendengar ungkapan, “Setiap karakter dan arti kehidupan dapat kita temukan dalam secangkir kopi. Selama ada yang namanya kopi, orang-orang dapat menemukan dirinya di sini”.


Ketika berbicara kopi, kita memang tidak sekedar berbicara sebuah minuman berwarna hitam yang berasal dari Etiopia (ditemukan oleh Kaldi seorang penggembala yang memperhatikan domba-dombanya mengunyah sebuah buah yang dikemudian hari dinamakan kopi - https://www.gocoffeego.com/ ) namun berbicara banyak kisah, mulai darimana kopi ditemukan dan ke mana bermigrasi, peran sosial kedai-kedai kopi dalam pembentukkan opini publik, kelas-kelas sosial para penikmat jenis kopi, sederetan kalimat-kalimat filosofis yang dilekatkan kepada secangkir kopi dan sederetan kisah lainnya.


Malam itu, saya meluangkan waktu bersama istri mengunjungi Beranda Caffe yang terletak di Jl. Pemuda 87. Hujan cukup deras dan kami berjalan kaki berpayung menikmati udara malam yang dingin dan basah, karena lokasinya tidak terlalu jauh dari rumah tinggal kami.

Ini bukan untuk yang pertama kalinya. Namun kali ini ingin berbincang-bincang dengan Bapak Sugeng (pemilik Muncul Bursa Motor orang tua Lily Mulyani owner Beranda Eatery) ingin menggali informasi lebih banyak tentang pemilik pertama rumah sebelum kemudian berpindah menjadi kedai kopi yang disebut-sebut sebagai dokter pertama di Kebumen bernama dr. Soedirman yang kemudian namanya diabadikkan menjadi sebuah nama rumah sakit daerah sejak tahun 2014.


Sayang malam itu, percakapan hanya berjalan beberapa menit dan saya harus kecewa karena Bapak Sugeng Budiawan tidak begitu memahami siapa dr. Sudirman dan beliau memberikan nomor kontak ahli warisnya yang tinggal di luar Jawa yang katanya terkadang masih mengunjungi kedai kopi ini untuk sekedar bernostalgia dengan rumah lama mereka.


Satu Jam setelah saya dan istri menghabiskan beberapa menu pesanan percakapan bergeser secara tidak sengaja kepada Lily Mulyani. Perempuan muda berkamata yang masih melajang dan berlatar belakang Desain Interior di Singgapura ini banyak bercerita mengenai konsep yang diusung melalui kehadiran Beranda Eatery.

Percakapan beberapa menit dengan Lily memperlihatkan sejumlah kesan perihal idealism, passion (hasrat) serta modernity (kemodernan) yang memancar dibalik barisan tuturan verbalnya saat bercerita mengenai cita rasa dan kualitas sebuah kopi.

Idealisme Lily diperlihatkan saat dengan bersemangat menceritakan konsep urban food (makanan perkotaan) melalui kehadiran Beranda Eatery. Lily ingin memperlihatkan kepada masyarakat Kebumen bahwa untuk menikmati sejumlah hidangan berkelas tidak harus ke Yogyakarta atau Semarang yang kerap menjadi sentrum melainkan memulainya dari kotanya sendiri.


Konsep urban food bukan sekedar meretas pencarian para pecinta kuliner dan penikmat kopi agar tidak mencari ke kota-kota rujukkan namun juga memperkenalkan kepada masyarakat Kebumen sebuah taste (cita rasa) dari urban food. Saya menyenangi konsistensi Lily karena tidak berniat mengubah taste sebuah jenis makanan urban food menjadi taste yang cocok dengan lidah Kebumen. Saya kerap menggelengkan kepala ketika ada jenis makanan yang dijual dengan mengatasnamakan khas kota tertentu namun cita rasanya tunduk pada kemauan konsumen yang memaksakan harus taste Kebumen. Bagaimana kita bisa memiliki keluasan pemahaman terhadap taste (cita rasa) makanan di luar Kebumen jika kita harus mengurangi keutuhan dan karakteristik taste yang bukan berasal dari Kebumen?


Tentu saja idealisme ini menuntut sajian yang berkualitas dalam hidangan baik makanan maupun minuman khususnya kopi. Sebuah kualitas tentu membutuhkan harga yang agak merogoh kocek.

Berbicara tentang kopi, Lily berkisah dengan penuh passion (hasrat) darimana dia belajar secara otodidak melalui interaksi sosialnya selama di luar negeri dan di dalam negeri perihal menemukan sebuah cita rasa kopi yang ideal dan bernilai jual yang menghantarkan dirinya untuk memberanikan diri memulainya di sebuah kota kecil bernama Kebumen.

Lily menceritakan secara terbuka darimana dia memperoleh roasting (perihal apa dan bagaimana roasting dapat membaca artikel berikut -  https://coffeeland.co.id) kopinya mulai dari Semarang, Bandung dan sejumlah kota yang mana dia memperolehnya dari roster yang telah memiliki sertifikasi. Dengan cara ini, Lily ingin memperlihatkan keunggulan Beranda Eatery dalam usahanya menyajikan sebuah sajian kopi berstandard.

Konsep modernity yang diterapkan oleh Lily dalam membangun usaha kedai kopinya bukan semata-mata keterlibatan peralatan modern dalam proses rosting yang kemudian akan menjadi rujukkan pembeliannya namun juga dalam penyajian peracikkan kopi yang terbuka di meja bar serta dapur yang mencerminkan kebersihan yang dapat dilihat oleh para penikmat kopi dan makanan yang disajikan. Di meja bar tersedia jenis kopi dan peralatan peracikkan kopi dengan model sbb: Cold Drip, Chemex, Aero Press, Syphon, Pour Over, Vietnam Drip.


Selain itu penyajian suasana ruangan yang klasik menjadi salah satu konsep yang mengajak para penikmat kopi dan sajian Beranda Eatery menjadi enjoy dan at home. Sifat klasik ruangan tidak bisa dilepaskan dari pemilik rumah di era tahun 1950-an ini sebelumnya yang menurut informasi dimiliki oleh seorang dokter bernama dr. Soedirman. Tidak banyak informasi yang dapat dilacak mengenai profil dan kontribusi dr. Soedirman selain dokter Kebumen pertama dan seorang Direktur RSUD Kebumen kedua setelah dr Goelarso di era tahun 1950-an. Beberapa warga Gombong mengingat kebiasaan khas dr Soedirman yang jenaka dan gemar menghisap rokok klembak menyan jika selesai melaksanakan tugas di era tahun 1970-an.


Tidak terasa sudah pukul 1.46 saat saya menuliskan artikel ini dan pukul 21.000 saat saya menyelesaikan percakapan dan menghabiskan hidangan. Sembari pulang dengan menyongsong hujan yang kembali deras diiringi kilatan cahaya tanpa gelegar suara sembari mengembangkan payung berjalan dalam deras malam menuju rumah, saya terus mencari tahu siapakah dr. Soedirman yang hanya diketahui jejaknya begitu singkat oleh beberapa masyarakat Kebumen. Mudah-mudahan malam demi malam, saya menemukan jawaban.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar