Beberapa waktu lalu, penulis menyempatkan diri untuk menemui Sdr. Aris Wibowo setelah berjanji dalam satu kesempatan ketika selesai memaparkan ulasan dalam kegiatan bedah buku di Aula Sekda Kebumen, untuk menyambangi rumahnya di Desa Pandansari, Sruweng. Kala itu Sdr.Bayu Prakoso mendekati penulis dan memperkenalkan Sdr. Aris Wibowo karena dirinya menyimpan sebuah properti penting berupa topeng dari zaman Hindia Belanda. Sebuah informasi yang menarik. Setelah tertunda beberapa waktu akhirnya sampai juga di rumah Sdr.Aris dan disambut dengan hangat oleh ayah (Supandi) dan paman Sdr. Aris (Syinu Asrudin) serta beberapa properti yang sudah disiapkan dengan rapih.
Setelah beberapa jam perbincangan yang ringan dan santai serta keterbukaan pemilik properti topeng, diperoleh beberapa keterangan dan kemudian penulis tuangkan dalam keterangan ringkas di bawah ini.
Topeng Baladewa. Di gambarkan sebagai seseorang
kesatria yang gagah berani dan mempunyai senjata bernama Nanggala, sebuah senjata yang mirip seperti Cangkul. Ia juga sering digambarkan memakai mahkota dan busana
kesatria yang megah. Baladewa memang
mudah marah, namun dia sosok yang tidak memihak sana sini, melainkan netral.
Topeng Munyuk. Tokoh ini melambangkan sifat
keserakahan namun juga bisa menghibur dengan kelakuannya.
Topeng Pesek. Dalam peranan pesek terkadang dimainkan
seperti seorang wanita yang cantik dan lemah lembut. Pesek ini juga di mainkan
berpasangan dengan lawanya yang biasanya di sebut Nyonder.
Keberadaan tiga
topeng tersebut saat ini dirawat dengan baik oleh Bapak Sinu dan Sino pemilik
kesenian Kuda Lumping Langen Suro Wongso
dari Desa Pandansari, Kecamatan Sruweng.
Ketiga topeng
terbuat dari bahan kayu dengan nama Baladewa,
Munyuk, Pesek ini tidak bisa dilepaskan dari nama Mbah Tamareja dan sudah
ada serta dipergunakan sejak era Hindia Belanda. Mbah Tamareja diperkirakan
lahir di Kebumen pada tahun 1922 dan sejak usia remajanya telah menjadi seorang
seniman tari atau yang sekarang lebih di kenal dengan sebutan Cepetan.
Dari
kecintaannya, Tamareja mendirikan sebuah organisasi seni kuda lumping (pihak
keluarga tidak berhasil melacak nama organisasi kuda lumping tersebut) dan
menghibur masyarakat melalui kesenian tersebut.
Mengacu pada
silsilah yang dimiliki keluarga, Tamareja sendiri putra ke-enam dari delapan
putra seorang seniman bernama Mbah Surantaka. Sayangnya tidak banyak informasi
yang dapat diketahui mengenai Surantaka selain sebagai sosok seniman tari yang
menurut keluarga menjadi pemilik pertama keberadaan topeng Baladewa, Munyuk, Pesek.
Setelah beliau
meninggal properti tari yang masih ada yaitu topeng-topeng tersebut diwariskan kepada
keturunannya. Namun tidak ada informasi yang lebih mendalam terkait nasib dan
keberlanjutan organisasi kuda lumping tersebut.. Dengan berjalannya waktu dan
pergantian zaman topeng tersebut tidak terawat namun dari keturunan yang lain
masih ada kepedulian terhadap topeng tersebut dan sampai sekarang masih terjaga
dengan baik.
Selain ketiga
topeng kayu di atas masih ada lagi warisan properti yang diturunkan dari Mbah
Surantaka dan Mbah Tamareja yaitu barongan
dan campur (alat musik pengiring).
Menurut informasi keluarga, Mbah Tamareja dalam setiap pentas pada waktu itu
bukan hanya menggunakan media tiga topeng tersebut namun juga menggunakan media
barongan dalam membawakan sebuah
cerita atau lakon yang di perankan dalam kesenian tersebut.
Barong tersebut diperankan oleh dua orang, dimana satu
orang berperan sebagai pengendali barong
bagian depan dan satu orang lagi berperan sebagai ekor barongan.Peran yang dimaikan al, harimau atau macan, namun dari
berbagai kalangan menyebutnya secara berbeda. Di masa kini, masyarakat menyebut
barongan ini dengan banaspati dan sebagai
wujud hantu atau mahluk halus penjaga hutan. Banaspati juga dikenal sebagai mkhluk mistis yang memiliki kekuatan
besar dan bisa ditemukan di dalam hutan.
Sementara media campur (alat musik) yang menyertai
topeng dan barongan, menurut informasi dari keluarga, bahwa alat musik tersebut
didapat dari hasil penemuan di hutan belantara dan sudah tertutup semak
belantara. Mbah Surantaka mengambilnya dan merawatnya lantas mempergunakan
sebagai iringan tarian yang ternyata suaranya sangat nyaring.
Apa nilai
penting keberadaan topeng-topeng kayu bernama Baladewa, Munyuk dan Pesek serta
beberapa properti seni tari lainnya seperti banaspati dan alat musik bernama
campur warisan Mbah Surantaka dan Mbah Tamareja yang saat ini dirawat Bapak
Sinu dan Sino? Keberadaan properti ini menghubungkan masa kini dengan masa lalu
perihal keseniah yang pernah hidup di Kebumen era Hindia Belanda baik yang
bernama kudi lumping (ebleg) maupun cepetan.
DR. Theodor
Gautier Thomas Pigeaud (1899-1988) seorang ahli sastra Jawa dari Belanda
menuliskan buku berjudul, Javaans
Volkvertoningen (Kesenian Rakyat) terbitan Volklectuur Batavia, 1938. Buku
setebal 545 halaman ini membahas mengenai inventarisasi berbagai bentuk
kesenian yang ada di Jawa baik itu wayang, tarian, tari topeng, kuda lumping
dan berbagai pertunjukan kesenian rakyat lainnya.
Pada halaman 173
ada ulasan pendek mengenai cepetan, sebuah ekspresi kesenian lokal Kebumen yang
berkembang di wilayah pegunungan utara. Beberapa kutipan pernyataan yang diperlukan
sbb: “Mengenai tjepetan atau pitik walik, yang disebutkan oleh Tuan Inggris
(nama orang) dalam deskripsi pertunjukkan di Wanakrija (deskripsi lain juga
disebutkan oleh wedana Poering). Nama lainnya adalah munyukan kemudian
menggunakan topeng seperti monyet dengan taring yang menonjol dan pada bajunya
yang terbuat dari kain bagor, dilekati dengan bulu ayam” (Teguh Hindarto, Cepetan Dalam Catatan Theodore Pigeaud,2023
-https://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2023/10/cepetan-dalam-catatan-th-pigeaud.html ).
Sudah selayaknya
properti seni warisan era Hindia Belanda yang berada di wilayah Kebumen ini
mendapatkan perawatan semestinya serta dikatalogisasi sebagai warisan kultural
sehingga generasi masa kini dapat mempelajari masa lalu kotanya serta dinamika
seni budaya pada masa lalu.







Tidak ada komentar:
Posting Komentar