Minggu, 09 November 2025

TOPENG BALADEWA, MUNYUK, PESEK: WARISAN KULTURAL DESA PANDANSARI, KECAMATAN SRUWENG

Beberapa waktu lalu, penulis menyempatkan diri untuk menemui Sdr. Aris Wibowo setelah berjanji dalam satu kesempatan ketika selesai memaparkan ulasan dalam kegiatan bedah buku di Aula Sekda Kebumen, untuk menyambangi rumahnya di Desa Pandansari, Sruweng. Kala itu Sdr.Bayu Prakoso mendekati penulis dan memperkenalkan Sdr. Aris Wibowo karena dirinya menyimpan sebuah properti penting berupa topeng dari zaman Hindia Belanda. Sebuah informasi yang menarik. Setelah tertunda beberapa waktu akhirnya sampai juga di rumah Sdr.Aris dan disambut dengan hangat oleh ayah (Supandi) dan paman Sdr. Aris (Syinu Asrudin) serta beberapa properti yang sudah disiapkan dengan rapih.

Setelah beberapa jam perbincangan yang ringan dan santai serta keterbukaan pemilik properti topeng, diperoleh beberapa keterangan dan kemudian penulis tuangkan dalam keterangan ringkas di bawah ini.

Topeng Baladewa. Di gambarkan sebagai seseorang kesatria yang gagah berani dan mempunyai senjata bernama Nanggala, sebuah senjata yang mirip seperti Cangkul. Ia juga sering digambarkan memakai mahkota dan busana kesatria yang megah. Baladewa memang mudah marah, namun dia sosok yang tidak memihak sana sini, melainkan netral.

Topeng Munyuk. Tokoh ini melambangkan sifat keserakahan namun juga bisa menghibur dengan kelakuannya.

Topeng Pesek. Dalam peranan pesek terkadang dimainkan seperti seorang wanita yang cantik dan lemah lembut. Pesek ini juga di mainkan berpasangan dengan lawanya yang biasanya di sebut Nyonder.


Dari kiri ke kanan: Baladewa, Munyuk, Pesek

Keberadaan tiga topeng tersebut saat ini dirawat dengan baik oleh Bapak Sinu dan Sino pemilik kesenian Kuda Lumping Langen Suro Wongso dari Desa Pandansari, Kecamatan Sruweng.

Ketiga topeng terbuat dari bahan kayu dengan nama Baladewa, Munyuk, Pesek ini tidak bisa dilepaskan dari nama Mbah Tamareja dan sudah ada serta dipergunakan sejak era Hindia Belanda. Mbah Tamareja diperkirakan lahir di Kebumen pada tahun 1922 dan sejak usia remajanya telah menjadi seorang seniman tari atau yang sekarang lebih di kenal dengan sebutan Cepetan.

Dari kecintaannya, Tamareja mendirikan sebuah organisasi seni kuda lumping (pihak keluarga tidak berhasil melacak nama organisasi kuda lumping tersebut) dan menghibur masyarakat melalui kesenian tersebut.

Mengacu pada silsilah yang dimiliki keluarga, Tamareja sendiri putra ke-enam dari delapan putra seorang seniman bernama Mbah Surantaka. Sayangnya tidak banyak informasi yang dapat diketahui mengenai Surantaka selain sebagai sosok seniman tari yang menurut keluarga menjadi pemilik pertama keberadaan topeng Baladewa, Munyuk, Pesek.

Setelah beliau meninggal properti tari yang masih ada yaitu topeng-topeng tersebut diwariskan kepada keturunannya. Namun tidak ada informasi yang lebih mendalam terkait nasib dan keberlanjutan organisasi kuda lumping tersebut.. Dengan berjalannya waktu dan pergantian zaman topeng tersebut tidak terawat namun dari keturunan yang lain masih ada kepedulian terhadap topeng tersebut dan sampai sekarang masih terjaga dengan baik.

Selain ketiga topeng kayu di atas masih ada lagi warisan properti yang diturunkan dari Mbah Surantaka dan Mbah Tamareja yaitu barongan dan campur (alat musik pengiring). Menurut informasi keluarga, Mbah Tamareja dalam setiap pentas pada waktu itu bukan hanya menggunakan media tiga topeng tersebut namun juga menggunakan media barongan dalam membawakan sebuah cerita atau lakon yang di perankan dalam kesenian tersebut.


Dari kiri ke kanan: Banaspati, Campur

Barong tersebut diperankan oleh dua orang, dimana satu orang berperan sebagai pengendali barong bagian depan dan satu orang lagi berperan sebagai ekor barongan.Peran yang dimaikan al, harimau atau macan, namun dari berbagai kalangan menyebutnya secara berbeda. Di masa kini, masyarakat menyebut barongan ini dengan banaspati dan sebagai wujud hantu atau mahluk halus penjaga hutan. Banaspati juga dikenal sebagai mkhluk mistis yang memiliki kekuatan besar dan bisa ditemukan di dalam hutan.

Bapak Syinu Asrudin sedang memainkan topeng Banaspati

Sementara media campur (alat musik) yang menyertai topeng dan barongan, menurut informasi dari keluarga, bahwa alat musik tersebut didapat dari hasil penemuan di hutan belantara dan sudah tertutup semak belantara. Mbah Surantaka mengambilnya dan merawatnya lantas mempergunakan sebagai iringan tarian yang ternyata suaranya sangat nyaring.

Apa nilai penting keberadaan topeng-topeng kayu bernama Baladewa, Munyuk dan Pesek serta beberapa properti seni tari lainnya seperti banaspati dan alat musik bernama campur warisan Mbah Surantaka dan Mbah Tamareja yang saat ini dirawat Bapak Sinu dan Sino? Keberadaan properti ini menghubungkan masa kini dengan masa lalu perihal keseniah yang pernah hidup di Kebumen era Hindia Belanda baik yang bernama kudi lumping (ebleg) maupun cepetan.

DR. Theodor Gautier Thomas Pigeaud (1899-1988) seorang ahli sastra Jawa dari Belanda menuliskan buku berjudul, Javaans Volkvertoningen (Kesenian Rakyat) terbitan Volklectuur Batavia, 1938. Buku setebal 545 halaman ini membahas mengenai inventarisasi berbagai bentuk kesenian yang ada di Jawa baik itu wayang, tarian, tari topeng, kuda lumping dan berbagai pertunjukan kesenian rakyat lainnya.

Pada halaman 173 ada ulasan pendek mengenai cepetan, sebuah ekspresi kesenian lokal Kebumen yang berkembang di wilayah pegunungan utara. Beberapa kutipan pernyataan yang diperlukan sbb: “Mengenai tjepetan atau pitik walik, yang disebutkan oleh Tuan Inggris (nama orang) dalam deskripsi pertunjukkan di Wanakrija (deskripsi lain juga disebutkan oleh wedana Poering). Nama lainnya adalah munyukan kemudian menggunakan topeng seperti monyet dengan taring yang menonjol dan pada bajunya yang terbuat dari kain bagor, dilekati dengan bulu ayam” (Teguh Hindarto, Cepetan Dalam Catatan Theodore Pigeaud,2023 -https://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2023/10/cepetan-dalam-catatan-th-pigeaud.html ).

Sudah selayaknya properti seni warisan era Hindia Belanda yang berada di wilayah Kebumen ini mendapatkan perawatan semestinya serta dikatalogisasi sebagai warisan kultural sehingga generasi masa kini dapat mempelajari masa lalu kotanya serta dinamika seni budaya pada masa lalu.

 


 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar