Tahun 2009 lalu publik pernah dihebohkan dengan kasus Bank
Century terkait dengan kontroversi kebijakan terhadap Bank Century yang kala
itu hendak dilikuidasi. Penutupan Bank Century dianggap bakal menimbulkan
dampak sistemik sehingga harus disuntik dana oleh Lembaga Penjamin Simpanan. Yang
dipersoalkan adalah jumlah suntikan modal dari Lembaga Penjamin Simpanan ke
Bank Century hingga Rp 6,7 triliun sementara awalnya pemerintah hanya meminta
persetujuan Rp 1,3 triliun untuk Bank Century (https://nasional.tempo.co/read/208353/kronologi-aliran-rp-67-triliun-ke-bank-century/full&view=ok).
Ternyata kasus sejenis pernah terjadi di Kebumen tahun 1918
namun kontroversinya mengemuka antara tahun 1927 dan khususnya tahun 1928.
Namun demikian kasusnya bukan terkait teka-teka perubahan kebijakan dari 1,3
triliun menjadi 6,7 triliun dan kemana arus uang tersebut berakhir melainkan
sebuah kasus ketidakjelasan hasil pengumpulan dana untuk pendirian Sekolah
Kartini melalui kegiatan pekan raya dan penggalangan dana.
Sebuah berita dengan judul, Waar is de f 4300 gebleven? (Kemana Perginya 4300 florin) yang
dimuat oleh harian De Locomotief (10
Oktober 1928) melaporkan sebuah klarifikasi yang dilakukan oleh seseorang
bernama R.M. Margono yang saat itu menjabat sebagai adjunct inspecteur van de Centrale Kas te Malang (Deputi Pengawas
Sistem Perkreditan di Malang) yang pernah tinggal dan bertugas di Kebumen tahun
1918 silam.
Dirinya merasa terganggu oleh sejumlah berita yang
mempertanyakan kemana larinya uang hasil pengumpulan dana untuk mendirikan
Sekolah Kartini di Kebumen. Dalam surat kabar tersebut dirinya mengatakan, minder prettig voor mij klinkt (terdengar
kurang menyenangkan bagi saya). Mungkin karena sejumlah informasi yang disitir
di bawah ini di mana dijelaskan sebuah kronologi kasusnya sbb:
Bermula pada bulan Juni
1918, ketika afdeeling Budi Utomo Keboemen dipimpin oleh R. M. Margono - sebelum
menjabat sebagai Deputi Pengawas Sistem Perkreditan di Malang - telah panitia
penyelenggara pekan raya mewah untuk kepentingan pendirian sekolah Kartini. Dalam
kepanitiaan tersebut beberapa nama disebutkan al., M. B. Van der Jagt pada saat
itu menjabat sebagai Asisten Residen Kebumen dan R. Adipati Arung Binang,
Bupati Keboemen, sebagai pembina dan ketua kehormatan. Selain itu, ada Ringrose,
direktur Bank Kabupaten.
Anggota pribumi dari
Komite, yang merupakan anggota dari cabang lokal B.0., meminjam sejumlah f 409
dari Regentschapbank (bank kabupaten) dengan jaminan bersama. Modal ini,
ditambah beberapa sumbangan sukarela, menjadi modal awal dari perayaan yang
diadakan dari tanggal 18 hingga 22 September 1918. Pesta-pesta itu berhasil,
seperti yang diharapkan, karena semua orang, baik tinggi maupun rendah, bekerja
sama. Mereka sangat antusias dengan rencana pendirian sekolah kartini.
Untuk mendapatkan lebih
banyak dana, undian sebesar f 10.000 juga diminta, di mana hasil bersih yang
terkumpul akan digunakan untuk kontribusi pembangunan gedung sekolah.
Hasil bersih dari
perayaan tersebut berjumlah f 4300 dan disimpan di Bank Kabupaten sebagai
deposito. Atas nama siapa? Itu tidak diketahui. Sementara itu Budi Utomo Kebumen
sudah tidak ada lagi dan rencana mendirikan sekolah Kartini tidak lagi
dibicarakan. Sedangkan Ketua B.O. M. Margono, dimutasi ke Madiun.
Dimana sekarang uang
yang telah terkumpul dengan susah payah? Seluruh warga Kebemen berhak mengetahui
kemana uang itu akan digunakan atau akan digunakan untuk tujuan mana.
Jika uangnya masih aman
di bank, harus diputuskan ke mana uang itu akan diberikan, paling tidak rencana
awal mendirikan sekolah Kartini (yang) terbengkalai.
Namun, siapa yang harus
membuat keputusan terkait tujuan f 4300 karena Budi Utomo Kebumen sudah tidak ada
lagi. Bisakah H.B. dari Budi Utomo mencampuri persoalan ini? Kami kurang yakin,
setidaknya H.B. tidak dapat membuang uangnya.
Solusi terbaik adalah
mengatur pertemuan antara penduduk lama Kebumen untuk memutuskan apa yang akan
dilakukan dengan uang tersebut”
Terhadap pemberitaan tersebut, R.M. Margono bereaksi dan
merasa ikut bertanggungjawab dengan peristiwa 10 tahun silam yaitu 1918 dan
memberikan sejumlah klarifikasi serta mengusulkan dibentuknya sebuah komite
terpisah (afzonderlijk comite) yang
bekerjasama dengan otoritas setempat.
Usulan R.M. Margono dikarenakan dirinya telah meninggalkan
kota tersebut sejak 10 tahun silam dan kehilangan kontak dengan semua orang
yang dia kenal. Apalagi dua bulan setelah keberhasilan pekan raya yang sukses
dan berhasil mengumpulkan keuntungan sebesar 4300 florin tersebut dirinya di
mutasi ke Madiun.
Dirinya hanya mengingat peristiwa tersebut dengan berkata, Seingat saya, dana itu dibayarkan ke Bank
Kabupaten atas nama "Panitia Pembentukan Sekolah Kartini. Margono
melanjutkan, Sejak awal perayaan, uang
yang diterima disetorkan ke bank kabupaten, karena lembaga ini juga telah
menyalurkan uang untuk penyelenggaraan pesta. Saya yakin bahwa f 4300 tidak
hanya masih aman di bank, tapi pasti juga tumbuh dua atau tiga kali lipat (dengan
bunga 6 atau 5 pCt) dalam 10 tahun itu.
Pernyataan Margono tersebut menjadi kesimpulan akhir surat
kabar De Locomotief dengan menuliskan, Kita hanya perlu menambahkan dalam suratnya ini, bahwa dalam harapan
dan penantian kita sehubungan dengan masa istirahat sedikit uang sekolah selama
sepuluh tahun ini, tidak ada lagi yang perlu dipublikasikan di penerbitan kita
kecuali ini: bahwa uang itu ada di sana, dan dalam sepuluh tahun itu telah
berkembang menjadi jumlah yang sangat besar dari f____. kemudian pihak
berwenang yang berkepentingan menemukan yang akan mengurus tujuan uang dengan
segera
Nampaknya teka-teki ketidakjelasan uang sebesar 4300 florin
tersebut telah menjadi perbincangan sejak tahun 1927 sebagaimana dilansir
harian Het Nieuws (25 November 1927).
Hanya menurut harian tersebut peristiwa pekan raya terjadi di tahun 1917 dan
keuntungan yang diperoleh mencapai 5000 florin. Namun dikarenakan sekolah
Kartini yang diharapkan tidak kunjung dibangun maka “semua orang menunggu
jawaban” (men wacht op antwoord).
Teka-teki ini semakin membingungkan karena menurut harian De
Expres (16 Mei 1922) tercatat sebuah laporan beritan perihal sebuah
pekan raya dan pasar derma yang diselenggarakan oleh Sarikat Islam Kebumen 30
Mei hingga 5 Juni di mana ada sejumlah keuntungan yang disalurkan di mana nama
Sekolah Kartini disebut sbb:
10 pCt. untuk Sekolah
Kartini.
10 pCt untuk Klinik
Kebumen
10 pCt untuk Sekolah
Arab.
10 pCt untuk Tiong Hoa
Hwee Kwan.
Sisanya untuk Sekolah
Sarikat Islam
Jika sekolah Katini belum juga berhasil diwujudkan sementara
telah terkumpul uang sebesar 4300 florin yang tidak ada kejelasan
penggunaannya, mengapa masih ada pengumpulan dana untuk Sekolah Kartini?
Jika dalam tulisan terdahulu penulis pernah mengulas perihal
teka-teki meninggalnya H.J. Mesland seorang perwakilan/agen dari Banjoemasche Electriciteit Maatschappij
dan pemilik bioskop lokal di Kebumen tahun 1929, apakah karena mati wajar atau
diracun melalui kopi yang diminumnya (Teguh Hindarto, Bioskop Kebumen dan Peristiwa Kopi Beracun 1929 - http://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/).
Kali ini, melalui artikel ini sebuah teka-teki ketidakjelasan nasib uang 4300
florin di periode tahun 1918 dan 1928 masih menyisakan sebuah pertanyaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar