Selasa, 11 Agustus 2020

TEKA-TEKI 4300 FLORIN UNTUK PENDIRIAN SEKOLAH KARTINI DI KEBUMEN

 

Tahun 2009 lalu publik pernah dihebohkan dengan kasus Bank Century terkait dengan kontroversi kebijakan terhadap Bank Century yang kala itu hendak dilikuidasi. Penutupan Bank Century dianggap bakal menimbulkan dampak sistemik sehingga harus disuntik dana oleh Lembaga Penjamin Simpanan. Yang dipersoalkan adalah jumlah suntikan modal dari Lembaga Penjamin Simpanan ke Bank Century hingga Rp 6,7 triliun sementara awalnya pemerintah hanya meminta persetujuan Rp 1,3 triliun untuk Bank Century (https://nasional.tempo.co/read/208353/kronologi-aliran-rp-67-triliun-ke-bank-century/full&view=ok).

Ternyata kasus sejenis pernah terjadi di Kebumen tahun 1918 namun kontroversinya mengemuka antara tahun 1927 dan khususnya tahun 1928. Namun demikian kasusnya bukan terkait teka-teka perubahan kebijakan dari 1,3 triliun menjadi 6,7 triliun dan kemana arus uang tersebut berakhir melainkan sebuah kasus ketidakjelasan hasil pengumpulan dana untuk pendirian Sekolah Kartini melalui kegiatan pekan raya dan penggalangan dana.

Sebuah berita dengan judul, Waar is de f 4300 gebleven? (Kemana Perginya 4300 florin) yang dimuat oleh harian De Locomotief (10 Oktober 1928) melaporkan sebuah klarifikasi yang dilakukan oleh seseorang bernama R.M. Margono yang saat itu menjabat sebagai adjunct inspecteur van de Centrale Kas te Malang (Deputi Pengawas Sistem Perkreditan di Malang) yang pernah tinggal dan bertugas di Kebumen tahun 1918 silam.

Dirinya merasa terganggu oleh sejumlah berita yang mempertanyakan kemana larinya uang hasil pengumpulan dana untuk mendirikan Sekolah Kartini di Kebumen. Dalam surat kabar tersebut dirinya mengatakan, minder prettig voor mij klinkt (terdengar kurang menyenangkan bagi saya). Mungkin karena sejumlah informasi yang disitir di bawah ini di mana dijelaskan sebuah kronologi kasusnya sbb:

Bermula pada bulan Juni 1918, ketika afdeeling Budi Utomo Keboemen dipimpin oleh R. M. Margono - sebelum menjabat sebagai Deputi Pengawas Sistem Perkreditan di Malang - telah panitia penyelenggara pekan raya mewah untuk kepentingan pendirian sekolah Kartini. Dalam kepanitiaan tersebut beberapa nama disebutkan al., M. B. Van der Jagt pada saat itu menjabat sebagai Asisten Residen Kebumen dan R. Adipati Arung Binang, Bupati Keboemen, sebagai pembina dan ketua kehormatan. Selain itu, ada Ringrose, direktur Bank Kabupaten.

Anggota pribumi dari Komite, yang merupakan anggota dari cabang lokal B.0., meminjam sejumlah f 409 dari Regentschapbank (bank kabupaten) dengan jaminan bersama. Modal ini, ditambah beberapa sumbangan sukarela, menjadi modal awal dari perayaan yang diadakan dari tanggal 18 hingga 22 September 1918. Pesta-pesta itu berhasil, seperti yang diharapkan, karena semua orang, baik tinggi maupun rendah, bekerja sama. Mereka sangat antusias dengan rencana pendirian sekolah kartini.

Untuk mendapatkan lebih banyak dana, undian sebesar f 10.000 juga diminta, di mana hasil bersih yang terkumpul akan digunakan untuk kontribusi pembangunan gedung sekolah.

Hasil bersih dari perayaan tersebut berjumlah f 4300 dan disimpan di Bank Kabupaten sebagai deposito. Atas nama siapa? Itu tidak diketahui. Sementara itu Budi Utomo Kebumen sudah tidak ada lagi dan rencana mendirikan sekolah Kartini tidak lagi dibicarakan. Sedangkan Ketua B.O. M. Margono, dimutasi ke Madiun.

Dimana sekarang uang yang telah terkumpul dengan susah payah? Seluruh warga Kebemen berhak mengetahui kemana uang itu akan digunakan atau akan digunakan untuk tujuan mana.

Jika uangnya masih aman di bank, harus diputuskan ke mana uang itu akan diberikan, paling tidak rencana awal mendirikan sekolah Kartini (yang) terbengkalai.

Namun, siapa yang harus membuat keputusan terkait tujuan f 4300 karena Budi Utomo Kebumen sudah tidak ada lagi. Bisakah H.B. dari Budi Utomo mencampuri persoalan ini? Kami kurang yakin, setidaknya H.B. tidak dapat membuang uangnya.

Solusi terbaik adalah mengatur pertemuan antara penduduk lama Kebumen untuk memutuskan apa yang akan dilakukan dengan uang tersebut”

Terhadap pemberitaan tersebut, R.M. Margono bereaksi dan merasa ikut bertanggungjawab dengan peristiwa 10 tahun silam yaitu 1918 dan memberikan sejumlah klarifikasi serta mengusulkan dibentuknya sebuah komite terpisah (afzonderlijk comite) yang bekerjasama dengan otoritas setempat.

Usulan R.M. Margono dikarenakan dirinya telah meninggalkan kota tersebut sejak 10 tahun silam dan kehilangan kontak dengan semua orang yang dia kenal. Apalagi dua bulan setelah keberhasilan pekan raya yang sukses dan berhasil mengumpulkan keuntungan sebesar 4300 florin tersebut dirinya di mutasi ke Madiun.

Dirinya hanya mengingat peristiwa tersebut dengan berkata, Seingat saya, dana itu dibayarkan ke Bank Kabupaten atas nama "Panitia Pembentukan Sekolah Kartini. Margono melanjutkan, Sejak awal perayaan, uang yang diterima disetorkan ke bank kabupaten, karena lembaga ini juga telah menyalurkan uang untuk penyelenggaraan pesta. Saya yakin bahwa f 4300 tidak hanya masih aman di bank, tapi pasti juga tumbuh dua atau tiga kali lipat (dengan bunga 6 atau 5 pCt) dalam 10 tahun itu.

Pernyataan Margono tersebut menjadi kesimpulan akhir surat kabar De Locomotief dengan menuliskan, Kita hanya perlu menambahkan dalam suratnya ini, bahwa dalam harapan dan penantian kita sehubungan dengan masa istirahat sedikit uang sekolah selama sepuluh tahun ini, tidak ada lagi yang perlu dipublikasikan di penerbitan kita kecuali ini: bahwa uang itu ada di sana, dan dalam sepuluh tahun itu telah berkembang menjadi jumlah yang sangat besar dari f____. kemudian pihak berwenang yang berkepentingan menemukan yang akan mengurus tujuan uang dengan segera

Nampaknya teka-teki ketidakjelasan uang sebesar 4300 florin tersebut telah menjadi perbincangan sejak tahun 1927 sebagaimana dilansir harian Het Nieuws  (25 November 1927). Hanya menurut harian tersebut peristiwa pekan raya terjadi di tahun 1917 dan keuntungan yang diperoleh mencapai 5000 florin. Namun dikarenakan sekolah Kartini yang diharapkan tidak kunjung dibangun maka “semua orang menunggu jawaban” (men wacht op antwoord).

Teka-teki ini semakin membingungkan karena menurut harian De Expres (16 Mei 1922) tercatat sebuah laporan beritan perihal sebuah pekan raya dan pasar derma yang diselenggarakan oleh Sarikat Islam Kebumen 30 Mei hingga 5 Juni di mana ada sejumlah keuntungan yang disalurkan di mana nama Sekolah Kartini disebut sbb:

10 pCt. untuk Sekolah Kartini.

10 pCt untuk Klinik Kebumen

10 pCt untuk Sekolah Arab.

10 pCt untuk Tiong Hoa Hwee Kwan.

Sisanya untuk Sekolah Sarikat Islam

Jika sekolah Katini belum juga berhasil diwujudkan sementara telah terkumpul uang sebesar 4300 florin yang tidak ada kejelasan penggunaannya, mengapa masih ada pengumpulan dana untuk Sekolah Kartini?

Jika dalam tulisan terdahulu penulis pernah mengulas perihal teka-teki meninggalnya H.J. Mesland seorang perwakilan/agen dari Banjoemasche Electriciteit Maatschappij dan pemilik bioskop lokal di Kebumen tahun 1929, apakah karena mati wajar atau diracun melalui kopi yang diminumnya (Teguh Hindarto, Bioskop Kebumen dan Peristiwa Kopi Beracun 1929 - http://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/). Kali ini, melalui artikel ini sebuah teka-teki ketidakjelasan nasib uang 4300 florin di periode tahun 1918 dan 1928 masih menyisakan sebuah pertanyaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar