Tempe bongkrek, ya sebuah makanan yang terbuat dari campuran kedelai, ampas tahu dan ampas kelapa. Makanan ini kerap mencelakai pemakannya jika tidak diolah dengan benar. Wabah keracunan tempe bongkrek pertama kali dicatat oleh otoritas Belanda pada 1895. Kemudian pada 1902, ilmuwan Belanda bernama Adolf G. Vorderman melakukan penelitian terkait tempe bongkrek.
Ketika Hindia Belanda dilanda depresi ekonomi, tercatat antara tahun 1931-1935 kerap terjadi keracunan masal karena penduduk kerap membuat tempe bongkrek sendiri daripada membeli dari pembuat tempe berpengalaman.
Keracunan masal juga pernah terjadi di Kebumen di tahun 1935. Dalam sebuah berita oleh De Sumatra Post (15-03-1935) dengan judul, Bongkrek-vergiftiging: Tachtig Dooden in Het Keboemensche (Keracunan Bongkrek: Delapan Puluh Orang Tewas di Kebumen) dilaporkan kasus keracunan tempe Bongkrek yang menewaskan 80 orang di Kebumen.
Beruntung ada rumah sakit Zending (eks RSUD Kebumen sekarang) yang berhasil menangani korban lain hingga tidak mengalami kematian. Aparat birokrasi terkait beserta D.V.G bertindak cepat juga.
Sebulan kemudian terjadi kembali kasus keracunan 9 orang di Desa Wotbuwono Kabupaten Karanganyar (namun berhasil selamat) sebagaimana dilansir De Sumatra Post (12-04-1935). Surat kabar ini juga melaporkan asal-usul tempe bongkrek beracun tersebut yang ternyata berasal dari Desa Dorowati, Kecamatan Klirong, Kabupaten Karanganyar (sekarang Kabupaten Kebumen).
Hasil penelitian laboratorium di Batavia menghasilkan kesimpulan perihal kegagalan mempersiapkan olahan bongkrek (een mislukte bongkrekbereidingenhetniet) menjadi penyebab keracunan. Kegagalan menghasilkan pertumbuhan jamur justru akan mengembangbiakan bakteri yang mencelakakan.
Untunglah tempe bongkrek saat ini tidak lagi menjadi konsumsi masyarakat umum karena potensi bahaya di dalamnya yaitu kandungan bakteri Burkholderia Galdioli yang menghasilkan racun berupa asam bongkrek dan toxoflavin, serta dapat memusnahkan jamur Rhizopus karena efek antibiotik dari asam bongkrek tersebut.
Tempe bongkrek, sebagaimana gaplek (singkong yang telah dikeringkan kemudian ditumbuk menjadi tepung tapioka untuk dijadikan makanan) merupakan makanan yang menjadi saksi dan jejak krisis ekonomi yang pernah melanda HIndia Belanda khususnya Jawa. Jika tempe bongkrek marak di saat malaise atau krisis ekonomi maka gaplek marak di jaman Jepang.
Bedanya, jika gaplek masih bisa dikonsumsi bahkan saat ini menjadi komoditas yang menghubungkan wisata kuliner tradisional, maka tempe bongkrek hanya menjadi sebuah cerita yang tersimpan dalam memori kolektif sebagian golongan sepuh yang masih bertahan hidup
v
BalasHapus