Kamis, 25 Juni 2020

KETIKA GOMBONG SEBUAH DISTRIK KABUPATEN KARANGANYAR



Satu kalimat saja saat saya menyempatkan membaca buku baru karya Sigit Asmodiwongso dengan judul, “Ngomong Gombong: Remah Sejarah Kota 1830-1942” (Tapak Publishing, 2020) yaitu buku serius yang berbicara mengenai Gombong namun dengan bahasa populer dan tidak perlu terlalu banyak mengernyitkan kening.

Mengapa buku ini disebut “serius” membicarakan Gombong? Setidaknya ini adalah buku pertama yang mengkaji Gombong dari perspektif sejarah sekalipun tidak terlalu ketat dalam menerapkan penuturan  secara akademis.

Sesuai latar belakang penulis yang menekuni kegiatan pelestarian heritage (warisan bersejarah) dan historical trip (wisata berbasis tempat bersejarah), kita diajak menelusuri lorong waktu Gombong dari periode 1830-1942 dan memahami kisah-kisah dibalik setiap bangunan tua dan kuno yang bertebaran di kota Gombong, baik bangunan tua bercorak arsitektur Belanda, Tionghoa bahkan pribumi Jawa.

Melalui narasi historis yang dilekatkan pada sejumlah historical site (situs bersejarah) pembaca menjadi memiliki gambaran yang cukup menyeluruh mengenai kronologi dan konstelasi kehidupan sosial politik dan sosial ekonomi yang menghidupi kota Gombong.

Yang tidak kalah penting dan menarik adalah menyajikan genealogi Fort Cochius (benteng Cochius) yang kemudian diganti namanya menjadi Benteng Van der Wijk dengan memberikan data baru berupa staatblad (surat keputusan) sebagaimana dikatakan, “Dokumen tertua yang menyebut Gombong adalah surat keputusan (staatblad) No 23 tahun 1839 tentang penamaan beberapa benteng yang dibangun Belanda sesudah perang” (hal 28).

Penyajian dokumen berupa staatblad ini bukan sekedar untuk melakukan penafsiran terhadap kapan benteng ini dibangun namun sekaligus melakukan sebuah pelacakkan mengenai kelahiran Gombong sebagai sebuah nama kota sebagaimana dikatakan, “Sebelum ada bukti lain yang lebih kuat, dapatlah disimpulkan bahwa munculnya Gombong sebagai nama wilayah terjadi antara tahun 1830-1839. Umur yang cukup muda untuk sebuah kota” (hal 29).

Ada beberapa catatan yang ingin saya tambahkan terkait buku kecil yang berkisah mengenai Gombong ini. Pertama, sekalipun penulisnya telah dengan upaya maksimal memotret kehidupan sosial di Gombong terutama asal usul dan peran etnis Tionghoa dalam membentuk struktur sosial ekonomi Gombong baik melalui keberadaan para pedagang (hal 49-53, 89-94) maupun institusi pendidikan (hal 106-107) namun ada yang dilupakan atau mungkin luput dari pengkajian yaitu keberadaan organisasi Pao An Tui di Gombong.

Paska kemerdekaan Republik Indonesia, terjadi kekacauan kepastian sistem hukum dan politik karena terjadinya transisi kekuasaan. Berbagai tindakkan kekerasan, kerusuhan, penggedoran, perampokkan serta tindakkan kriminal bermunculan di mana-mana tanpa mendapatkan proses yang memadai.

Demikan pula terjadi sejumlah kekerasan awal terhadap etnis Tionghoa berupa Gerakan Anti Tionghoa. Tindakkan-tindakkan kekerasan terhadap etnis Tionghoa tidak terjadi di ruang hampa. Konteks sosio historis perlakuan terhadap etnis Tionghoa oleh pemerintahan Belanda dengan membuat kategorisasi etnis Tionghoa sebagai golongan “Timur Asing” (Vreemde Oosterlingen, termasuk juga Arab dan India di dalamnya) sehingga berperan dalam menciptakan sekat-sekat di antara kelompok etnis di Indonesia menjadi salah satu yang berkontribusi terhadap Gerakan Anti Tionghoa yang muncul di awal paska kemerdekaan.

Dalam sebuah konferensi yang dilaksanakan oleh Chung Hua Tsung Hui (Asosiasi Tionghoa Pusat), pada tanggal 24-26 Agustus 1947 yang dihadiri oleh perwakilan CHTH seluruh Indonesia (kecuali CHTH Yogyakarta dan Solo, menyepakati berdirinya Pao An Tui (Barisan Pertahanan Tionghoa) pada tanggal 28 Agustus 1947. Pendirian organisasi ini dilatarbelakangi sebuah kebutuhan untuk melakukan pertahanan diri di mas yang penuh gejolak politik tersebut.

Artikel tersebut ditutup dengan menyebutkan sejumlah nama kota dimana dilakukan perekrutan laskar Pao An Tui termasuk Gombong sebagaimana dikatakan, “Tenslotte verzocht hij de republikeinse regering alle Chinezen te registreren. die verplicht werden uit de gebieden rondom Gombong, Malang, Djember, Boemiajoe, Pekalongan en elders te evacueren”

Terjemahan bebas:

“Akhirnya, ia (Konsul jendral Cina di Batavia, red) meminta pemerintah republik mendaftarkan semua orang Tionghoa yang dibutuhkan mulai dari daerah sekitar Gombong, Malang, Djember, Boemiajoe, Pekalongan dan pengambilan dari di tempat lain

Terlepas pro kontra terkait keberadaan Pao An Tui yang bagi sebagian saksi sejarah dianggap berpihak kepada Belanda, namun keberadaan Pao An Tui di Gombong selayaknya menjadi bagian pengisahan sejarah sosial kota.

Kedua, Gombong sebagai sebuah kota bukan entitas polis yang berdiri sendiri. Gombong pada masanya adalah salah satu distrik dari Kabupaten Karanganyar sebelum tanggal 1 Januari 1936 dihapuskan statusnya sebagai kabupaten dan digabungkan ke dalam Kabupaten Kebumen (Teguh Hindarto, Chusni Ansori, Sociological Perspective on the Elimination of Karanganyar Regency as an Impact of the 1930s Economi DepressionJournal Simulacra, Vol 3, 1 June 2020:90).

Sejak kekalahan Perang Jawa, pemerintahan Belanda membuat administrasi pemerintahan baru. Brengkelan diubah menjadi Purworejo, Panjer diubah menjadi Kebumen, Remo Jatinegara diubah menjadi Karanganyar.

Tercatat dalam surat kabar De Locomotief (21 Maret 1874) bahwa Karesidenan Bagelen mengalami perkembangan wilayah kabupaten yaitu menjadi 5 (sebelumnya 4) yaitu Kabupaten (regentschap) Purworejo, Kabupaten Kutoarjo, Kabupaten Kebumen, Kabupaten Karanganayar, Kabupaten Ledok. Adapun Kabupaten Karanganyar terdiri dari 6 distrik yaitu, Karanganyar, Gombong, Soka, Petanahan, Puring, Karangbolong.

Kisah Gombong yang ditulis dalam buku “Ngomong Gombong: Remah Sejarah Kota 1830-1942”, sejatinya berkisah mengenai riwayat dan dinamika sosial ekonomi sebuah distrik yang berada di wilayah Kabupaten Karanganyar (sampai tahun 1936).

Terlepas dari semua itu, buku ini menarik dan layak dibaca serta menjadi rujukkan dalam materi sejarah lokal. Siswa didik tidak hanya diberikan pengetahuan mengenai sejarah arus utama yang nun jauh di sana namun harus mengetahui sejarah kotanya, sejarah bangunan, sungai, jalan di sudut-sudut kota yang dilewatinya sehari-hari.

3 komentar:

  1. Terimakasih Pak Teguh untuk review kerennya. Minta ijin info seputar Po An Tui saya masukkan Ngomong Gombong #2 (1942 - 1980)

    BalasHapus
  2. Mkn memang di"luputkan" u buku berikutnya pak, Gombong Paska Kemerdekaan. klu melihat dr sub judule buku, range waktunya 1830-1942, Pao An Tui berdiri 1947.

    BalasHapus