Rabu, 13 November 2019

GERAKAN RATU ADIL DI PREMBUN 1939 DAN 1940


Ketika mendengar nama Prembun, tentu bagi banyak orang tua atau peminat kajian sejarah lokal akan teringat pada satu nama yaitu “Suikerfabriek Remboen”. Ya, keberadaan pabrik yang sudah tidak terlihat lagi aktivitasnya dan gedungnya ini telah beroperasi sejak era kolonial dari tahun 1800-an hingga 1900-an.

Setidaknya nama Suikerfabriek Remboen sudah terlacak dalam sebuah “advertentie” (iklan) koran berbahasa Belanda bernama Bataviasch Nieuwsblad tahun 1897 dengan judul iklan “Kersten Ovens”. Tahun 1930-an, keberadaan Suikerfabriek Remboen mengalami kejayaan sekalipun beberapa tahun sempat tidak beroperasi hingga berita koran Algemeen Handelsblad tahun 1938 membuat berita pembukaan kembali Suikerfabriek Remboen dengan judul, “De Hereopening der Suikerfabriek Remboen”.

Namun kali ini, ada nama dan peristiwa menarik di Prembun berkaitan dengan gejolak sosial keagamaan diakhir tahun 1930-an yang tidak terlacak dalam penulisan sejarah lokal dan memori kolektif masyarakat. Dalam sebuah publikasi pendek dalam koran berbahasa Belanda yaitu Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië  bertanggal 08 April 1939 di bawah judul, “Ratoe Adil Beweging” (Gerakan Ratu Adil) dilaporkan sbb:

“48 Aanhangers berecht.

De politie te Premboen, in het Keboemensche, heeft op 4 dezer een inval gedaan in verband met de bekende Ratoe Adil-beweging. Acht-èn-veertig aanhangers dier beweging moesten'voor het desagerecht te Premboen verschijnen.

Gedurende de zitting van dit gerecht kreeg de wedana, die daarbij de leiding heeft, van een van de beklaagden een slag. De politie greep direct in, waarna de zitting werd voortgezet.
In verband hiermede zette de veldpolitie van Keboemen den volgenden avond in Premboen posten uit.

Gemeld wordt nog dat het centrum van de Ratoe Adil-beweging zetelt te Wonotjolo, in het Premboensche, en dat de beweging geleid wordt door zekeren Jososoewito”

Terjemahan bebas:

“48 Pengikut dibawa ke pengadilan.

Polisi di Premboen, di Keboemensche, melakukan penggerebekan terhadap keempatnya sehubungan dengan gerakan Ratoe Adil yang terkenal itu. Empat puluh delapan pendukung gerakan itu harus muncul di hadapan pengadilan di Premboen.

Selama persidangan pengadilan ini, Wedana, yang bertanggung jawab, mendapat pukulan telak oleh salah satu terdakwa. Polisi segera turun tangan, setelah itu sesi dilanjutkan.

Sehubungan dengan ini, polisi lapangan Keboemen mengerahkan pos-pos di Premboen malam berikutnya.

Disebutkan pula bahwa pusat gerakan Ratoe Adil berpusat di Wonotjolo, di Premboensche, dan bahwa gerakan itu dipimpin oleh seorang Jososoewito”



Sayangnya, rilis berita di atas tidak berkelanjutan dan tidak terlacak akar persoalan yang memunculkan nama seseorang yang mengklaim sebagai Ratu Adil dan bagaimana kelanjutan kasusnya. Apakah mereka melakukan tindakkan kekerasan terhadap pejabat atau aparat keamanan Belanda? Apakah mereka memiliki pasukan dan senjata serta terorganisir? Semua masih gelap.

Namun setahun kemudian muncul gerakan yang sama namun dengan tokoh yang berbeda Koran Indische Courant bertanggal 22 Januari 1940 menurunkan judul artikel, “Ratoe Adil Beweging” (Gerakan Ratu Adil) dengan berita sbb:

Ratoe-adil-beweging.

“De politie te Premboen heeft gisteren 20 volgelingen van een door "Koning Ronodiwirjo" georganiseerde ratoe-adil-beweging aangehouden”

Terjemahan bebas:

Gerakan Ratoe Adil

“Polisi di Premboen menangkap 20 pengikut gerakan ratoe-adil yang diorganisir oleh "Raja Ronodiwirjo" kemarin”


Cukup menarik dan mengherankan, bagaimana di kota yang sama dengan selisih hanya satu tahun telah tumbuh gerakan sosial keagamaan yang menamakan diri Ratu Adil. Kita tidak akan mendapatkan penjelasan dalam koran yang melaporkan namun berusaha melacak suasana sosial keagamaan di era kolonial pada tahun 1800-an hingga 1900-an.

Adalah Sartono Kartodirjo, seorang sejarawan telah mengamati gerakan-gerakan keagamaan di Jawa yang menghubungkan dengan konsep Ratu Adil. Namun menurut Sartono (saat menuliskan kajiannya), belum banyak sejarawan menaruh perhatian terhadap riset gerakan keagamaan sebagaimana dikatakan, “Sejarah tersebut merupakan sektor yang masih kabur, walaupun gerakan-gerakan itu sebenarnya telah terdapat di Jawa dalam abad-abad  ke-19 dan ke-20 dimana dokumen-dokumen yang berhubungan dengan itu akan dapat memberikan gambaran yang sebenarnya” (Ratu Adil, 1984:9).


Dalam buku tipis hasil kompilasi sejumlah makalahnya, Sartono menderetkan sejumlah fenomena sosial keagamaan yang dipimpin oleh beberapa orang yang menamai dirinya “Ratu Adil” dan memiliki sejumlah pengikut dan ada yang memobilisasi massanya untuk melakukan sejumlah perlawanan pada pemerintahan Belanda.

Beberapa gerakan keagamaan yang disebutkan al., gerakan yang dipimpin Baujaya di Semarang tahun 1841, gerakan di Ciomas tahun 1886, gerakan Haji Jenal Ngarip di Kudus tahun 1847, gerakan di Cikandi tahun 1845, gerakan Kiai hasan Mukmin dari Gedangan tahun 1904, gerakan pak Jebrak di Brangkal tahun 1919 dll (1984:17).

Dari sekian banyak kasus gerakan sosial keagamaan yang menjamur di Abad 18 dan 19 khususnya di Jawa, Sartono memilih empat kasus dan menyimpulkan pola dan karakteristik gerakan tersebut sbb: “ciri messianistic, millenaristic, nativiastic serta segi ramalan, ide tentang perang suci, kebencian terhadap apa saja yang bersifat asing, magico-mysticism dan pujaan kepada nenek moyang” (1984:27). Yang dimaksudkan ciri messianistic, millenaristik serta nativistic adalah adanya peran pemimpin yang memosisikan sebagai pembebas masa depan yang menjanjikan harapan tentang datangnya masa depan baru melalui perjuangan bersenjata yang mereka lakukan.

Yang dimaksudkan perang suci, tentu saja sebuah tindakkan untuk melakukan perlawanan dan menyingkirkan semua pengaruh asing (Belanda khususnya) berbasis tafsir teks keagamaan dan kitab suci. Yang dimaksudkan kebencian terhadap segala pengaruh asing artinya menolak semua tatanan sistem sosial budaya yang berasal dari pemerintahan kolonial. Akhirnya dengan maggyco-mysticm dan pemujaan terhadap nenek moyang, para pemimpin dan penganut gerakan ini mengandalkan pada berbagai kekuatan gaib dalam sejumlah jimat dan senjata keramat yang mereka miliki.

Menariknya, 20 tahun sebelumnya di Gombong pun terdapat gerakan sejenis yang menamakan Ratu Adil. Dalam sebuah dokumen tebal yang diterbitkan oleh Arsip Nasional Republik Indonesia berisikan surat-surat laporan aparat keamanan di daerah, ditemuka satu surat laporan yang ditulis Residen Banyumas (M. van Zanveld) kepada Gubernur Jendral (J.P. Graaf van Limburg Stirumm) pada 28 januari 1920 perihal gerakan keagamaan di Gombong sbb:

“Ik heb de eer Uwe Excellentie beleef mede te deelen dat door verspreiding voornamelijk in het Zuidelijk deel van dit gewest van een nieuwe godsdienstige ler enige onrust onder de bevolking valt waar te nemen

De voornamste verspreiders van die leer zijn mohamad Sirad en zijn schoonzoon Raden Mashadi beiden uit het gehuct Goemeng, desa Brangkal, district Gombong, residentie Kedoe en Santara uit de Desa Tlagasari district Gombong, residentie Kedoe...Raden Mashadi zou Ratoe Adil worden onder den naam van hadikoesoemo alias Pangeran Heroe Cokro...” (Laporan-Laporan Tentang Gerakan Protes di Jawa Pada Abad XX, 1981:165)

Terjemahan bebas:

“Saya mendapat kehormatan untuk memberi tahu Anda, Yang Mulia, bahwa penyebaran di Wilayah Bagian Selatan, oleh seorang guru agama baru-baru ini dapat menyebabkan keresahan di antara penduduk.

Penyebar utama doktrin itu adalah Mohamad Sirad dan menantunya Raden Mashadi keduanya berasal  dari Dusun Goemeng, Desa Brangkal, Distrik Gombong, Karesidenan Kedoe dan Santara dari Distrik  Gombong Desa Tlagasari, Karesidenan Kedoe ... Raden Mashadi akan menjadi Ratoe Adil dengan nama Hadikoesoemo alias Pangeran Heroe Cokro”.

Dengan membaca konteks sosial keagamaan di Abad 19 dan 20 di atas, peristiwa kemunculan dan penangkapan Ratu Adil di tahun 1939 dan 1940 di Prembun merupakan bagian dari fenomena keagamaan sebelum dan sesudahnya. Peristiwa kemunculan Ratu Adil harus dibaca sebagai bagian dari bentuk-bentuk perlawanan sosial keagamaan sebagai respon terhadap kehidupan sosial budaya dan sosial ekonomi yang bersifat asing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar